Tang... Tang... Tang...
Suara tumbukan besi terdengar mendesing di telinga. Angin menampar lembut seluruh bagian tubuhku di atas tempat yang dibangun begitu kuat di tengah terpaan badan air terbesar di muka bumi—lautan. Suara terpaan dari riak - riak ombak air biru menjadi penenang dalam hiruk - pikuk tempat aku mencari uang dan kehidupan. Di kilang minyak yang jauh dari segala kehidupan kota, telah menjadi rumahku tiga bulan ke depan. Semilir angin terus menguat. Namun, alirannya membawa ketenangan yang membuat bulu kuduk berdiri. Napas begitu nikmat dan selalu menghadirkan suatu ragam suasana di atas tempat yang terisolasi dari kehidupan manusia di sana. Terlalu sering aku memikirkan berbagai hal selama di sini, tetapi memang seperti itu ketika lahir sudah menjadi seorang pengamat.
"Waktunya makan siang," seru beberapa pekerja dari yang mulai meninggalkan platform - platform penting di Kilang. Saking terbawanya dengan suasana yang begitu nikmat, aku terkadang melupakan rasa yang harus dipenuhi oleh sistem pencernaan—lapar.
Beberapa rekan kerja mulai meninggalkan platform dan bergegas untuk pergi ke tempat di mana mereka akan mengisi energi. Namun, aku tetap berada di tempat yang sama karena aku merasa lebih tenang rasanya apabila waktu istirahat dipenuhi dengan melihat visual keindahan kehidupan antara langit, laut, dan suatu pondasi besar untuk mengebor sumber daya di bawah permukaan bumi.
Di antara sebuah medan pandang visual yang sangat menyegarkan pikiran ditambah rasa lapar. Ada satu ingatan yang terkadang membawa diriku terjun melewati lintas waktu akan masa lalu yang begitu penuh akan pertanyaan. Terselip rapi dalam imajinasi yang terbentuk saat aku terlelap dalam tidur tadi—mimpi— dan terbawa hingga momen di mana aku berdiri sekarang.
"Kenapa aku bermimpi akan dia lagi? Apakah kenangan itu akan selamanya menghantui?" aku bergumam sendiri.
Dia jauh di sana. Berkarir di belakang jas putih yang selalu hadir ketika masyarakat sedang berada di ambang tarikan malaikat maut, sedangkan aku di sini membuka luka pada bumi untuk mengambil suatu hal yang dapat membuat kehidupan globalisasi akan manusia terus berjalan. Terkadang juga untuk membantu hedonisme yang terjadi di pulau terpadat di dunia— Pulau Jawa. Dua dunia yang berbeda, tapi kenapa aku harus kembali mengingat masa lalu yang sama sekali muncul tanpa henti.
"Rian!"
"Bisa tidak nggak usah kayak setan?" aku terkejut akibat sapaan seorang sahabat yang sudah menyublim menjadi suatu rupa bagaikan kuda dan sapi.
"Makan ayo! Jangan sok kuat itu perut atau at least minum kopi." Dia sambil menyeruput kopi menyuruhku untuk ke kantin dan mengambil asupan untuk hari ini.
"Nanti aja," balasku sambil membuang aliran karbon dioksida dengan pelan.
Dia menepuk pundakku dan tertawa pelan, "Cerita coba."
"Halah, buat apa gue cerita? Muka gue emang nunjukin lagi kena masalah? Santai, Bro, gue lagi menikmati ini," ungkapku sambil menunjukan suatu pemandangan yang berada di depan. "Sebuah mahakarya alam semesta."
"Perempuan yang mana? Makanya jangan merasa paling ganteng! Begini kan jadinya," Dia menembak suatu pernyataan sambil asik menyeruput kopi yang aromanya semakin merebak di tengah derasnya terpaan angin laut. Sama dengan cibiran yang diberikan begitu deras akan diriku berdasarkan cerita - cerita masa lalu.
"Taik." Suatu kalimat kotor terlepas dari bibirku, tapi pantas dan enak untuk dilontari untuk membalas pernyataannya.
"Dih, bercanda juga," ucapnya pelan sambil menaruh kopi di atas pagar pembatas.
Mungkin tidak perlu lagi aku meragukan suatu pemikiran yang selalu aku simpan belakangan ini. Aku dan Si Penyeruput Kopi ini sudah berteman sejak lama dan aku masih saja menahan suatu cerita yang mengganggu diriku. Lagi - lagi cerita ini tentang perempuan, seperti yang sudah Ia tebak, tetapi tentu aku ragu untuk bercerita. Alasan dibalik ini sebenarnya sederhana, yaitu kisah diriku dengan perempuan di masa lalu. Si Penyeruput Kopi yang biasa aku sapa dengan Andre ini sudah muak dengan kisah antara aku dan Si Perempuan ini.
"Perasaan ini muncul dan hilang. Seiring menuju umur yang ke-25, dia datang. Melalui mimpi, lagu favorit yang mendadak diputar, dan aku merasa anxiety hebat saat mendadak dia muncul." Baiklah sepertinya dia perlu penjelasan mengenai kondisiku pada saat ini. Daripada nanti aku tenggelam terus akan rasa yang dapat membunuh diriku secara perlahan.
Dia kembali meneguk kopi hingga tidak tersisa dan memasukan gelas kardus tersebut ke dalam kantong celana sebelah kanan, "Anxiety? Itu agak sedikit berlebihan."
"Tapi, ini yang gue sekarang rasakan, Dre," jawabku dengan nada sedikit dalam untuk memastikan.
"Rian, bila cinta memang merupakan kesatuan, maka dia tidak bisa dipisahkan," tuturnya dengan nada terheran dan selaras dengan merdunya angin laut.
"Tapi, apakah ini adalah cinta?" tanyaku sekali lagi.
"Tidak tahu, hanya kamu yang bisa merasakan." Dia tersenyum, berbalik badan, dan berjalan menjauhiku, "Mending makan sekarang."
Apakah benar? Kalau memang ini adalah cinta, kenapa rasanya sangat kuat sekarang? Saking kuatnya aku dihantui akan rasa takut berlebih ketika suatu hal tentang dirinya mendadak menghampiri. Dalam hati terdalam aku berkaca untuk menguatkan diri, walaupun secara perlahan tetap hancur akibat rasa pada masa lalu.
Rian kau adalah lelaki di tengah laut untuk mengambil jutaan barel minyak mentah. Berdiri tegak dan mengeluarkan seluruh tenaga untuk menghadapi medan dan terpaan ujian mental. Kuat dan berani, akan tetapi kenapa mendadak lemah dengan kisah romansa yang berbekas bagaikan jarum di tengah jerami - jerami masa lalu?
"Dre! Gue laper, tungguin!"
-= R I A N D R A =-
sapa yang kuliah/pengen kuliah di perminyakan 🤔 ?
Lebih dekat dengan Mashuri
instagram.com/dhimas298
Destination: Jakarta 2040
available on Gramedia.com or
Digital on Gramedia Digital
KAMU SEDANG MEMBACA
R I A N D R A
RomansB L U R B (17+) 𝙆𝙚𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥𝙖𝙣 𝙞𝙩𝙪 𝙩𝙚𝙧𝙗𝙚𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙠𝙚𝙩𝙞𝙠𝙖 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙖𝙡𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙙𝙚𝙢𝙞 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙖𝙡𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙗𝙚𝙧𝙨𝙚𝙩𝙚𝙧𝙪 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙘𝙞𝙥𝙩𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙣𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣. 𝘼𝙙𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙢𝙞𝙡𝙞𝙝 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙪𝙡�...