Rimbana: Heroine's Neighbor

26 3 17
                                    

|| Rimbana | 1443 kata ||

Aku pulang ke rumah tepat ketika matahari sudah melewati atas kepala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku pulang ke rumah tepat ketika matahari sudah melewati atas kepala. Sembari menenteng seikat rambutan pulang, aku bersenandung kecil. Sembari bersenandung, kupetik sebuah, kemudian menggigitnya dan mulai mengunyah. Yah, hitung-hitung camilan sampai aku mencapai rumah. Hehehe.

Masih melewati jalanan yang tadi kulewati. Tengah-tengah kampung. Perumahan penduduk. Warga yang beraktifitas meskipun panas menyengat, dan terakhir aku berhenti di depan rumah Kakek Sina. Melambai padanya yang tengah duduk di depan pintu rumahnya.

Memasang ancang-ancang, lalu kemudian aku melemparkan seikat rambutan yang tadi ku bawa ke arah si kakek. Beliau menyambutnya dengan tepat dan sigap. Lalu kemudian tersenyum sumringah.

"Terimakasih, Aruni. Aku akan segera menghabiskan semua rambutan manis ini," ucapnya dengan keras.

Aku tersenyum. "Ya, habiskan saja. Habiskan sampai kadar gula dalam darahmu meningkat. Aku tidak akan ikut gali tanah," balasku.

Kakek Sina tertawa. "Dasar bocah kurang ajar!" teriaknya kemudian melambai-lambai.

Aku pun melambai dan kemudian berlalu, kembali pulang ke rumah. Sudah waktunya makan siang, ngomong-ngomong.

***

"Ibu, aku pulang!" teriakku sembari membuka pintu. Mengedarkan pandangan mencari-cari Ibu. Rumah sangat sepi, dan tidak sengaja aku melihat kepulan asap dari pintu belakang.

Aku pun tersenyum sumringah, tahu bahwa Ibu sedang bergumul dengan masakannya. Segera saja aku melangkah ke sana. Melongokkan kepala keluar pintu. Dan benar saja, Ibu sedang meniup tungku batunya dengan salung bambu. Aku duduk di atas jenjang memperhatikan.

Eh, ngomong-ngomong aku belum bilang ya, kalau rumah penduduk Rimbana berupa rumah-rumah panggung setinggi dua meter. Tujuannya agar jika malam hari, dan hewan liar berkeliaran memasuki pemukiman, mereka tidak bisa langsung masuk ke rumah. Sementara dapurnya di bangun di luar.

"Jangan cuma melihat saja. Bantu Ibu mengangkat sagunya," dumel Ibu ketika melihatku duduk selonjoran di atas tangga dengan santai.

Ibuku wanita yang kuat. Meski usianya sudah lebih setengah abad, beliau masih sering keluar-masuk hutan untuk mencari kayu bakar. Atau menggarap ladang jagung milik kami yang dikerjakannya sendiri---tentu saja aku juga membantu. Atau memanen sagu dengan ibu-ibu lain ke hutan.

Aku memasang cengiran, kemudian turun ke bawah. Mengangkat adonan sagu mengepul yang diletakkannya di ember kecil tanah liat kemudian membawanya lagi ke atas. Meletakkan seember sagu itu di tengah ruangan. Tak lama Ibu menyusul dengan semangkok gulai ikan mas yang menguarkan bau harum.

Heroine: Rimbana (Book 1) [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang