Chapter 3

55 9 1
                                    

Ketika mereka sudah kembali ke kelas ternyata Elios dan kawan - kawan masih ada di sana. Linny yang sedari tadi sudah muak dengan mereka, berusaha menahan emosi dan hanya mendiamkan anak itu sambil berlenggang menuju ke mejanya.

“Ternyata gua masih ketinggalan botol ini,” ujar Elios sambil menyeringai. Linny pun mengerutkan dahi karena langsung menyadari bahwa botol yang sedang dipegang oleh anak itu adalah miliknya

“Ck. Mau lo apain sih tuh botol?” tanyanya dengan nada pasrah seraya menunjukkan mimik wajah yang serius.

Tanpa basa basi Elios pun langsung membuka tutupan itu dan menumpahkan seisi botol ke meja gadis itu. Linny hanya terpaku di tempatnya berdiri sambil terbelalak dan mengepalkan tangan. Ia terdiam sejenak karena tiba-tiba terlintas di pikirannya mengenai ruang guru. Ia lupa pergi ke sana karena sedari tadi sibuk berurusan dengan kumpulan orang gila itu.

“Ah dasar cowok sinting sialan!” tanpa memedulikan apa yang baru saja terjadi, ia langsung menarik tangan Eliza dan pergi bersama.

“Woe! Kita mau ke mana? Meja lo kan lagi basah,” ujar Eliza sambil menahannya di luar kelas.

“Masalah itu bisa diurus nanti. Sekarang kita punya masalah yang lebih penting. Lo lupa kalo kita masih ada urusan sama Bu Viona?”

“Astaga! Gw baru sadar,” Eliza menepuk dahinya sendiri.

Sesampainya di ruang guru, mereka berdua menuju ke meja Bu Viona yang terletak di tengah ruangan.

“Selamat pagi Bu,” sapa mereka serentak untuk membuka pembicaraan.

“Kenapa kalian baru datang?” tanya Bu Viona dengan tatapan serius sambil mencari – cari tumpukan kertas

“Maaf bu, tadi ada-" ucapan Eliza terpotong. “Tadi kita ada urusan di toilet bu,” ujar Linny melanjutkan jawaban tadi.

“Baiklah. Sekarang coba kalian lihat kertas ini.” Bu Viona menyerahkan hasil ujian mereka.

“Mau sampai kapan kalian mendapat nilai yang sama seperti ukuran sepatu?” lanjut Bu Viona yang membuat mereka menjadi tertunduk diam.

“Saya sebagai walas kalian sangat mengetahui keadaan nilai kalian. Apalagi kamu, bukan hanya di pelajaran saya aja, tapi di pelajaran lain juga banyak yang nilainya merah.” Kini Bu Viona hanya menatap Linny seorang. Suasana masih hening karena ia tidak bisa berkata apa – apa.

“Kamu kan sudah kelas 12. Kalau nggak ngubah nilai dari sekarang, maunya kapan? Saya gak bisa jamin kamu bisa lulus lho, Linny.”

“Saya akan berusaha sebaik mungkin Bu.” Anak yang ditegur akhirnya membuka suara.

“Ya sudah, kalian boleh kembali ke kelas.”

Mereka berdua terutama Linny berjalan ke luar dengan perasaan yang kacau dan semrawut. “Gw bingung deh mau belajar kayak gimana lagi, pengen les tapi gak ada duit. Masa depan gw suram banget ya za?” curhat gadis itu pada teman yang sedang menggandeng tangannya.

“Aduh Lin…lo kalo mau ngeluh tentang nilai ke gw tuh salah orang. Kan lo tau sendiri nilai gw juga gak bagus – bagus amat. Tapi ya…optimis aja lah, nilai bukan segalanya kok.” Eliza merangkul temannya yang sedang badmood itu.

“Iya, gw tau nilai itu bukan segalanya. Tapi kalo gak lulus, gw harus ngulang pelajaran lagi dong? Malesin banget cuy... Lagi pula uang sekolah juga mahal kali, lo mah enak ada orang tua kaya yang bisa ngebayarin. Lah gw? Selama ini gw dapet kirimin duit sih, tapi gak gw pake karena dikasih dari orang yang gak dikenal.”

“Hah? Siapa tuh orang?” Eliza kaget sekaligus penasaran.

“Eh bambang! Kan tadi gw udah bilang, gw gak kenal sama tuh orang.”

RAIN AND BLOOD (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang