Suasana di hunian megah itu mati. Saat Celio membuka pintu, hanya sepi yang menyambutnya. Dinding yang didominasi warna kelabu tampak kian tak bernyawa karena tidak terdapat satu pun potret foto keluarga yang menghiasi.
Sepulang sekolah, Celio mengajak Lian ke rumahnya. Seperti yang lelaki itu katakan di rooftop rumah sakit sebelumnya, ada satu rahasia besar yang ingin ia ungkapkan. Lian tidak tahu apakah ini akan menjadi berita bahagia atau hal menyakitkan lainnya. Namun, melihat raut wajah Celio, Lian khawatir ini akan menjadi opsi kedua.
"Lho, Den Lio sudah pulang?"
Suara terkejut itu menyita atensi Lian dari sekeliling yang awalnya ia perhatikan. Ia menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh mendekati mereka.
"Aden cepat masuk ganti baju sebelum nyonya pulang." Kekhawatiran jelas terselip dalam nada suaranya.
"Mama masih di rumah sakit?"
Wanita itu mengangguk.
"Bibi tenang aja. Nanti kalau mama datang, bilang Celio belum pulang."
"Tapi—"
Celio meletakkan telunjuknya di depan bibir mengisyaratkan agar wanita itu tidak membantahnya. Ia lantas melanjutkan langkah menaiki tangga, membawa Lian ke kamar Bianca.
Hari ini Celio berniat untuk memberitahu lelaki itu tentang masalah apa yang ia hadapi. Ia sudah memikirkannya matang-matang. Celio tidak bisa menyimpannya seorang diri. Untuk saat ini hanya Lian yang bisa ia andalkan, hanya lelaki itu yang mengetahui tentang penyakitnya. Mungkin saja hanya lelaki itu juga yang bisa membantunya mencari Bianca.
Celio memang takut. Ia belum mengenal Lian cukup lama, ia malu jika seandainya lelaki itu justru menertawakannya. Namun, Celio sudah memutuskan untuk menanggung semuanya, toh ia juga tidak punya cara lain. Mengingat kondisinya sekarang, ia tidak mungkin mencari Bianca sendirian.
Saat memasuki kamar, Celio menutup pintu dan menguncinya rapat. Ia takut Melinda tiba-tiba datang seperti sebelumnya. Jadi untuk berjaga-jaga, ia harus melakukan ini.
"Ini kamar siapa?" tanya Lian yang mulai melihat-lihat sekeliling.
Celio mengatur napas dan menenangkan detak jantungnya yang menggila. Ia tidak langsung menjawab dan hanya memandangi Lian yang saat itu tengah menatap lukisan seorang balerina yang terpasang di dinding.
"Siapa dia?" Lian menunjuk lukisan besar di depannya. Tubuh bagian belakang sosok dalam lukisan terpampang jelas. Dengan rok balet ia tampak menawan mengangkat tangan di atas kepala dan kaki yang dijinjit en pointe. Lian hanya dapat melihat sisi wajah bagian kirinya karena perempuan dalam lukisan menoleh.
Celio mengepalkan jemarinya, berusaha untuk menekan keraguan yang sempat mencuat ke permukaan.
"Lukisan ini sangat cantik." Lian tersenyum sebelum kemudian berbalik menatap Celio. Senyum lelaki itu langsung tergerus, ia bergerak cepat mendekati Celio yang tampak pucat dan berkeringat dingin.
"Ada apa? Lo sakit?"
Celio mengatur napas sebelum tersenyum tipis lalu menggeleng. "Dia Kak Bianca," ujarnya. Pandangan lelaki itu tertuju pada lukisan yang tadi diperhatikan Lian. "Dia adalah seorang balerina terbaik yang pernah gue lihat. Saat dia mulai menari, lo nggak akan bisa berpaling. Setiap gerakannya sangat indah."
Celio tidak bisa menahan cairan yang mendesak pelupuk matanya saat bayang-bayang Bianca kembali menari dalam benak. Bianca adalah sosok yang lembut dan menyayanginya, yang beberapa hari ini sangat ia rindukan. "Kak Bee adalah kebanggan mama dan papa. Kebanggaan gue juga. Cuma Kak Bee yang selalu ada buat gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Are You? [Open Pre-order]
Teen FictionCelio percaya suara yang mulai memberat dengan jakun yang menyembul di lehernya adalah salah satu bukti bahwa ia laki-laki sejati. Tapi tidak untuk sang ibu. Wanita itu justru memaksanya hidup menjadi seorang perempuan untuk meneruskan cita-citanya...