IN-TIM

377 75 5
                                    

"Aku akan menginap." New menanggapinya dengan mimik muka berlebihan, seolah-olah aku sedang mengatakan kalau UFO bermuatkan segerombolan alien baru saja mendarat di pekarangan rumahnya.

"Kenapa harus menginap?" tanyanya ketika kesadarannya sudah pulih.

Aku memutari ranjang dan naik ke atasnya. "Besok hari Minggu, aku akan bekerja lagi. Kedua, di luar tengah hujan deras. Dari rumahmu ini, hingga ke jalan besar butuh waktu sekitar lima menit, tidakkah kamu kasihan kalau aku kehujanan dan sakit hingga tidak bisa bekerja besok?"

"Tidak." New menjawab singkat.

Aku mengabaikan jawaban teganya itu. "Ketiga, Adikmu menginap di rumah pamanmu, jadi anggap saja aku menemanimu."

New menggeleng pelan. "Aku tidak butuh ditemani."

Dasar keras kepala! Tapi, aku menangkap nada keragu-raguan dalam suaranya. Aku memutar akal, karena jujur saja, aku agak takut dengan kilat. Seakan-akan ia tengah mengincar untuk menyambarku, karena dosa-dosaku. Dan malam ini, kilatnya bukan main. "New, please? Aku tidak akan macam-macam oke?"

"Aku tidak yakin dengan ketiga alasan yang kamu kemukakan tadi." Cih, sialan! "Bukannya kamu selalu tidak peduli denganku? Lalu kenapa hanya karena Pluem tidak pulang, kamu jadi repot-repot ingin menemaniku?"

Apa katanya? Aku tidak peduli? Lalu apa yang dikiranya sedang kulakukan tadi sore ketika mengagumi bibir merahnya? Umm, maksudku, menyuntikkan semangat hidup buatnya. Hhh, gengsi anak ini tinggi sekali.

"Aku takut dengan kilat, oke?" kataku mengakui fobiaku. "Happy? Jadi bisakah aku menginap untuk malam ini aja?"

New seperti ingin tertawa namun terlihat menahannya kuat-kuat. Dia berdeham, "Apakah itu urusanku?" tanyanya kemudian.

"Iya, itu urusanmu! Karena nanti kalau aku mati disambar geledek maka tidak akan ada yang berani mengisengimu lagi, tidak akan ada yang mau berdebat denganmu, tidak akan ada yang mengesalkan lagi buatmu, membantumu minum teh, atau menggendongmu kalau terkilir lagi. Dan kamu pasti akan kangen berat pada semua hal itu! Selamat malam, aku akan tetap menginap!" New terdiam di sana, entah apa yang tengah dia lakukan karena aku sudah memunggunginya.

Hening selama lebih dari satu jam, ketika aku merasakan pergerakan New di balik punggungku. Dia pasti sudah merubah posisi berbaring jadi menghadapku, dan matanya yang buta tidak bisa mengukur jarak, akibatnya dia membentur punggungku, setidaknya itu pikiranku sampai kemudian sebelah tangannya menyeberangi pinggangku. Aku tidak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh New hingga dia punya inisiatif untuk memelukku. Aku tidak bergerak, mungkin sebaiknya aku pura-pura sudah tertidur.

"Tay...," panggilnya lirih.

Aku diam.

"Apa kamu sudah tidur?"

Apa sebaiknya aku pura-pura mendengkur saja?

"Jangan ngambek denganku..."

Demi Tuhan, siapa juga yang ngambek? Aku tidak pernah ngambek seumur hidupku. Bahkan saat dulu sewaktu masih kecil, tamiaku diinjak oleh mobil tetangga, aku juga tidak ngambek. Padahal waktu itu usiaku baru enam tahun.

Kali ini New semakin merapatkan dirinya. Ini anak, lagi ngapain sih? "Lucu sekali kamu bisa takut dengan kilat. Padahal kukira, tidak ada yang kamu takuti." New terkekeh samar, suaranya makin lirih saja. "Nyatanya, cuma dengan kilat saja kamu tidak berani pulang."

Aku memutar tubuhku dengan cepat, hingga membuat New sedikit terlonjak dan siap untuk mundur. Aku menahannya. "Aku tidak takut dengan kilat, aku hanya tidak suka."

"Per─perkataanmu tadi tidak demikian."

Sepertinya anak ini gugup. Atau, jangan-jangan dia sungguh mengira kalau aku sudah lelap hingga berani nempel-nempel? "Kalau begitu, aku mengoreksinya," kataku ringan. Aku sadar tangan New masih di pinggangku. 

A Pair Of EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang