Bagian 22: Lost

2K 357 4
                                    

“Beristirahatlah, anggap saja kerajaan ini rumahmu sendiri.”

Eizen membalas tatapan teduh itu, “Tuan Avieus, terima kasih. Anda sampai repot-repot mengantar saya.”

Pria yang berusia hampir setengah abad itu menggeleng pelan, “jangan menganggapku orang lain, tidak lama lagi kita akan segera jadi keluarga, bukan begitu?”

Eizen tersenyum getir melihat tawa kecil muncul di tengah wajah layu itu, bahkan mata tua yang sembapnya masih berbekas. Pria itu pasti benar-benar merasa kehilangan atas kepergian kakaknya.

Setelah beberapa kalimat kemudian, pria yang disebut Avieus itu mengundurkan diri. Eizen menghela napas sesaat menutup pintu ruangan.

Selama beberapa hari ke depan, dia akan menginap. Ada hal-hal yang harus ditinjau ulang dikarenakan meninggalnya Raja Rutherford. Kematian yang sungguh mendadak, membuat rencana terkait kesepakatan dua kerajaan mengalami perubahan.

Semuanya jadi tampak kacau di hadapan Eizen. Tanggung jawab sebagai seorang pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, membuatnya tidak bisa egois. Urusan pribadi ia letakkan di urutan kesekian, di luar prioritas. Hanya jika ada waktu sisa, dia baru akan mengurusi kehidupan privasi.

Apa aku menyerah saja? Desah batin Eizen. Gadis itu ... siapa dan ada di mana? Benaknya kusut. Mengingat waktu yang dimiliki terus menipis, tetapi masih saja buntu. Eizen tidak heran, sadar diri usahanya memang sangat minim untuk menemukan ingatan tentang gadis itu.

Sekarang ia tidak bisa mengulur waktu lagi. Pertunangannya akan segera dipercepat. Sementara tujuan terpendamnya tak kunjung bertemu titik terang.

Sepertinya asam lambungku tidak bisa mencerna benda milikmu.

Mendadak suara seorang gadis kembali melintasi pikiran lelahnya. Eizen menyilang tangan di balik kepala. Ia merebahkan diri di ranjang ketika otaknya bertindak impulsif.

Lalu kau tidak perlu khawatir, karena sepertinya aku tidak mungkin bisa mengeluarkan batu itu hanya melalui kotoran.

Bibirnya serta-merta melengkung seperti riak kecil di atas permukaan air tenang. Lalu gelenyar aneh mengusik dada, kontan membuat perutnya merasa tergelitik. Eizen tak menampik walau tak yakin. Dia tahu betul perasaan apa itu.

***

“Melissa, menurutmu bagaimana? Aku berharap banyak kau bisa setuju,” ucap Avieus meminta jawaban demi dapat menyimpulkan keputusan. Tak lama kemudian keponakannya itu pun mengangguk pelan.

Avieus tersenyum lega. “Syukurlah,” serunya, “kau sudah dengar itu, Eizen. Bawalah Melissa bersamamu nanti. Aku hanya akan hadir di pesta pernikahan kalian. Sampai saat itu tiba, aku akan memegang kekuasaan Rutherford sementara. Jadi setelah pertunangan nanti, segeralah tentukan tanggal pernikahannya. Mengerti?”

Menerima tepukan pelan di bahunya, Eizen tersenyum canggung. “Baiklah, aku akan pergi mengurus hal lain. Kalian bisa urus sisanya tanpa aku.”

Tinggallah Eizen dan Melissa di meja bulat itu. Eizen menarik cangkir, sejenak menyesap teh sebelum hendak membuka suara. Lalu gadis di hadapannya mendahului.

“Saya harap Anda tidak keberatan.” Eizen menatap Melissa memberi jeda dalam ucapannya, “kita sama-sama tidak punya pilihan.” Suara gadis itu terdengar kian lirih, mata sendunya menyiratkan kepasrahan yang berat.

“Apakah ada seseorang yang Anda sukai, Putri?” tanya Eizen. Mungkin saja itu alasan Melissa terlihat gamang.

Mata biru gelap itu membulat sesaat, lalu mengerjap tenang kembali. “Tidak, bukan begitu. Hanya saja ...” Melissa menahan kalimatnya ragu.

Somewhere in Between [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang