Bagian 27: Flower Crown (2)

2K 358 15
                                    

Kata Ilythia dan Oceana, hampir dua hari ia tak sadarkan diri sejak kembali ke paviliun. Selain itu juga, dirinya benar-benar mengalami penculikan dan hilang selama hampir tiga hari, jika tidak segera ditemukan Hexion pada akhirnya.

Entah mengapa Vivian tidak suka dengan fakta terakhir itu. Awalnya memang ia senang, karena berpikir lelaki itu masih peduli padanya. Tetapi ... mendengar mulut lelaki itu mengatai dirinya boncel, Vivian sadar ia telah salah paham terlalu jauh.

“Apa-apaan sih lelaki itu?! Benar-benar pecundang, beraninya menilai fisik!” gerutunya, masih saja jengkel tiap mengingat peristiwa sehari lalu.

Vivian menendang sebuah tanaman hias tak jauh darinya. Namun sejurus kemudian ia berlutut, meminta maaf pada tumbuhan itu. Menyesal telah menjadikan bahan pelampiasan, padahal tanaman itu tidak bersalah.

Kondisi kesehatannya kini semakin membaik. Vivian berjalan menyusuri taman setelah sarapan pagi. Sendirian. Ilythia dan Oceana memiliki pekerjaan lain, katanya beberapa hari ke depan mereka akan sibuk. Tidak ada waktu senggang yang biasa mereka habiskan bersama.

Vivian semakin merasa kesepian. Meski begitu, ternyata dua bulan sudah berlalu sejak ia masuk ke dunia ini, dan kini hanya tersisa satu bulan lagi. Dia akan kembali ke dunia asalnya nanti.

“Sedang apa?”

“Oh?” Vivian mendapati seorang lelaki di sampingnya. “Lama tidak bertemu!” Vivian tidak ingin kehilangan momen untuk tersenyum pada sosok itu.

Melihat raut gadis yang cerahnya tak kalah dengan cuaca hari ini, membuat Eizen sejenak tertegun. Sudut bibirnya pun tak pelak ikut melengkung kecil.

“Bagaimana keadaanmu sekarang?”

“Aku baik,” timpal Vivian. Menebak pasti lelaki itu mengetahui kejadian yang menimpanya beberapa hari lalu. “Kamu bisa lihat sendiri keadaanku, benar-benar sehat,” imbuh Vivian seraya terkekeh.

Gadis itu tak menatapnya, melainkan kembali sibuk dengan beberapa tanaman hias di sana. Eizen bisa mengamatinya leluasa.

“Lalu, sedang apa kamu dengan bunga-bunga itu?”

Gerakan tangan Vivian terhenti, “aku ... apa kamu keberatan melihat tanamanmu kupetik?” suara riangnya tadi kini menyusut.

“Tidak,” sahut Eizen pendek.

Mendengar jawaban itu, Vivian serta-merta menyeringai lebar. Dia kembali memetiki bunga di sana.

“Asalkan itu bisa membuatmu berhenti memikirkan cara untuk kabur, atau hal konyol seperti bunuh diri.”

Vivian membatu untuk kali kedua, mendengar kalimat itu. Apa Eizen sedang menyindirnya?

“Kau berpikir aku berencana kabur?” Vivian menatap malas, “bukannya kita sudah bersepakat?” tanya gadis itu untuk mengingatkan. Dia berjalan mendekati pria yang jaraknya memang tak jauh, lalu berkacak pinggang.

“Aku ...” Vivian menarik napas dalam, “tidak mungkin mengingkari janji yang kusepakati sendiri. Jadi percayalah padaku, mengerti?” ucapnya, kemudian tertawa hambar. Niat hati ingin protes karena sudah dicurigai, namun urung kala dia mendadak menyadari sesuatu.

Berdiri di hadapan Eizen langsung dan kepala Vivian sampai menengadah hanya untuk menatap wajah itu. Suara Hexion yang mengatai dirinya pendek tiba-tiba terngiang kembali. Tinggi Vivian bahkan tidak sampai sebatas bahu Eizen. Ah, benar-benar menyebalkan, gerutunya. Tinggi Vivian hampir mirip dengan Oceana, gadis yang bahkan lebih muda darinya.

Eizen tersenyum kecil membiarkan gadis itu memunggunginya, “maaf aku baru bisa menemuimu sekarang, ini pun tak sengaja karena melihatmu dari jauh. Harusnya aku bisa menjengukmu lebih awal ketika kamu baru saja sadar.”

“Tidak perlu minta maaf, itu berlebihan.” Vivian menggeleng tak habis pikir.

“Lain kali, ayo kita minum teh bersama.”

“Baiklah,” timpalnya ringan.

“Kalau begitu, sampai jumpa lagi.”

“Ah, tunggu!” Vivian segera berbalik.

Eizen mengernyit bingung, gadis itu kembali berjalan ke arahnya.

“Tadinya aku buat ini untukku sendiri, tapi karena kamu menemuiku ...” Vivian menahan kalimatnya, demi mengangkat sebuah benda hasil karyanya di tangan, “jadi aku akan berikan mahkota ini untukmu,” lanjutnya sambil terkekeh.

Eizen tak berkedip, tampak begitu terkejut.

“Hei, ayo menunduklah sedikit!” Vivian tak percaya kakinya berjinjit dan masih saja belum bisa mencapai kepala itu. Ia tidak bisa berdiri lebih dekat lagi dengan Eizen, bagaimana kalo aku tersandung dan jatuh ke arahnya!

Eizen pun merendahkan sedikit tubuhnya, namun sepersekian detik sebelum anyaman bunga itu mendarat. Vivian mendapati sebuah tangan mencengkeram dan menariknya. Sehingga benda yang hendak di letakkan di kepala Eizen itu berubah haluan, berpindah ke kepala lain.

“Hexion?!” Vivian berseru kaget.

Lelaki itu menegakkan tubuh. Lalu melepas cengkeraman di lengan Vivian, setelah sebuah mahkota buatan sempurna bertengger di kepalanya.

“Kuanggap ini bayaranku sudah menyelamatkanmu. Hutangmu lunas sekarang,” ucapnya dingin.

“Hah?” kening Vivian terlipat memandangi punggung Hexion menjauh. “Dia kenapa, sih? Bagaimana bisa muncul tiba-tiba?” tanyanya seraya berdecak heran.

Eizen sesaat terkejut untuk tindakan tersebut. Melihat air muka adiknya yang masam tadi, apa tebakannya tepat? Hexion pada gadis di sampingnya ini ...

“Yah ... sayang sekali!” gumam Vivian merasa tak enak.

“Tidak apa-apa, biarkan Hexion memiliki yang itu. Bukankah, kamu bisa buatkan aku satu lagi?”

“Eh?” Vivian terbelalak, memastikan apa yang didengarnya tak salah. “Kamu menginginkannya juga? Itu kan hanya ...”

“Aku bersedia menunggu. Jika tak keberatan, bisa temui aku untuk mengantarkannya jika sudah selesai dibuat.” Selepas itu Eizen memutar tubuhnya berjalan menjauh.

Tinggallah Vivian berdiri di sana sendiri dengan mulut menganga. Berarti ... kali ini aku boleh mencarinya agar bisa bertemu?!!!!

***

Charesa menatap bingung ke arah lelaki yang baru saja muncul setelah tadi mendadak hilang. Pertanyaannya kini bukan lagi tentang ke mana gerangan ia pergi tadi, melainkan dari mana mahkota bunga itu didapatkan?

“Pangeran ... Anda,” Charesa ragu bertanya.

“Ayo lanjutkan perjalanan, tadi pembicaraan kita sudah sampai mana?” Hexion sesekali menyentuh benda di kepalanya dan tersenyum.

“Ah, iya ... tadi kita baru saja membicarakan hal yang kita sukai. Jadi hal apalagi yang Pangeran sukai?” tanya Charesa mengamati Hexion lekat, “lalu omong-omong, mahkota bunga itu cocok sekali dengan Pangeran. Di mana Anda mendapatkannya?”

“Oh, ini ...” Hexion memalingkan wajah ke arah berlawanan. Di kejauhan sana gadis itu masih di tempatnya. Hexion lagi-lagi tersenyum. “Nona, tanaman di kerajaan ini begitu terawat. Kau pasti tidak akan bosan melihat-lihat taman di sini.”

Charesa mengernyitkan dahi. Apa lelaki itu barusan mencoba mengalihkan pembicaraan mereka?

***

Hari ini tepat dengan jadwal pemeriksaan mingguannya dengan Cassius. Jadi Vivian berencana sebelum ke ruang pemeriksaan, dia ingin mencari Eizen. Dia tak mengira, mengerjakan anyaman mahkota bunga dengan sungguh-sungguh. Rupanya ia benar memiliki bakat terpendam.

Vivian pun tersenyum puas memandang hasil karyanya. Setelah mencuci tangan dan merapikan penampilan, dia pun keluar dari paviliun. Sore hari ini bahkan terlihat cerah seperti suasana hatinya.

“Nona, Anda ternyata suka menganyam?”

Vivian menoleh pada Ocena, kemudian terkekeh, “sepertinya begitu. Aku memang suka hal-hal menyangkut kerajinan tangan.”

“Kalau begitu, harusnya Anda bisa mempunyai guru. Anda suka kerajinan apa? Menyulam? Atau ...”

“Hei ... kamu bicara apa? Sudahlah,” tukas Vivian tertawa kecil. “Di mana aku bisa dapatkan guru?”

Oceana mengerutkan kening tampak berpikir, “kita bisa minta bantu Kak Ilythia, sisanya kita lapor pada Yang Mulia Raja. Beliau pasti mengizinkan.”

Vivian mengangguk tertarik. Oceana berjalan bersama menuju istana utama, tetapi nanti di sana mereka akan berpisah karena berbeda tujuan.

Memasuki beranda istana, mendadak kaki Vivian terhenti. Tubuhnya membeku bukan karena tersiram air es, meski rasanya tak jauh beda. Hanya terpisah beberapa pilar-pilar besar di sana, Vivian dengan mudahnya menemukan orang yang ia cari. Namun lelaki itu tidak sedang sendiri.

Beberapa orang terlihat berkumpul mengerubungi. Di antara mereka, satu wanita tampak berdiri di samping Eizen. Wanita itu menyambut uluran tangan Eizen, kemudian mereka masuk bersama rombongan lain.

Anyaman bunga yang dipegangnya terlepas dan tergeletak. Vivian sengaja. Bahkan ia ingin sekali menginjak bunga itu, tapi dirinya terlalu sakit memilih melarikan diri dari sana saat itu juga.

Vivian mengabaikan panggilan Oceana, matanya perih. Satu-satunya hal yang paling ia inginkan sekarang hanyalah menyembunyikan diri. Betapa dirinya begitu menyedihkan. Kenapa ia harus merasa sesakit ini?



_____________

Halo! Maaf kali ini terlambat update
T_T
Sungguh di luar rencana. Tapi ... ya begitulah.

Alhamdulillah, saat ini kita memasuki bulan Ramadhan. Maka dari itu, sepertinya saya akan hiatus sebentar.
Novel ini sudah kutulis outline-nya sampai tamat. Jadi jangan khawatir, aku gak bakal kasih harapan palsu. Insyaa Allah novel ini bakal aku tulis sampai tamat. Oke?!

Aku bakal update Syawal nanti, alias selepas Ramadhan nanti.
Kalau begitu, sampai jumpa~
Mohon maaf lahir batin. Jazakallahu khair telah membaca sampai chapter ini. Terimakasih banyak~
❣❣❣❣❣❣❣


Somewhere in Between [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang