Bagian 37: Confession

1.7K 337 24
                                    

Vivian masih tampak terperangah. Pasalnya, lelaki itu melingkarkan kedua tangan di pinggangnya. Tumpuan Vivian pun terlepas, dan berat tubuhnya sempurna jatuh ke arah Eizen.

"Ma-maaf, tolong ... lepas," atau aku meninggal sekarang, ujar Vivian setengah hati. Dentuman jantung yang keras, membuatnya sulit konsentrasi.

"Sayapmu sungguh indah," tukas Eizen. Vivian kini mengernyit bingung. Namun tak lama ia menoleh ke belakang, dan dugaannya tepat.

"Eh? Sayapku?" seru Vivian, meneliti benda yang berpendar kekuningan, menempel di punggung. Dia bertanya-tanya, tentang bagaimana benda itu muncul di waktu yang tak bisa diprediksi.

Sekejap objek mencolok itu lenyap, tatkala Vivian merasakan dua tangan di sekitar pinggangnya mengendur. Masih mengamati punggungnya, tak lama kemudian Eizen mendekapnya lagi, dan sayap Vivian tampak kembali terkembang.

"Kau baru tahu cara mengeluarkan sayap?" padahal intonasinya begitu datar, tapi entah kenapa jadi terdengar seperti Eizen tengah mengoloknya.

Seraya mencebik, Vivian mendorong tubuh Eizen menjauh. Sebetulnya dia masih penasaran dan rasa tak percaya. Lalu hal berikut yang dilakukan Vivian adalah, merentangkan tangan untuk merengkuh lelaki itu-lagi, sambil ia mengamati kemunculan sayap di punggungnya yang kembali hilang, saat kontak fisik itu terlepas.

"Emm ... cukup," lirih Eizen kikuk, menahan bahu Vivian. Gadis itu tidak berhenti melakukan gerakan memeluk-melepas-memeluk. Seolah keingintahuannya belum juga terpenuhi.

"Itu ... bukankah ... itu ... sudah jelas," ujar Eizen, helaan napasnya terdengar berat. Dia harus berterima kasih, cahaya temaram kamar di sana mengaburkan wajah merahnya. "Kamu pasti bingung, mengapa hal demikian terjadi."

Vivian mengejapkan mata cepat, nada suara Eizen terdengar beda. Dia membayangkan, jika lelaki itu canggung mungkin intonasinya akan berubah ragu-ragu, seperti sekarang. Apa dia tidak suka mendapat pelukan dariku? Tentu saja, dia pria yang akan menikah. Eh, apa?! Barusan aku, apa? Memeluk?

"Maaf, aku sungguh tidak mengambil kesempatan apa pun, kok, sungguh!" seru Vivian, sebelum Eizen salah paham padanya. Dia pun tertawa hambar, menganggap semua bagai angin lalu.

"Aku tidak berencana mengatakan hal ini padamu sekarang, namun setelah kupikir, tak ada salahnya juga memberitahu lebih cepat."

"Oh? Tentang apa?" Vivian bertanya antusias. Apa mungkin perihal sayapnya? Ya, Vivian baru menyadari hal itu tadi. Penyebab sayapnya muncul adalah kontak fisik mereka. Vivian kini malu tiap mengingat hal tersebut.

"Seperti yang sudah kau tahu. Sayap itu muncul di kepala, jika kau dalam kondisi takut atau terdesak. Kemudian ketika kemunculannya di punggung, dengan kilauan yang indah itu, mungkin saja ..."

Dua alis Vivian terangkat, menunggu kalimat yang Eizen gantung sejenak. Haruskah ia menuntut lelaki itu berbicara cepat. Vivian tak sabar.

"Mungkin saja itu menggambarkan suasana hatimu yang bagus."

"Begitukah?" Vivian mencerna kalimat Eizen baik-baik. Jika dipikir, memang ada benarnya juga asumsi itu. Rasa takut dan tertekan, sayap di punggung Vivian menggambarkan kebalikannya. Lalu memikirkan pemicu sayap di punggung keluar. Apa maksudnya itu? Memeluk Eizen dan suasana hati Vivian yang bagus, apa korelasinya?!

"Jika tidak begitu. Mungkin saja hal tersebut, mengungkapkan bahwa sebenarnya kau menyukaiku."

"Hah?" kontan mulut Vivian terbuka, "apa?!!"

"Itu hanya ... sebatas dugaanku," terang Eizen tampak ringan.

Masih tertegun, Vivian memberi Eizen tatapan nanar. Lidahnya terasa kelu, dalam hati ia menimbang untuk mengakui saja, atau mengelak. Lalu, untuk apa dia tahu? Lagi pula dia akan menikah, memang aku mengharapkan apa?

Somewhere in Between [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang