Rimbana: Heroine's Friends

36 5 16
                                    

|| Rimbana | 1706 kata ||

Matahari baru sepenggelan naik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari baru sepenggelan naik. Cahaya menelisik di antara sekat-sekat dedaunan sebelum akhirnya mencapai tanah coklat lembab yang ditumbuhi rerumputan hijau. Semalam hujan membasuh tanah Rimbana, jadi wajar jika pagi ini suasananya lebih tenang dan sejuk dengan sedikit kabut-kabut.

Aku berjalan dengan melompat-lompat kecil. Menunjukkan bahwa sendal kulit baruku yang dibuatkan Ibu begitu indah dan juga kuat. Buktinya sekeras apa pun aku menghentak tanah, sendalnya tidak robek dan hancur. Aku membiarkan rambut hitam kecoklatan sepunggungku yang agak bergelombang ujungnya itu tergerai, menyapu-nyapu baju seratku.

Perkampungan sudah mulai ada kehidupan. Penduduk mulai keluar rumah untuk melakukan rutinitas biasa mereka. Berkebun, beternak, berburu, atau hanya sekedar bercengkrama. Bahkan beberapa hanya mondar-mandir di depan rumah bambu mereka, entah sedang memikirkan apa.

"Di sebelah kiri masih belum rapat, Kek!" sorakku ketika melewati rumah Kakek Sina. Pria tua yang berusia nyaris satu abad dengan kulit coklat yang mulai mengeriput dan sebelah mata yang celek karena bergumul dengan babi hutan ketika ia berburu dahulu. Tentu saja Kakek Sina memenangkan pergumulan. Memangnya siapa yang mampu mengalahkan orang dengan stamina tidak wajar seperti Kakek Sina? Selain itu, Kakek Sina juga pemburu yang begitu disegani dahulu karena kemampuannya dalam berburu tidak ada tandingannya. Namun, itu dulu, sekarang pria itu sudah semakin menua dan mengaku lelah dengan dunia perburuan (walau dia pernah mengaku kalau berburu adalah hidupnya), kemudian pensiun. Semua orang tahu Kakek Sina hanya tidak ingin terlihat menyedihkan, padahal dia tidak berburu lagi karena memang kesehatannya memburuk dan tidak bisa berlama-lama di luar rumah, atau kalau dia memaksakan diri, maka bisa saja dia terbaring di tempat tidur dan tidak bisa bangkit berhari-hari.

Kakek Sina mempunyai tatapan tajam dan wajah sangar, sehingga banyak anak-anak yang takut kepadanya. Apalagi ditambah sebelah matanya yang putih semua dengan jejak luka mengerikan. Membuat hidup pria sebatangkara itu semakin hampa saja. Hanya beberapa anak yang berani berbicara padanya. Itu tentu saja aku, dan beberapa temanku. Beliau sebenarnya orang yang ramah dan penyayang. Dia tidak pemarah dan semenyeramkan wajahnya. Buktinya sekarang pria itu dari atas atap ijuknya melambai-lambai padaku, mengacungkan ibu jari, dan berucap, "Terima kasih, Aruni! Mata orang tua ini memang sudah tidak seterang dulu!" kemudian bergeser ke arah yang kutunjuk dan mulai merapatkan atap ijuknya. Beliau sedang membenarkan atapnya yang sudah jarang atau mengganti yang lapuk dengan yang baru. Bukannya aku sudah bilang ya? Meskipun usianya nyaris satu abad, Kakek Sina masih mempunyai tenaga yang cukup hanya untuk sekedar memanjat dan membenarkan atap.

Aku balas tersenyum dan melambai-lambai. Kemudian berjalan lagi.

Menghirup udara panjang, membiarkannya berkumpul di paru-paruku baru kemudian melepaskannya perlahan. Aroma tanah Rimbana ketika habis disiram hujan, kemudian diserap oleh matahari itu begitu menenangkan.

Heroine: Rimbana (Book 1) [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang