Empat

457 72 0
                                    

Hyunsuk tiduran menghadap langit-langit kamar Jihoon. Daritadi tidurnya tak tenang, posisinya selalu berganti. Bahkan bisa dibilang ia belum tidur sejak tadi. Benar dugaannya tadi siang, pikirannya sibuk berkeliling dalam kepalanya.

Waktu Jihoon sedang mandi Hyunsuk sempat mengecek keberadaan belatinya. Aman, masih ada dibawah ranjang Jihoon. Yang tak aman adalah perasaannya saat ini. Jihoon, bagaimanapun dia harus tahu identitas aslinya. Jihoon harus tahu semuanya agar prosesnya lebih mudah. Sekarang masalahnya hanya bagaimana caranya memberi tahu Jihoon soal ini. Bagaimana caranya membuat Jihoon percaya?

"Kamu ga bisa tidur ya?"

"Woahh!!!"

Tepat saat Hyunsuk membalikan badannya, Jihoon dengan mata terbuka berbaring ke arahnya.

"Hahahaha. Lucu." Jihoon tertawa. Matanya menyipit hingga terbentuk lengkungan kecil di sana. Eye smile favorit Hyunsuk sejak dulu.

"Mikirin apa?"

Padangan Jihoon tak pernah lepas dari Hyunsuk. Hyunsuk sendiri malah gugup dan melihat kearah lain.

"Kamu pernah denger tentang malaikat pencabut nyawa?" tanya Hyunsuk masih tetap tak berani melihat kearah Jihoon.

"Pernah."

"Kalo aku bilang mereka beneran ada, kamu percaya?"

"Tiba-tiba banget hahaha."

"Percaya ga?"

"Kayaknya setelah kamu tiba-tiba ada di sini semalem aku mulai percaya banyak hal mustahil yang bisa jadi nyata. Jadi ya kalo malaikat pencabut nyawa beneran ada aku percaya-percaya aja."

Hyunsuk mengangguk. Setelah mendapat jawaban dari Jihoon ia malah makin tak tenang. Hyunsuk malah makin bingung dengan keadaannya. Ia malah makin sedih dengan keadaannya.

"Kamu nangis?" tanya Jihoon.

Hyunsuk sebenarnya hanya meneteskan air mata. Namun Hyunsuk ini tipe orang yang kalau ditanya malah makin menjadi. Jadi beginilah ia sekarang, malah makin terisak.

Jihoon menarik tubuh Hyunsuk ke dalam rengkuhannya. Hyunsuk menaruh kepalanya tepat di dada Jihoon. Tangannya meremas kaos yang Jihoon kenakan. Lalu Hyunsuk merasakan elusan lembut di lehernya. Hangat dan lembut, rasa yang sudah lama tak didapatkannya.

"Jangan nangis."

Jihoon mengecup lembut pucuk kepala Hyunsuk. Nyaman. Berada dalam rengkuhan Jihoon sungguh nyaman sampai Hyunsuk diam-diam berdoa agar waktu berhenti saja. Empat belas hari lagi sampai waktunya habis, ia benar-benar harus membuat Jihoon bahagia.

Mereka terus dalam posisi itu hingga Hyunsuk terbangun oleh cahaya matahari yang menerobos masuk jendela. Ia kemudian buru-buru ke dapur untuk memasak sarapan dan bekal makan siang Jihoon.

Sekarang keduanya telah duduk berhadapan di meja makan. Mereka makan roti panggang buatan Hyunsuk sebagai sarapan.

"Jihoon," panggil Hyunsuk ditengah-tengah acara makan paginya.

"Hmm?"

"Kalo ada hal yang pengen kamu lakuin, lakuin aja ya."

Jihoon yang tadi asik mengunyah rotinya mendadak berhenti mengunyah. "Emang kenapa?"

"Yah... Aku ga mungkin selamanya disini kan?"

"Kenapa?"

"Tempatku bukan disini."

"Kenapa?"

Jihoon mengernyit lalu melempar tatapan bertanya-tanya pada Hyunsuk. Kali ini agak lama karena Hyunsuk sudah mulai buntu. Ia tak ingin memberi tahu Jihoon.

To Kill and To Love || sukhoon/hoonsuk ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang