EPILOGUE ; Surreptitious

65 27 222
                                    

         "Inilah akhir bagiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Inilah akhir bagiku. Setidaknya,
melihatnya dalam pertemuan singkat
jauh lebih baik daripada tidak sama
tidak sama sekali."

_____________

Rasanya fragmen terburuk yang ia sematkan dibalik bilik laci ingatan benar-benar terjadi sebagaimana bentuk kesalahpahaman beberapa waktu lalu yang masih menderu-deru memilin gelungan sesak dalam rongga dada. Bermula sekumpulan prasangka yang kini telah menjelma menjadi bentuk nyata. Ia tak pernah menyangka bahwa semudah itu pemuda Min melupakan pasal kehamilannya dan dengan keberengsekannya justru berkata itu adalah buah benih Seokjin. Inilah alasan mengapa Geum Najeong tak ingin kilas bertemu atau memang dipertemukan semesta dengan masa lalu. Ia tak ingin luka lama kembali menyerbu bak semburat yang tak dapat dicegah.

Bahkan disaat kehancuran telah mampu dibenahi pada potongan separuhnya, keadaan Geum Najeong harus diluluh-lantakan dengan beberapa ulas rentetan yang menggema tanpa mampu ia hindari. Rasanya begitu menyesakkan manakala larik demi larik yang merengsek rungu harus diterima dari celah labium kepunyaan Yoongi.

Kendati dipenghujung sana diam-diam menilik rupa sang lawan melalui refleksi dari arah bayang selempengan kaca panjang, Seokjin dapat menangkap luka mendidih yang tertampang bebas seolah baru saja ditaburi garam segar dipenjuru raga sang lawan. Begitu banyak semburat kekecewaan terpendam yang masih bersemayam apik pada segelintir belahan pupilnya yang kini menyelam balutan gumpalan arakan awan kelabu masif. Ia dapat menangkap banyaknya percikan sesak tertahan dibalik kalbunya. Barangkali Seokjin dihadang secercah rasa bersalah atas kesalahpahaman beberapa waktu lalu yang menimpanya. Bagaimana pun, ini takkan terjadi bila ia lebih dulu meleburkan validasi.

Lalu, dengan perputaran seperempat derajat menginvasi sorot sang lawan yang masih termangu bungkam begitu kental dililit bisu membeku, berteman dengan ulasan senyum mirisnya pada kedua belah labium, aksara Geum Najeong melebur membawa gemuruh yang telah menyapa desas-desus percikan angin membelai kulitnya. "Sekarang kau tahu alasanku tidak ingin bertemu atau sekadar mempertemukan Jeonghwa dengan pria sialan itu."

"Maaf, kupikir Yoongi akan berubah dan segera menyadari kesalahannya. Tetapi, kau tahu, ini terjadi hanya sebuahkesalahpahaman. Aku berniat untuk menjelaskannya dan kau lebih dulu menyuruhnya pergi. Bukankah jika kita menjelaskan situasi yang sebenarnya, itu akan lebih baik? Kita tidak bisa diam saja saat seperti ini. Kau harus bersuara. Terlebih aku benar-benar tidak terima saat dia berbicara seperti itu padamu, Na." Sekonyong-konyong frasa yang Seokjin muntahnya menanjak kalut diiringi rebakan segelintir pernapasan mulai menderu terombang-ambing kekesalan belenggu.

Sepercik tawanya mengundara mengisi sekumpulan konversasi berbalut getir membawa tempurung menggeleng lirih. "Jika dijelaskan, dia tidak akan mempercayainya begitu saja, Kim. Yoongi tidak akan berubah pikiran. Apapun yang pertama kali dia lihat, itulah yang akan menjadi kesimpulan. Ya, kupikir juga begitu. Kupikir dia akan berubah saat menyadari kehadiran darah dagingnya. Tetapi, dia tetaplah pria tidak memiliki hati yang bahkan selalu meniti sembarang asumsi. Rasanya juga percuma menjelaskannya karena itu akan membuang waktu berhargaku dan akan terlihat murahan seolah aku mengemis-ngemis pertanggung-jawaban kepadanya."

𝐀 𝐖𝐈𝐒𝐇𝐈𝐍𝐆 𝐅𝐎𝐑 𝐓𝐇𝐄 𝐌𝐎𝐎𝐍𝐋𝐈𝐆𝐇𝐓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang