Rimbana: Heroine's Revenge

1 1 0
                                    

|| Rimbana || 921 Words ||

Rimbana kacau. Akhirnya kericuhan itu muncul ke permukaan juga ketika mayat Dio ditemukan. Semua orang gempar, membicarakan tentang kembalinya Suku Hitam. Semua orang juga ketakutan dan panik.

Upacara pemakaman Dio baru saja selesai dilakukan. Aku dan Nira duduk bersisian di bawah pohon kersen rimbun, menatap ke arah gundukan tanah cokelat yang masih basah. Gadis itu hanya diam saja sejak tadi, pandangannya tampak kosong, dan aku sama sekali tidak bisa membaca isi pikirannya. Aku tahu Nira merasa bersalah karena dia yang membuat Dio masuk hutan, tapi aku tidak mengerti kenapa sama sekali tidak ada raut bersalah di wajahnya. Yang dilakukannya sejak tadi hanya bungkam, menatap lurus-lurus ke arah gundukan tanah itu.

"Kau tahu, Ra. Kau boleh menangis jika terasa berat," kataku ikut-ikutan menatap lurus ke depan. Aku tahu watak Nira yang keras. Menangis bukanlah caranya menunjukkan emosi, tetapi aku tahu jauh di lubuk hatinya dia sedang sangat terluka. Nira hanya tidak tahu cara mengekspresikan dirinya. "Ini bukan salahmu jika kau berpikir untuk menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Bajingan brengsek Suku Hitam itu yang harus disalahkan." Aku menatap Nira, memasang senyum kecil tanda menyemangatinya.

Nira sama sekali tidak menoleh, tapi kedua tangannya yang menjuntai di samping tubuh meremas rumput-rumput dengan erat. "Aku ... tidak akan kubiarkan sepotong daging pun milik orang yang melakukan ini pada Dio tetap utuh. Mata dibalas mata, lidah dibalas lidah."

Tatapan Nira berubah jadi dipenuhi banyak dendam dan kemarahan. Nira yang dalam mode ini, sama sekali sudah tak bisa kusentuh, karena jika dia sudah bertekad, tidak ada yang bisa menghentikannya. Nira itu ... keras kepala. Jadi, kusentuh bahunya, membuat Nira akhirnya menoleh padaku.

"Kau tahu apa yang Dio bilang padaku sebelumnya? Suatu hari nanti aku akan berjuang bersamamu, Ra. Aku akan berusaha jadi anak panahmu, maka dari itu aku akan terus mengikutimu ke mana pun kau pergi. Meski kau tidak pernah melirikku, kau boleh kapan saja menggunakanku. Untuk apa pun. Dan apa yang sekarang terjadi? Mereka mengambil anak panahku, mereka menghancurkannya. Menurutmu, bagaimana aku akan kembali berburu jika anak panahku saja tidak ada? Bagaimana aku akan tetap di jalan ini jika aku kehilangan senjataku? Tahu apa jalan keluarnya?" Nira menelengkan kepala sembari menatapku. Tatapannya membuatku menahan ludah. Tatapan yang tidak pernah kulihat selama sepuluh tahun terakhir. Tatapan sama yang diberikannya ketika Narmi, anjing kesayangannya, mati keracunan. Dan yang ini lebih kelam lagi. "Aku harus mengambil mereka sebagai ganti anak panahku yang mereka ambil. Hidup ini hanya tentang memberi dan menerima, kan? Jadi akan kuambil kembali apa yang mereka ambil dariku. Suku Hitam itu ... tidak akan kuberi ampun. Hingga akhir."

Aku menggigit bibir, kemudian mengangguk kecil. "Ya, aku tahu," kataku pelan. Bukan ide bagus untuk menasehati Nira saat ini. "Jadi, apa rencanamu?"

Nira yang sudah kembali menatap ke depan, kembali menatap ke arahku. "Yang jelas bukan rencana yang aku lakukan bersamamu."

"Nira?!"

"Kau tidak boleh terlibat, Aruni."

"Kenapa aku tidak boleh?" Kali ini giliranku yang menatap Nira menuntut tidak terima.

"Ibumu masih membutuhkanmu seandainya sesuatu yang buruk terjadi."

"Lantas kau pikir ayahmu tidak membutuhkanmu?" Nira mengerutkan keningnya, setelahnya menghela napas pelan. "Kau pikir cuma kau saja yang boleh menyimpan dendam?"

Nira kembali mengerutkan keningnya, kali ini menatapku dengan sorot seolah-olah ingin membantah apa yang dipikirkannya tentangku. "Aruni—"

"Ya. Aku masih memikirkan bagaimana cara membalas mereka setelah membunuh ayahku. Aku selalu memikirkan cara untuk membunuh mereka satu per satu. Aku tidak pernah lupa setiap kejadian yang terjadi hari itu. Aku tidak pernah melupakannya barang sedetik pun, Nira." Aku menatap Nira dengan dada naik turun. Selesai sudah. Akhirnya Nira tahu jika aku selama ini hanya pura-pura ikhlas saja tentang kepergian ayahku.

Gadis itu kembali menghela napas, menundukkan kepalanya, sebelum akhirnya mencengkram tanganku. "Ini ... belum berakhir. Ayo kita lakukan bersama," katanya dengan sorot menggebu-gebu, yang kubalas dengan anggukan tak kalah semangat.

***

Kelana menentang keras ketika kukatakan akan ikut bergabung dengan pasukan khusus untuk memburu Suku Hitam ke dalam hutan waktu aku tidak sengaja mendengar obrolannya dengan anak Tetua, Campa. Tentu saja, Kelana tidak bisa melarangku karena bagaimana pun kagumnya aku pada Kelana, tekadku tidak akan bisa digeser.

Paman Ham juga melarang keras kami ikut bergabung, mengancam akan mengurung Nira jika gadis itu tetap bersikeras untuk ikut. Pada akhirnya, kami tidak diterima di pasukan.

"Mungkin mereka pikir, kita ini cuma anak perempuan tujuh belas tahun yang suka merengek."

"Tapi kau memang suka merengek."

Aku mendelik ke arah Nira, melemparnya dengan buah rambutan yang baru kupetik. Kami duduk berseberangan di atas dahan-dahan pohon rambutan besar di pinggir batu karang. Nira terpaksa menyerah di hadapan ayahnya karena jika dia tetap keras kepala, maka semua alat panahannya akan dihancurkan. Nira dan ayahnya itu sama-sama keras. Satu-satunya orang yang tidak bisa dia tandingi kekeras kepalaannya di dunia ini hanyalah ayahnya. Jadi, kami bersurut-surut dengan bibir mengerucut dan pergi menuju pohon rambutan dengan raut kesal.

"Aku dengar bocorannya semalam ketika Ayah dan Campa berdiskusi di rumah. Mereka sudah mendapatkan posisi persembunyian Suku Hitam dari pengintai yang dikirim."

"Oh ya?!" Aku membelalak menatap Nira. "Kenapa baru bilang sekarang?! Tahu begitu kita tidak usah memohon-mohon untuk bergabung dengan pasukan."

"Hah?" Nira mengerutkan keningnya, kemudian menelengkan kepala menatapku sambil memasang senyuman misterius. "Kau ... tidak akan menyerah, kan?" tanyanya.

Kubalas Nira dengan senyuman penuh makna lainnya. "Memang ... kita pernah menyerah?"

Dan, yah, kami sudah saling mengerti isi kepala satu sama lain.

Di sinilah kami berakhir, di balik rerimbunan pohon-pohon di antara pasukan-pasukan yang disebar. Mengintai ke depan, memastikan Kelana atau Paman Ham sudah maju duluan.

"Kau siap, Aruni?" bisik Nira menyiapkan panahnya.

"Menurutmu?"

Tentu saja aku sangat siap. Ini yang kutunggu!  [ ]

 Ini yang kutunggu!  [ ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Heroine: Rimbana (Book 1) [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang