Bab 16

194 45 6
                                    

*Happy Reading*

"Nur?"

"Hm ...."

"Ck, elah Nur. Lo bisa berenti makan, gak? Gue mau ngomong serius ini sama lo!"

Tiba-tiba si Nurhayati ngegas, saat menoleh ke arahku yang menjawab panggilannya hanya dengan gumaman.

"Apa dah, Nur. Lo kalau mau ngomong mah ya ngomong aja. Yang isi kan mulut gue, bukan kuping. Jadi gue masih bisa denger omongan lo." Aku pun menyahut dengan santai, sambil kembali memasukin tahu isi ranjau kedalam mulut.

Entah kenapa, si Nurhayati malah menggelengkan kepala sambil mendesah panjang melihatnya.

Ada masalah apa, sih? Aku kan cuma makan. Kenapa tanggapannya begitu banget, ya? Salahnya di mana, coba?

"Iya, gue juga tahu kalau itu, mah. Tapi, Nur. Lo sadar gak, sih? Sejak lo datang sampai sekarang. Mulut lo tuh gak berenti ngunyah. Ngegares mulu kerjaan lo. Gak capek apa?"

Tunggu! Emang ada yang orang capek makan? Kok, bisa, sih? Bukannya makan itu kebutuhan, ya? Bukan beban yang bikin capek. Kok, omongan si Nurhayati aneh begini?

"Lo aneh deh, Nur. Di mana-mana orang hidup itu butuh makan. Kalau gak makan, nanti gue mati, dong."

Karena aku sahabat yang baik. Maka aku pun mengingatkan si Nurhayati soal hal itu.

Takutnya dia lupa gitu, gaes!

"Ya iya, itu juga gue tahu. Tapi gak tanpa jeda kek elo juga. Lagian, emang nih perut kurang lipetannya," ucap si Nurhayati dengan gigi mengatup, sambil tiba-tiba mencubit pinggangku dengan gemas. Membuat aku sontak memekik karenanya.

"Sakit, bego! Tangan lo pedes banget kek sambel petirnya Mak Kanjeng!" Tentu saja aku langsung sewot setelahnya, karena si Nurhayati nih emang cubitannya gak kaleng-kaleng.

"Hey, what wrong? Are u okeh, Nur?"

Baru saja si Nurhayati hendak membalas ucapanku. Ammar tiba-tiba muncul, dan langsung bertanya dengan khawatir ke arahku.

Masih ingat, kan? Di cerita sebelumnya aku memang pergi bersama Ammar ke tempat yang akan berpindah nama padaku.

Nah, ini kami udah nyampe, dan sedang meninjau pekerjaan tukang. Ammar bahkan dengan baik hatinya menawarkan mengecek semuanya dengan detail. Lalu menyuruhku hanya duduk menunggu saja.

Perihal kenapa si Nurhayati juga ada di sini? Ck, kalian gak lupa, kan? Aku mau collab usaha sama siapa? Sama kembaranku inilah!

Itulah kenapa? Dia pun turut hadir di sini, ikut mengecek semuanya.

Anehnya, bukannya anteng nunggu Ammar sambil makan gorengan sama aku. Kembaranku ini terus saja mengoceh mengomentariku yang asik menikmati gorengan.

Kenapa, sih? Padahal gorengannya juga gak aku kekepin. Jadi kalau dia mau minta juga sok aja. Kenapa pula dia musti ngegas-ngegas gitu? Mau jualan elpiji apa nih wedok satu.

"Nur? Ada masalah?" tanya Ammar lagi, karena belum mendapat jawaban dari aku.

"Kecuali si Nur--eh, si hayati yang uring-uringan ke abisan gorengan. Gak ada masalah apapun, Pak."

Pletak!

"Adow! Sakit begok!"

Aku pun kembali memekik, saat si hayati tiba-tiba menjitakku.

Asli! Nih model on going terkenal kenapa sih hari ini? Kok, kayaknya sensi banget. Lagi dapet apa kurang jatah dari cowoknya. Ngeselin banget, deh!

"Lagi lo sembarangan aja kalau ngomong. Ngapain juga gue uring-uringan gara-gara keabisan gorengan? Heh, gue malah gak mau nyicipin tuh makanan penuh lemak. Soalnya gue lagi diet. Makanya mau lo abisin juga sok aja," jawab Si Nurhayati galak sekali.

"Lah, terus? Ngapa lo dari tadi uring-uringan?"

"Ya karena gue kesel aja liat lo ngegares mulu."

Hah?! Apa-apaan itu? Aku yang nggares dia yang kesel. Makin aneh banget, iya kan?

"Masalah lo di mana, sih Nur? Gue yang gares lo yang sensi. Gue kan gak minta makan sama lo, Nur."

"Ya emang. Tapi kasian badan lo, Nur. Udah berlipet gitu tuh perut, bukannya diet malah makin lo tambahin."

"So, masalah sama kamu apa?!" sambar Ammar tiba-tiba. Sambil melirik Si Nurhayati dengan tajam.

Waduh! Kok firasatku gak enak ya lihat tatapan itu. Jangan bilang mereka mau adu mulut abis ini.

Aduh! Jangan, dong! Nanti aku bingung mau pasang tarohan ke pihak mana. Soalnya aku yakin kedua orang ini pasti ahli dalam berdebat.

"Yang makan kan, Nur. Yang makin besar juga tubuh Nur. Gak ada hubungannya sama kamu, kan? Juga gak ngerugiin kamu. Lalu, kenapa kamu seperti tidak suka?" imbuh Ammar dingin. Benar-benar seperti menantang si Nur untuk berdebat.

"Ya karena dia teman saya. Dan sebagai teman yang baik, saya cuma mengingatkannya untuk menjaga penampilannya. Karena penampilan itu nomor satu di mata pria," balas Si Nurhayati tak gentar sama sekali menghadapi Ammar.

"Di mata pria yang mana?" tantang Ammar lagi. "Di mata pria brengsek yang hanya menilai seseorang dari penampilan saja? Begitu? Kalau memang seperti itu? Mainmu kurang jauh, nona. Karena tidak semua pria mengutamakan penampilan."

Hahahahaha ...

Sedetik setelah Ammar menyelesaikan kalimatnya, bukannya kagum dengan ucapan Ammar, Si Nurhayati malah tertawa meremehkan dengan berani.

"Jangan munafik!" Nurhayati lalu mengibaskan tangannya dengan congkak. "Jaman sekarang, mana ada sih cowok yang gak lihat cewek dari penampilan? Hoax aja itu, mah. Saya gak akan percaya ucapan itu. Bahkan saya yakin, anda juga pasti kalau lihat cewek, pertama kali yang di pandang fisiknya, kan?" Nurhayati benar-benar meremehkan ucapan Ammar.

Ku kira, awalnya Ammar akan terpancing dan marah pada Nur. Namun ternyata, dia malah tersenyum miring, dan menatap Nurhayati dengan sangat lekat.

"Kamu benar." Ammar ternyata mengaminkan ucapan si Nurhayati. Membuat sesuatu dalam hatiku seperti tercubit dan kecewa.

Lah, aku kenapa?

"Penampilan itu memang paling utama yang di lihat."

"Nah, kan! Kalau begitu--"

"Tapi kamu harus ingat!" sela Ammar dengan cepat. "Sebejat-bejatnya seorang pria. Pasti akan mencari wanita yang paling baik untuk menjadi istrinya," imbuh Ammar lagi. Entah maksudnya apa mengungkit hal itu.

Dah lah! Aku gak ngerti bahasan mereka. Mending makan tahu mercon saja. Anggap lagi nonton drakor live. Mayan gak perlu ngeluarin kuota.

"Klise!" Dengkus Nurhayati kembali meremehkan ucapan Ammar.

"But its true!" balas Ammar tegas.

"Halah! Saya gak bakal percaya!"

"Tidak masalah! Saya juga tidak butuh kepercayaan kamu." Ammar menanggapi dengan santai.

"Karena yang saya butuhkan adalah kenyamanan Nur, agar di selalu bahagia," sambung Ammar sambil tiba-tiba melirikku yang baru saja memasukan satu buah risol beserta cabe rawit satu biji.

Eh? Kok aku lagi?

"Lagipula, menurut saya Nur tidak gendut, kok. Dia lucu, menggemaskan dan .... saya suka."

Uhuk!

Sialan! Keselek cabe gue!

================================
Part ini gaje banget sumpah. Asal tulis dan ... entahlah. Pokoknya semoga terhibur aja.

Salam cabe dari Nur. Hehehehe .....

Kanjeng Ratu Minta Mantu (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang