19 Maret 2021
Tchaikovsky - Swan Lake mengalun merdu mengiringi sosok yang tengah berputar indah dengan gerakan tarinya. Kaki beralas sepatu pointe itu berjinjit tegak, melompat, lalu membawa tubuhnya mengelilingi ruangan.
Cermin besar yang terpajang di satu sisi dinding memantulkan sosok yang masih tenggelam dalam gerakannya. Alunan musik semakin menderu, tangan ramping itu kemudian dibawa ke depan dada, satu kakinya dilempar ke samping hingga menciptakan satu putaran, sebelum kemudian membawa kaki itu untuk ditaruh di lutut sedang yang lainnya menjinjit en pointe. Ia memutar penuh ritme dengan satu kaki sebelum melanjutkan ke gerakan berikutnya. Membuat semua gerakan penuh dengan perhitungan.
"Bee, kamu melakukan kesalahan, putaran itu masih kurang 32 kali."
Langkah sosok di tengah ruangan terhenti. Napasnya memburu dengan keringat yang telah membanjir di kening dan leher.
"Sudah berapa kali Mama bilang, Bee. Kamu bukan pemula lagi, kenapa masih melakukan kesalahan untuk gerakan dasar seperti ini?"
Wanita yang sedari tadi memerhatikan dari sisi ruangan lantas mendorong kursi rodanya untuk memasuki arena latihan. Sekali lagi memperingati sosok dihadapannya untuk melakukan gerakan dengan sempurna.
"Kompetisi tinggal dua minggu lagi, tapi performamu masih jauh dari standar." Ia menarik paksa tangan sosok itu agar berbalik menatapnya. "Tolong Bianca, jangan terus bermalas-malasan seperti ini. Ini semua juga untuk perkembangan kariermu di masa depan."
Yang diajak bicara justru meneguk ludah kelu, matanya memerah. Ada gejolak emosi yang tak pernah bisa ia lampiaskan, hari demi hari terus menumpuk di dalam rongga dada. Setelah melihat sorot kekecewaan dari ibunya sekarang, rasanya semua yang telah ia telan bulat-bulat selama ini seperti dibangkitkan. Tangannya mengepal, sudut bibirnya berkedut hendak menumpahkan semua sesak yang bergejolak di dada.
"Melinda."
Namun, suara yang tiba-tiba menyela itu menghentikannya. Sosok pria tegap masuk ke dalam ruangan. Mengalihkan fokus wanita di atas kursi roda.
"Ini sudah empat jam semenjak kalian masuk ke ruangan ini. Sudah dulu, ya, latihannya, masih ada hari esok." Pria itu merunduk, menatap lembut mata wanitanya yang masih tampak kesal.
"Tapi, Mas, Bianca masih melakukan kesalahan. 32 putaran fouettés saja dia masih belum bisa."
"Iya, nanti dilatih pelan-pelan, oke? Sekarang istirahat dulu, kalau terus dipaksakan takutnya Bianca melukai kakinya. Kamu nggak mau, kan, hal itu terjadi?"
Melinda menghela napas, tidak menemukan kata yang tepat untuk membantah perkataan suaminya. Melihat reaksi sang istri, pria itu kemudian tersenyum. Ia beralih menatap perempuan setengah baya yang tadi datang bersamanya.
"Tias, bawa ibu ke kamar."
Perempuan itu mengangguk patuh dan langsung membawa Melinda meninggalkan ruangan. Kini hanya tertinggal mereka berdua di sana. Tatapan yang tadinya lembut perlahan berubah tajam. Pria itu-Dana-tanpa ragu mengangkat tangannya dan menghadiahi satu tamparan keras pada sosok di hadapannya. Berharap dengan begitu ia bisa sadar posisinya di sana.
"Masih mau melawan?" Suara yang tadinya selembut beludru berubah menjadi setajam sembilu. Menikam tepat pada lawan bicaranya. "Sampai kapan kamu akan terus menentang Papa seperti ini?"
Menentang?
Kini bukan hanya pipinya yang terasa panas. Namun, dada sosok itu juga seperti terbakar. Ia mengangkat kepalanya yang sempat tertoleh, ditatapnya sang ayah dengan segudang amarah yang tak pernah mendapat pelampiasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Are You? [Open Pre-order]
Teen FictionCelio percaya suara yang mulai memberat dengan jakun yang menyembul di lehernya adalah salah satu bukti bahwa ia laki-laki sejati. Tapi tidak untuk sang ibu. Wanita itu justru memaksanya hidup menjadi seorang perempuan untuk meneruskan cita-citanya...