Bagian 46: Somewhere in Between

1.8K 335 53
                                    

"Oh, kamu bangun?"

Suara bocah laki-laki itu mengambil seluruh kesadaran Eizen. Aroma menenangkan yang biasa menguar dari tubuh bayi bisa dia rasakan. Namun masih belum cukup untuk menjelaskan di mana sebenarnya ia sekarang.

Eizen mencoba mengangkat tubuhnya, berpikir untuk duduk dan melihat sekitar lebih teliti. Entah sejak kapan badannya jadi seberat ini, atau memang kekuatannya melemah. Sampai ketika Eizen mengangkat tangan, dan mendapati perubahan aneh pada wujudnya.

Tangan kecil yang gemuk. Bahkan Eizen tidak bisa menyatukan dua tangan di atas kepalanya. Sejak kapan tanganku jadi pendek?

"Jangan menangis, kakak di sini," ujar bocah kecil itu, mengusap-usap kepala Eizen.

Benar, di antara mereka memang terdengar suara tangisan bayi. Sekarang tangisan itu semakin nyaring ketika Eizen berusaha menepis tangan dari kepalanya, sambil mencoba berkomunikasi dengan si bocah.

"Katakan padaku, ini di mana?" tanya Eizen berulang kali, bersama pertanyaan-pertanyaan lain.

Dari wajah panik yang tersirat, sepertinya bocah itu tidak mengerti ucapan Eizen. Padahal ia bisa memahami bahasa si bocah.

"Ibu, Zein menangis!"

Lalu Eizen ditinggalkan sendiri, hanya beberapa detik bocah itu kembali bersama seorang wanita dewasa. Eizen merasa tubuhnya diangkat ketika wanita yang dipanggil ibu itu mengulurkan tangan dan mendekapnya.

"Kamu pasti membangunkannya," tuduh sang ibu.

"Tidak, kok! Aku hanya mengajaknya bermain," elak si bocah dengan lantang.

Terdengar helaan napas sang ibu, "Itu sama saja, kau mengganggu tidurnya!"

Eizen pun sadar, semakin ia mencoba berbicara semakin suara tangisan bayi menjadi keras, rupanya suara bayi itu keluar dari mulutnya sendiri.

***

"Bagaimana kalau kalian memang tidak ditakdirkan bersama?" pertanyaan Cassius kala itu.

"Akan terus kucoba sampai benar-benar tidak ada jalan tersisa."

"Kau, padahal usiamu masih muda. Tidak bisakah, kau pertimbangkan wanita lain?" Cassius masih berusaha membujuknya di saat-saat terakhir.

Hanya sekilas melihat kepala Eizen menggeleng, Cassius serta-merta membuang muka, menahan dongkol. Eizen memahami sahabatnya itu. Cassius tampak tak setuju dengan keputusan yang ia ambil sekarang. Tapi untuk apa? Hidup selama seminggu lebih pasca pemakaman Vivian- gadis yang ternyata selama ini dicarinya-saja, sungguh menyulitkan Eizen. Bagaimana ia bisa melanjutkan hidup seolah semua bukan apa-apa.

Daripada membiarkan diri trauma, atau terus terkubur dalam kedukaan mendalam, Eizen memilih untuk berharap pada cara apa pun yang tersisa sekarang. Cassius baru saja bilang ada satu cara terakhir. Meski tidak setuju, sepertinya dia akan tetap membantu Eizen, walau terpaksa.

"Kau sudah menyerahkan Molibden pada Rutherford, lalu sekarang kau juga berniat meninggalkanku. Kau benar-benar tidak belajar dari kesalahan, ya? Kali ini sudah gagal dua kali. Kau tidak jera?" tanya Cassius, raut putus asa terlihat dari wajahnya.

"Jika kau mau membantuku lagi, aku akan berterima kasih seumur hidupku."

"Bukan!" sela Cassius frustrasi, "Bukan itu masalahnya. Kalau kau gagal, dikesempatan terakhir ini, aku tidak bisa membantumu lagi. Benar-benar! Kau tidak sadar? Bertaruh untuk hal yang jelas sia-sia. Sadarlah!"

Satu sudut bibir Eizen samar terangkat, "Aku akan terus mengingat kebaikanmu. Terima kasih, bahkan untuk bantuan kali ini."

"Apa?" Cassius kehabisan kata-kata. Lalu ia hanya bisa berdecak kesal seraya mengibas-ngibaskan tangan di udara.

Somewhere in Between [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang