04 - Ancaman

657 132 11
                                    

Celio duduk termenung menatap ke luar jendela saat pintu kamar rawat inapnya tiba-tiba terbuka. Lelaki itu tidak langsung menoleh, membiarkan orang yang baru saja datang untuk masuk, toh selama ini tidak ada yang pernah meminta izin terlebih dahulu.

Lelaki itu diam pada posisinya. Suasana ruangan yang senyap membuatnya dapat mendengar dengan jelas suara ketukan sepatu yang mendekat, diikuti dengan aroma parfum yang begitu familier. Celio tanpa sadar meremat tangannya, berupaya untuk mempertahankan tenang yang kembali berantakan.

"Cepat kemasi barang-barangmu. Hari ini kamu sudah boleh pulang."

Suara berat itu menepi. Suara yang akhirnya dapat ia dengar setelah tiga bulan lamanya, yang kemudian berhasil memunculkan lagi ketakutan dalam diri lelaki itu.

"Papa tidak punya waktu menunggumu. Cepat berkemas dan keluar dari sini."

Celio menarik napas pelan. Bagi lelaki itu, kata pulang berarti kembali ke neraka. Setelah semua yang terjadi, Celio belum siap untuk menghadapi hari-hari menyakitkan itu lagi. Apalagi mengingat kondisinya sekarang, Celio benar-benar tidak ingin pulang.

"Papa kasih kamu waktu lima belas menit. Ka—"

"Aku nggak mau pulang." Celio bangkit dari duduknya dan berbalik menatap Dana. "Enggak untuk saat ini."

"Jangan uji kesabaran saya."

Celio meneguk ludahnya. Ia kemudian mundur hingga punggungnya menyentuh jendela. "Sebenarnya yang Papa inginkan cuma tubuhku, kan? Papa nggak pernah menginginkan Celio."

Dana mengernyit untuk beberapa saat, sebelum kemudian mata pria itu membulat sempurna. "Celio jangan nekat!"

Celio seketika tersenyum, ia melompat dan duduk di kusen jendela yang terbuka. "Kalau tubuh ini aku rusak, Papa nggak akan bisa gunakan aku lagi sebagai boneka."

"Celio, itu berbahaya. Cepat turun dari sana."

"Papa takut?" Celio memundurkan tubuhnya dengan satu tangan berpegang di sisi jendela. "Tapi aku nggak takut."

Dana segera maju tapi langsung ditahan oleh Celio.

"Kalau Papa berani mendekat, aku akan terjun dari sini."

Rahang Dana mengeras. Ketakutan di matanya mendadak terganti oleh kilatan amarah. Ia paling tidak suka digertak, apalagi oleh bocah ingusan seperti ini. Dalam hitungan detik pria itu menormalkan ekspresinya dan tersenyum pongah.

"Celio Celio, kamu pikir bisa menakuti saya seperti ini?" Ia terkekeh dan berjalan menuju sofa. Tangan besarnya merogoh saku dan mengeluarkan batang rokok dari sana. "Silakan saja lakukan apa yang kamu mau. Kamu mati atau hidup, tidak akan mempengaruhi saya."

Ujung rokok Dana mulai membara. Celio menatapnya dengan dentuman di dada, mencoba menekan ketakutan dalam hatinya.

"Kamu terlalu kekanakan Celio. Kamu egois. Yang kamu pikirkan hanya penderitaanmu, hanya pengorbanan kecil yang bahkan nggak akan bisa menebus kebaikan orang tuamu." Dana mengisap rokoknya, memberi jeda beberapa saat sebelum kembali bersuara. "Selama kamu di rumah sakit, apa kamu tahu berapa kali mamamu mencoba mengakhiri hidupnya? Berapa kali dalam sehari dia terus mencarimu?"

"Mama bukan mencariku. Mama cuma menginginkan Kak Bianca."

"Apa bedanya? Kamu dan Bianca anak Melinda, lahir dari rahim yang sama."

"Tapi aku Celio. Aku bukan Kak Bee. Aku laki-laki, Pa. Kenapa Papa nggak pernah bisa mengerti itu?"

Satu sudut bibir Dana terangkat. "Mengerti?" Ia nyaris meremas rokok di tangan jika saja ujung benda itu tidak sedang menyala. "Apa kamu pernah mengerti perasaan mama? Apa kamu pernah mengerti perasaan papa? Mengerti seperti apa yang kamu maksud. Melinda berulang kali mencoba bunuh diri hanya karena keegoisanmu. Jika memang saya tidak mengerti kamu, saat pertama kali kamu siuman, saya pasti sudah menyeretmu pulang."

Who Are You? [Open Pre-order]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang