02 - Mimpi buruk

817 154 19
                                    

Dingin dari tetes air hujan menambah sensasi nyeri dari setiap luka terbuka di sekujur tubuhnya. Celio terbujur pasrah di atas aspal, bau anyir dari darah yang menggenang di balik kepala mempertegas bahwa lelaki itu masih sepenuhnya sadar. Lantas bayang Melinda dan Dana bergantian memenuhi benaknya. Bagaimana kedua manusia itu memaksanya melakukan apa yang tidak ia suka.

Selama tiga bulan penuh Celio ditahan dalam rumah untuk mempelajari balet. Mereka menuntutnya agar menjadi Bianca yang sempurna, yang selalu dibangga-banggakan. Dalam sekejap mata, mereka menjungkirbalikkan dunia lelaki itu.

Kehidupan Celio bak seperti di neraka. Tiap kali ia mencoba mencari keadilan untuk dirinya sendiri, janji-janji busuk Dana dan keras tangan pria itu tak jarang menghantamnya. Celio ketakutan. Ia tak punya pilihan selain menurut dan menjadi boneka yang siap dimainkan.

Dulu ketika Bianca masih berada di sampingnya, tak jarang Celio cemburu atas perhatian yang kakaknya dapatkan. Diam-diam ia mendamba tangan lembut Melinda mengelus rambutnya penuh kasih sayang. Tapi sekarang di saat Tuhan memenuhi keinginannya, ia tak menyangkan akan semenyakitkan ini rasanya.

Ketika Celio pikir malam ini akan menjadi akhir dari perjalanan menyakitkan dalam hidupnya. Tak sengaja pandangan yang sudah memburam itu menangkap sosok Dana dari kejauhan. Jika saja ia masih memegang kontrol penuh atas tubuhnya, Celio sudah pasti bangkit dan berlari meninggalkan tempat itu. Namun, jangankan berdiri, menggerakkan tangannya saja rasanya sangat sulit. Sekujur tubuhnya linu. Tulang-belulangnya seperti diremukkan.

Celio menyerah atas segala pedih yang ia terima. Jika sampai akhir pun Dana tidak melepaskannya, maka Celio pasrah atas takdir yang sudah ditetapkan. Namun, detik ketika ia tak mempunyai harapan lagi, tiba-tiba muncul sosok yang menghalangi jarak pandangnya. Sosok itu berjongkok di hadapan Celio. Tangan bergetar itu menyentuh bahunya.

Ia tak tahu pasti bagaimana rupanya. Pandangan lelaki itu sudah nyaris menghitam saat ia meraih tangan di bahunya untuk meminta bantuan. Berharap siapa pun orang itu bisa membawanya pergi dari sana.

"Tolong," lirihnya, "to-tolong."

Namun, sosok itu menarik tangannya dari genggaman Celio. Ia berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan Celio yang kembali diterkam ketakutan.

"Jangan ... jangan pergi dulu. Jangan pergi! Jangan!"

Kelopak mata itu seketika terbuka lebar, napasnya memburu dengan sekujur tubuh yang sudah bermandikan peluh. Celio menatap sekeliling ruang yang gelap, menyadari bahwa ia dihantui mimpi buruk itu lagi. Ia berupaya mengatur deru napasnya, memejamkan mata sejenak untuk mengembalikan tenang yang sempat berantakan.

Sebelum kemudian lelaki itu turun dari ranjang dan membawa tubuh lemasnya menuju kamar mandi. Membasuh wajahnya di depan wastafel dan menatap cermin besar di hadapannya. Geliginya bergemelutuk dengan mata yang memerah, berusaha menahan amarah yang kembali berkecamuk.

Sebelum ia lepas kendali dan memecahkan kaca di depannya, Celio memutuskan untuk keluar. Kamar rawat inapnya sudah kembali terang benderang. Seorang perawat menyalakan lampu dan beralih membuka gorden jendela.

Celio menghela napas sebelum melangkah menuju saklar dan mematikan lampu kembali. Perawat di depan jendela menoleh sebelum mendengkus pelan.

"Tutup gordennya lagi," titah Celio sembari membawa langkahnya menuju tempat tidur.

Alih-alih menurut, perawat itu justru menyibak gorden semakin lebar. "Ruangan ini terlalu pengap. Sudah waktunya membiarkan cahaya matahari masuk sebentar."

Celio malas berdebat. Ia memilih untuk kembali tenggelam dalam selimut dan memunggungi perawat tersebut.

"Lio, hari ini papa kamu datang." Meski diabaikan, perawat itu tak langsung menyerah. Ia mengambil buket buah di atas nakas dan membawanya ke hadapan Celio. "Mau saya kupaskan?"

Who Are You? [Open Pre-order]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang