Bagian 42: The Final Day (3)

1.6K 313 43
                                    

Tak perlu menunggu sampai siang hari, ketiadaan Vivian di paviliunnya segera diketahui banyak orang di istana. Semua ini terjadi di luar ekspektasi-nya. Hexion menyesal, seharusnya dari awal ia mencegah kedatangan Melissa. Dia terlambat menyadari risiko berbahaya ini. Melissa pasti sudah bisa mengenali Vivian sejak ia berusaha untuk bisa menemuinya.
Sekarang apa yang harus ia lakukan? Saat ini Melissa pasti sudah mengatakan kebenarannya pada Vivian. Pikiran Hexion pun kalut. Bagaimana pun ia harus bergerak cepat.

Kemudian ia beranjak meninggalkan seorang wanita terkapar di lantai ruangan itu. Pelayan pribadi Melissa ternyata seorang penyihir, beruntung penyamarannya segera bisa Hexion bongkar.

Sebuah bungkusan dari sepotong saputangan dikeluarkan Hexion. Dia terpaksa melacak keberadaan Vivian dari darah. Lalu ia memasukkan setetes darah itu ke mulut seekor burung gagak. Oleh pengaruh sihir Hexion, gagak itu terbang mencari sumber bau darah yang ditelannya.

Tiba di area sekitar danau, burung gagak itu bertengger di salah satu ranting pohon. Pencarian sudah lebih dari sepuluh menit, karena pengaruh sihir itu terbatas, burung gagak pun meletus menjadi cairan. Lalu Hexion bisa membuka penghubung dan dengan cepat tiba dititik burung gagak mati. Dia tidak ingin menggunakan darah Vivian lebih banyak lagi, maka dari itu ia merasa cukup. Setidaknya burung itu berhasil membawa Hexion, ke jarak yang lebih dekat dengan target.

Masih bertengger di dahan pohon, Hexion sejenak mengamati area sekitar. Dia menduga Melissa menyembunyikan Vivian atau lebih buruk, mengajaknya kabur.

Hexion berpikir bagaimana cara melenyapkan Melissa tanpa diketahui Vivian. Dia benar-benar bimbang. Dia ingin menaklukkan seluruh Rutherford, tapi bagaimana dengan Vivian? Apa ia akan terlihat buruk di depan gadis itu? Hexion tidak kuasa untuk turut menghabisi Vivian demi kepentingan tujuannya. Selama ia hidup, inilah kali pertama Hexion ragu mengambil keputusan.

Setelah semua yang ia perjuangkan sejauh ini, apa ia harus berhenti untuk Vivian. Tidak! Masih ada jalan lain!

Hexion menyeringai. Mata sendu beberapa saat tadi lenyap, berganti kilauan semangat. Masih dalam jangkauan penglihatannya, Melissa tiba-tiba menyeruak entah dari mana. Wanita itu tampak berjalan pelan, menolehkan kepala cepat seperti tengah mencari sesuatu.

Dari jarak lima puluh meter lebih, Hexion yakin keberadaan dirinya cukup tersembunyi. Selain itu tidak terlihat siapa pun di sekitar Melissa, itu tandanya Vivian tidak di sana. Lalu dia ke mana? Sejenak Hexion kembali resah, ia pun memaksa dirinya untuk fokus.

Ada peluang sangat bagus saat ini. Hexion membuka telapak tangannya, dan menggenggam yakin busur panah yang muncul dari sana. Vivian tidak ada dan Melissa berkeliaran di tempat sepi. Kesempatan ini tidak akan muncul dua kali.

Hexion menarik tali busur, dan muncullah anak panah darinya. Lalu dengan napas yang teratur, ia pun memicingkan mata. Meski tergesa-gesa karena ingin segera mencari Vivian, Hexion berusaha tenang demi memastikan bidikannya tepat sasaran.

Harusnya dari sejak lama wanita ini binasa, sebelum bisa menginjakkan kaki di kerajaanku.

***

"Tenanglah!"

"Bagaimana aku bisa tenang?!" Sergah Eizen, menarik kerah baju Cassius.

"Ya, ya, aku lupa kau tidak bisa tenang," timpal Cassius memanasi. Dia berdecak jengkel ketika Eizen melepas cengkeramannya kasar.

"Tidak ada yang akan mati. Kau pikir Vivian adalah gadis yang hilang di ingatanmu? Dia tidak akan mati hari ini," ujar Cassius menenangkan, dan ia tahu usahanya percuma. Padahal Eizen telah menyebar prajurit untuk pencarian, tampaknya itu masih belum cukup baginya.

"Aku harus turun tangan langsung," desis Eizen, serta-merta mendorong jendela di ruangan kerjanya.

"Berhenti," tahan Cassius, menarik bahu Eizen kuat. "Kau terlalu berlebihan, gadis itu hanya hilang beberapa jam lalu."

Eizen memberikan tatapan menusuk, aura menakutkan darinya tak mampu ditepis, "Baru beberapa jam katamu? Dia pergi dari kemarin."

Cassius menelan ludah. Dia salah bicara lagi. "Lalu memangnya mau kau cari dia ke mana sekarang?"

Seketika Eizen tercenung, membenarkan pertanyaan Cassius dalam hati. "Jangan melarangku! Apa kau lupa? Aku ini Raja. Perbaikilah sikapmu!" ucapnya segera.

Tangan Cassius di tepis kasar, lalu ia hanya bisa mengamati Eizen melompati jendela, dan terbang bebas seperti seekor burung yang lepas.

"Ck ck, aissh! Di saat seperti ini saja dia menyinggung-nyinggung kedudukannya," gerutu Cassius, lalu duduk di kursi menghadapi tumpukan kertas, menggantikan Eizen.

Dia hanya kesal, karena jika Eizen keluar begini berarti ia harus melanjutkan perkerjaannya. Belum lagi agenda selanjutnya, ada satu pertemuan dengan para bangsawan. Katanya Eizen hendak mengklarifikasi pertunangan yang dibatalkan. Ya ... sepertinya agenda itu pun harus ia tangani sendiri.

***

"Aku tidak menemukan apa-apa di sini," seru Melissa, ia sibuk menyibak beberapa semak belukar di sana.

"Bukankah kita bisa mencari jejak ibu selir sembari melanjutkan perjalanan?" cerocos Melissa, masih juga tak mendapat tanggapan. Vivian bilang, dia sudah merelakan kepergian ibunya. Lalu apa sekarang? Kenapa mereka mendadak melakukan investigasi tempat kejadian.

Peristiwa berbulan lalu begitu, mustahil ada yang masih tersisa. Sampai menyebutkan ada barangnya yang jatuh segala. Dipikir-pikir, alasannya makin tidak masuk akal. Dari raut gelisahnya itu, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan pada Melissa.

Mereka tidak bisa membuang waktu lebih banyak lagi. Melissa yakin Hebi yang menggantikan ia di istana, tidak akan bisa bertahan cukup lama dalam penyamarannya. Dia mengkhawatirkan keselamatan pelayan pribadinya itu. Melissa merasa tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan Hebi. Secepatnya mereka harus segera tiba di Rutherford. Firasat Melissa memburuk.

"Cukup. Kita sudah terlalu lama istirahat, Vivian!" Melissa menoleh pada Vivian yang tak jauh darinya, tersekat beberapa semak tinggi.

Melissa mengernyit, menyingkap belukar itu dan mendapati adiknya tengah berjongkok, tanpa melakukan apa pun. Tapi wajah Vivian tampak berpikir serius.

Apa dia sakit perut? Harusnya dia menggali lubang dulu sebelum jongkok.

"Vivian," panggil Melissa, akhirnya berhasil membuat adiknya menoleh. Namun ekspresi terperanjat Vivian terlalu berlebihan menurut Melissa.

"Kau sakit--"

"Kakak!" Vivian berseru seraya menerjang ke arah Melissa.

Dalam satu kali entakkan, Melissa terkesiap. Entah kenapa Vivian mendorongnya begitu kuat. Tindakan yang amat tiba-tiba dan terjadi begitu singkat. Dia baru bisa menyadari apa yang terjadi, setelah dirinya tersungkur. Lalu mendapati sebuah anak panah telah tertanam di dada adiknya begitu saja.

"VIVIAN!"


_____________________________________________








Sam jum sok! (^o^)♡

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Somewhere in Between [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang