Tepat pukul dua belas malam, Lian akhirnya memarkir motor di halaman rumah. Wajahnya pucat, netra segelap langit malam itu tampak kosong. Ia berjalan gontai memasuki rumah. Langkahnya ia bawa menuju pintu garasi yang sudah lama tidak ia sentuh, bahkan pernah menjadi ruangan terlarang yang tidak akan pernah ia masuki di rumah ini.
Namun, malam itu ia datang. Datang dengan segala gejolak yang menyesakkan dadanya. Tangan lelaki itu bergetar saat memutar kunci dan mendorong pintu agar terbuka. Mobil BMW berwana merah langsung menyambut saat ia menyalakan lampu. Lintasan kejadian tiga bulan silam lantas kembali menghantam benaknya.
Bibir lelaki itu bergetar, tangannya ia kepalkan. Sedang cairan bening yang mati-matian ia tahan kembali memerahkan matanya. Rasa bersalah itu muncul lagi, kali ini terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya.
Ia jatuh terduduk. Sekujur tubuhnya lemas. Tidak pernah terbayangkan ia akan menghancurkan hidup orang lain seperti ini. Hanya karena ledakan emosi, ia telah merenggut dunia Celio. Mencabik-cabiknya hingga yang tersisa hanya kepingan menyakitkan.
Air mata lelaki itu mengalir begitu saja seiring dengan sesak yang kian mendesak dada. Ia meringkuk dan memeluk lututnya, menenggelamkan wajah di sana. Gema isaknya memenuhi ruang yang sepi. Menjadi satu-satunya teman saat luka itu kembali menghantui.
"Hal paling menyakitkan adalah ketika lo nggak bisa mengenali orang yang paling penting untuk dikenali. Orang-orang terasa asing, dunia terasa asing."
Lian kian terisak. Kata demi kata yang dilontarkan Celio berhasil menikamnya. Seandainya ia bisa memutar waktu, satu-satunya hal yang akan ia lakukan adalah menghapus hari di mana ia menabrak Celio. Di mana ia merenggut seluruh harapan lelaki itu.
Kejadian malam itu masih terekam jelas dalam benak Lian. Ia menyesal telah meninggalkan Celio begitu saja, ia menyesal telah melepas cengkeramannya, ia menyesal telah melangkah mundur dan melarikan diri. Pada akhirnya hanya penyesalan yang tersisa, yang tanpa henti terus menyiksanya.
"Maafin gue, Lio." Parau dari suara Lian menyela di antara isak yang menggema. "Tolong maafin gue."
Namun, ia tetaplah pengecut yang bahkan tidak berani mengakui kejahatannya di depan lelaki itu.
***
Celio meremat jemari saat mobil mulai memasuki halaman rumah. Ritme jantungnya melonjak. Pada akhirnya ia harus kembali ke rumah ini, kembali ke dalam neraka yang diciptakan orang tuanya sendiri.
Ia tidak bisa pergi, ia tidak bisa menghindar. Celio tidak punya kemampuan untuk melawan garis takdir yang sudah ditetapkan untuknya. Di hadapan takdir, ia begitu kecil dan lemah.
"Gunakan ini dan jangan buat masalah."
Celio dikejutkan dengan Dana yang melempar wig dan jaket merah muda ke arahnya. Anak itu terdiam memandang benda di atas pangkuan. Dua benda yang paling ia benci di dunia.
"Mama sudah menunggumu di dalam. Tugasmu sekarang cukup tersenyum dan menyenangkannya, mengerti?" Dana melepas seat belt lalu mengambil sertifikat serta medali palsu yang sudah ia siapkan. "Jangan lupa bawa ini dan katakan kamu memenangkan kompetisi."
Setelah itu Dana keluar. Celio tidak langsung menyusul pria itu, ia memejamkan mata untuk menenangkan diri, beberapa kali menarik napas dan membuangnya perlahan sebelum kemudian mengenakan wig, memasang jaket dan keluar dari mobil.
Malam itu, detik ketika ia kembali menginjakkan kaki pada bangunan yang disebut rumah, Celio kembali dipaksa untuk menanggalkan identitasnya. Kembali menelan kenyataan bahwa ia harus menjadi Bianca untuk melindungi nyawa sang mama. Tapi di sisi lain justru membunuh jati dirinya sendiri.
Di atas kursi rodanya, Melinda menyambut Celio dengan hangat. Merentangkan tangan dan menarik lelaki itu ke dalam pelukan. Kalimat-kalimat kerinduan yang dilontarkan bagai anak panah yang tidak pernah meleset menembus jantung lelaki itu. Pada kenyataannya, bagi Melinda, Celio Dana Dyaksa tidak pernah ada di dunia.
"Bianca kenapa nggak bilang sama Mama kalau mengikuti kompetisi? Mama khawatir sama Bianca." Melinda melepaskan pelukan dan mengelus wajah Celio.
Air mata sudah menghalangi jarak pandang lelaki itu tapi ia tetap berusaha untuk tersenyum. Celio meraih tangan Melinda dan memberikan sertifikat yang ia bawa.
"Kalau Bianca bilang-bilang namanya bukan kejutan."
Melinda tersenyum haru menerima benda yang diserahkan Celio. Entah seberapa kacau jiwa wanita itu hingga suara yang mulai memberat ini tidak menghalangi kepercayaannya bahwa yang sedang duduk berjongkok di hadapannya ini adalah Bianca. Putri kesayangannya.
"Bee menang?" Netra gelap yang sangat mirip dengan milik Celio itu berbinar. Ia memandang sertifikat dan Celio bergantian.
Lelaki itu mengangguk hingga membuat Melinda kembali menariknya ke dalam pelukan. Aroma lavender itu kembali menusuk penciuman Celio. Ia tahu bahwa aroma ini yang dulu ia rindukan. Pelukan hangat ini yang dulu ia dambakan. Walaupun ia tersiksa karena harus berpura-pura menjadi sosok Bianca untuk mendapatkan segala kelembutan Melinda.
Tapi setidaknya ia harus bersyukur, dalam kondisinya sekarang, semua orang terasa sangat asing. Ia tak lagi mengenali bagaimana rupa ibunya. Namun, pelukan hangat ini tidak akan pernah ia lupakan. Pelukan yang tidak akan ia dapatkan sebagai Celio.
Setelah Melinda melepas pelukannya kembali. Celio langsung meminta izin untuk ke kamar dan beristirahat. Dalam ruangan yang didominasi warna biru muda itu, Celio bersandar pada pintu yang ditutupnya rapat. Netranya menyisir seisi ruangan.
Sebelumnya Dana sudah menegaskan bahwa kamar Bianca akan menjadi kamarnya. Kamar yang dulu ditempati oleh Celio dikunci rapat, barang-barang kesayangannya seperti miniatur avengers, komik, gitar dan sebagainya tidak lagi bisa ia miliki. Sepertinya Dana memang berencana untuk membunuh identitas Celio di rumah ini. Menghilangkan semua yang berkaitan dengannya.
"Ingat Celio, kali ini saya yang menyelamatkan nyawamu. Kamu berhutang kepada saya. Sekali lagi kamu berani melawan saya, saya dapat pastikan kamu tidak akan bisa melihat dunia lagi."
Suara Dana kembali terngiang. Kali ini pria itu tidak menahannya dengan janji-janji palsu, melainkan beralih mengancamnya dengan segala yang berhasil menambah luka panjang anak itu. Melihat perlakuan Dana kepadanya, terkadang Celio bertanya-tanya benarkah ia darah daging Dana? Mengapa pria itu sangat tega memperlakukan anaknya seperti ini?
Jika Melinda gila karena obsesinya, maka apa yang membuat Dana menjadi orang yang lebih gila?
Celio melangkah menuju meja rias di sebelah ranjang. Hari-hari penuh tekanan itu akan ia terima mulai hari ini. Tubuhnya akan kembali menjadi milik Bianca. Hidupnya akan kembali menjadi mainan orang tuanya.
Celio menghela napas berat, ia menatap refleksi sosok asing di dalam cermin. Menatapnya lama, sebelum kemudian tanya itu terlontar begitu saja.
"Who are you?"
Bahkan, Celio tak lagi mengenali dirinya sendiri.
(To be continued)
Lombok, 23 Juli 2021
haynett_
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Are You? [Open Pre-order]
Teen FictionCelio percaya suara yang mulai memberat dengan jakun yang menyembul di lehernya adalah salah satu bukti bahwa ia laki-laki sejati. Tapi tidak untuk sang ibu. Wanita itu justru memaksanya hidup menjadi seorang perempuan untuk meneruskan cita-citanya...