Detak jantung Celio kian bertalu-talu saat ia baru saja turun dari motor Lian. Telapak tangan lelaki itu dingin dan wajahnya sedikit memucat. Jarum jam telah bergerak menuju angka sepuluh sekarang, sudah ada puluhan panggilan dari sang ayah yang tidak ia jawab. Pria itu pasti sangat marah.
"Lo yakin gue tinggal di sini?" Suara Lian menepi.
Celio mengambil napas dalam-dalam sebelum mengangguk ragu. Ia meminta diturunkan beberapa meter dari rumahnya. Hal itu ia lakukan agar Lian tidak perlu ikut terseret dalam permasalahannya dengan Dana. Tapi sekarang ia gugup luar biasa. Menghadapi sang ayah tak disangka akan menjadi semenakutkan ini.
"Lo pulang aja," ujarnya kemudian dengan senyum yang ia paksakan.
Lian tak langsung meninggalkan tempat itu. Ia diam beberapa saat memandangi Celio. Melihat ekspresi anak itu membuatnya sedikit ragu untuk meninggalkannya dan menghadapi Dana seorang diri.
"Apa gue temenin ketemu bokap lo?"
Celio segera menggeleng. "Akan lebih baik kalau lo pulang sekarang."
Lian menghela napas sebelum mengangguk. Walaupun berat hati, tapi apa yang dikatakan Celio memang benar. Sebaiknya ia pulang agar keadaan tidak semakin kacau.
Setelah kepergian Lian, Celio langsung mengepalkan tangannya. Lelaki itu menarik napas dalam-dalam dan melangkah menuju rumah. Ia sadar, selamanya ia tidak akan bisa menghindar. Apa yang sudah ia perbuat seharusnya bisa ia pertanggungjawabkan.
Celio melangkah memasuki rumah, Dana sudah duduk menunggunya di sofa ruang tamu. Pria itu bersedekap dengan tatapan yang sangat tajam. Mendadak bulir keringat terasa mengaliri pelipis Celio hanya dengan melihat ayahnya sekarang.
Lelaki itu perlahan mendekat. Tangannya yang gemetar ia kepalkan. Dengan kepala yang ia tundukkan, Celio mulai berujar pelan, "Maaf, Celio pulang terlambat."
Dana tidak langsung menjawab, hal itu membuat ketegangan kian menjerat Celio. Ia tidak tahu pasti tindakan apa yang akan diambil oleh sang ayah. Ia takut pria itu akan kembali mengurungnya.
"Celio hari ini punya tugas kelompok. Yang tadi sore teman Celio. Dia cuma numpang toilet di kamar Papa."
Satu sudut bibir Dana terangkat. Ia kemudian melepaskan lipatan tangannya. "Celio, kamu masih menganggap saya sebagai orang tuamu, kan?"
Celio melirik Dana lalu mengangguk.
Raut wajah pria itu kembali mengeras. "Lalu kenapa masih berani membohongi saya?" Kalimat itu terlontar bersamaan dengan bantingan gelas tepat di sebelah kaki Celio.
Anak itu terlonjak luar biasa. Pecahan gelas sempat mengenai kakinya tapi beruntung celana abu-abu yang dikenakan cukup tebal.
"Celio, kamu sudah berulang kali melawan saya. Apa kamu pikir semua yang saya katakan sebelumnya hanya lelucon?"
Celio tidak berani menjawab. Lelaki itu menunduk dalam sembari berusaha untuk menenangkan detak jantungnya yang seperti melompat keluar.
"Sekarang katakan dengan jujur, apa yang kamu lakukan di kamar saya?"
Anak itu tetap bungkam.
"Kenapa kamu membawa orang asing ke ruang pribadi orang tuamu?" Jemari Dana mulai mengepal. Amarahnya sudah ia tahan sejak pertama kali menemukan Celio di kamar mandi. Kini anak itu tak kunjung menjawab semua pertanyaannya. "Jawab saya!"
Celio terlonjak sekali lagi. Entah Melinda sudah tertidur atau sedang tidak ada di rumah hingga pria itu berani berteriak seperti ini. Yang pasti, Celio tahu ia tidak bisa melarikan diri kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Are You? [Open Pre-order]
Ficção AdolescenteCelio percaya suara yang mulai memberat dengan jakun yang menyembul di lehernya adalah salah satu bukti bahwa ia laki-laki sejati. Tapi tidak untuk sang ibu. Wanita itu justru memaksanya hidup menjadi seorang perempuan untuk meneruskan cita-citanya...