Rimbana: Heroine's Victim

6 1 0
                                    

|| Rimbana || 1361 Words ||

Aku duduk termenung menatap ke arah aliran air sungai yang jernih berkecipak di bawah sana, membuat riak-riak buih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku duduk termenung menatap ke arah aliran air sungai yang jernih berkecipak di bawah sana, membuat riak-riak buih. Sesekali, aku mencabuti daun-daunan yang dapat digapai tanganku dengan mudah di sisi samping.

Ini mengkhawatirkan. Sekaligus menakutkan.

Pencarian Dio sudah dilakukan sekitar tiga hari. Bahkan, seluruh bagian Rimbana, hingga ke hutan-hutannya sudah disisiri semua dan mereka belum berhasil menemukan Dio. Setidaknya demikian yang kurasa sedang terjadi karena kami tidak diizinkan untuk melakukan pencarian, bahkan berita hilangnya Dio saja dirahasiakan dan hanya diketahui oleh orang-orang penting——aku dan Nira pengecualian. Untuk menghindari kecurigaan penduduk, latihan Pasukan Rimbana tetap dilakukan seperti sebelum-sebelumnya, seperti biasanya seolah-olah tidak ada yang terjadi dan kudengar dari Kelana, beberapa pasukan khusus dipilih untuk melakukan pencarian Dio secara diam-diam. Saat ini, sumber informasiku hanya Kelana dan beberapa——sebenarnya banyak——spekulasi di dalam kepalaku.

Nira yang tidak biasanya panik dan ketakutan, beberapa hari ini tampak terus melamun dengan wajah mengeras. Entah berapa kali dia mendesakku untuk  masuk hutan mencari Dio berdua. Untung saja aku masih cukup waras——meski ide itu terdengar menggiurkan——untuk menolak ide Nira itu dan terus menyuruhnya bersabar padahal aku sendiri sangat penasaran.

"Apa yang kau lakukan di sini Aruni?"

Ibuku yang muncul dari hilir sungai entah habis melakukan apa itu dengan sebuah lukah besar tersandang di bahu memanggilku dengan wajah bertanya-tanya.

Aku melompat dari atas batu besar yang kujadikan tempat duduk kemudian berjalan ke arahnya, mengambil lukah besar itu dan memindahkannya ke bahuku. "Tidak ada, hanya saja aku ingin cari udara segar. Muak sekali melihat wajah dekil orang-orang terutama Nira."

Ibu hanya berdecak kemudian sedikit memelototiku, yang tentu saja langsung kubalas dengan wajah berbinar ketika mendapati setandan besar salak di dalam tas rumbai Ibu.

"Bu, biar kubawakan sekalian tasnya," pintaku dengan sukarela menyambar tali tas Ibu.

Tidak kuduga, Ibu malah memukul tanganku. "Ibu tahu, ya, isi pikiranmu. Tidak boleh. Nanti kita makan bersama dengan yang lain di rumah."

Aku mendesah berat, menatap Ibu memelas kecewa. Berbagi lagi. Kenapa, sih, kami harus punya tetangga segala? Jadinya semua makanan enak yang ada harus dibagi-bagi padahal aku sendiri bisa menghabiskannya. Ibu terlalu baik hati buat dunia ini dan lihatlah ketidakadilan yang kuterima saat ini.

Makananku yang malang. Memikirkan harus membaginya membuat perutku demo tidak terima. Uh, apalagi berbagi pada tetangga menyebalkan dekat rumahku yang satu itu. Jadi, dari pada kekesalan di hatiku semakin bertambah, aku tetap mengambil tas Ibu, "Iya-iya. Janji tidak akan kuambil, jadi sini biar aku yang bawa. Ini terlalu berat buat Ibu."

Heroine: Rimbana (Book 1) [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang