Bab 25

165 40 3
                                    

*Happy Reading*

"Apa?!"

Aku langsung menutup telingaku. Saat Mak Kanjeng berseru lantang setelah mendengar pengakuan Ammar barusan.

Et, dah! Itu suara apa toak masjid, ya?

Kenceng bet, dah, ah!

"Jadi? Elo yang bikin si Ammar ghosting gue, Al?"

Hah? Apaan? Ghosting? Ya ampun ... bukan begitu kali, Mak!

"Ghosting?" beo Bang Al bingung.

Nah, kan? Bang Al yang pinternya kebangetan aja. Sampe bingung denger ucapan Mak Kanjeng. Soalnya ... gak sinkron, gaes!

"Iya, abis nih bocah janji mau dateng minta si Nur dengan cara layak. Eh, nih bocah malah ngilang tanpa kabar. Itu bukannya sama aja dia ghosting Emak. Iya kan?"

Uhm ... Ada benarnya juga, sih. Yee kan? Kasusnya sama.

"Ternyata elo sebabnya, Al?" Mak kanjeng masih mengomeli Bang Al dengan menggebu.

Entah karena tidak bisa menjawab, atau kesulitan mencerna ucapan Mak Kanjeng. Bang Al pun menggaruk tengkuknya dengan kening berlipat dalam.

"Kenapa sih, Al? Masalah lo apaan sebenernya? Gak rela banget lo ditinggal si Nur?" Mak Kanjeng masih mencecar.

"Bukan gitu, Mak." Akhirnya Bang Al pun menjawab ucapan Mak Kanjeng.

"Lah, terus?" cecar Mak Kanjeng lagi.

Bang Al tidak langsung menjawab. Dia  terdiam beberapa saat. Seperti ragu menjawab tanya Mak Kanjeng.

"Al?" Namun jangan panggil Emak dengan nama Kanjeng Ratu. Kalau bisa terima aja dengan kediaman Bang Al.

Karena sama dengan namanya. Kanjeng Ratu. Mak Kanjeng pun kadang punya watak seperti Ratu pada umumnya.

Bang Al pun akhirnya menghela napas panjang dengan berat sekali. Sebelum membuka suaranya lagi.

"Pak Ammar ini gak cocok sama si Nur, juga keluarga kita, Mak," terang Bang Al kemudian. Membuat aku tanpa sadar menggigit bibir bawahku. Karena malah teringat ucapan si Nurhayati tempo hari.

Tentunya, Bang Al pasti lebih tahu bagaimana Ammar dari kami semua. Dia kan sering berurusan dengan Ammar dikerjaannya.

"Gak cocoknya kenapa? Apa karena nih bocah tinggi, si Nur bulet?"

Wew! Bisa gak sih gak usah bawa-bawa bentuk badan. Aku jadi makin pengen diet jadinya nih.

"Bukan." Bang Al menggelengkan kepalanya.

"Lalu?" Mak Kanjeng masih menuntut.

"Karena kita bukan hanya beda level sama Pak Ammar, Mak. Tapi ... memang Pak Ammar ini bukan calon suami yang cocok buat si Nur."

"Kenapa, gitu?"

"Pak Ammar suka bermain wanita, Mak. Dan Al gak rela kalau si Nur jadi salah satu koleksinya."

Degh!

"Itu tidak benar!" Merasa di pojokan. Ammar pun buka suara dengan cepat, mencoba membantah ucapan Bang Al.

"Saya tahu benar bagaimana anda, Pak," bantah Bang Al.

"Okeh! Saya akui, saya memang sebejad itu. Tapi, seperti yang sudah saya bilang sama kamu, Al. Sebejat-bejatnya seorang pria. Pasti akan memilih wanita terbaik untuk menjadi istrinya. Dan dalam hal ini, pilihan saya jatuh pada Nur."

"Tapi saya juga sudah bilang pada anda. Apa yang anda rasakan pada Nur itu cuma rasa penasaran saja, karena dia beda dengan wanita yang biasa anda temui selama ini. Saat nanti rasa penasaran anda sudah terpenuhi, tidak ada jaminan anda akan kembali brengsek, kan? Kalau itu terjadi, yang hancur itu, Nur. Dan saya gak mau itu terjadi pada adik saya!" tegas Bang Al dengan berani. Menatap tajam pada mata Ammar.

Ammar terdiam. Meski matanya membalas tatapan mata Bang Al yang penuh intimidasi, tapi mulutnya tak berkomentar apapun lagi setelahnya.

Kenapa? Kenapa dia tidak menjawab? Apa dia mengakui tuduhan Bang Al? Atau ... apa?

Seketika hatiku pun merasa kecewa pada kenyataan ini.

Tentu saja, harusnya aku memang tahu diri sejak awal. Ammar itu hanya seorang sultan yang sedang jenuh dengan wanita-wanitanya, dan mencari angin segar saja di luar.

Nahasnya, aku yang dia temukan saat masa jenuhnya. Karenanya .... sudahlah.

Aku rasa aku harus berkaca lagi.

Beberapa saat setelahnya, Ammar terlihat menghela napas berat, sebelum menyugar rambutnya pelan.

"Dengar, Al," ucapnya kemudian. "Baik kamu atau saya, tidak ada yang bisa memberi jaminan pada masa depan. Karena apa? Karena kita bukan Tuhan. Dan masa depan itu salah satu rahasia yang Tuhan miliki."

"Saya tahu!" Bang Al menjawab cepat. "Tapi, sebagai seorang Kakak. Tentu saja harus mengusahakan yang terbaik untuk masa depan Nur, termasuk dalam hal memilih pasangan."

"Itu pula yang akan saya lakukan, Al. Meski saya memang tidak bisa menjanjikan apapun pada kamu tentang masa depan, Nur. Tapi saya akan berusaha menjadi orang baik dan memberikan yang terbaik, yang saya bisa, agar dia bahagia. Saya memang bukan orang baik. Tapi saya tidak akan pernah main-main dengan yang namanya penikahan. Karena saya tahu itu bukan permainan." Akhirnya Ammar memberikan janjinya.

"Tapi--"

"Aduh ... sebenernya kalian ngomongin apaan, sih? Emak gak ngerti, sumpah!" seru Mak Kanjeng tiba-tiba, sambil memakan buah jeruk dengan santainya.

Ya ampun, dapet dari mana dia? Kagak bagi-bagi si Emak.

"Mak, bisa serius dikit, gak? Kita lagi ngomongin masa depan si Nur." Bang Al memijat keningnya melihat kelakuan Mak Kanjeng.

"Ngapain Emak serius? Nanti Emak cepet tua. Ogah banget," bantah Mak Kanjeng dengan santai.

"Tapi, Mak--"

"Ya, ya, ya, gue tahu kalian kalian sedang berdebat soal masa depan si Nur. Tapi, kayaknya kalian lupa sesuatu, dah, di sini."

"Apa?" tanya Bang Al cepet.

"Perasaan si Nur lah!"

Eh?

"Kalian jangan lupa, ya? Oon-oon begini. Si Nur ini tetep manusia, punya perasaan dan punya pendapat. Dia makhluk bebas yang berhak menentukan pilihannya. Bahkan, gue sebagai orang yang ngebrojolin dia ke dunia pun, gak berhak ngambil hal itu. Karenanya, sebelum kalian baku hantam gak jelas gini, mending kalian tanya aja. Si Nur sendiri maunya kayak gimana?" terang Mak Kanjeng panjang lebar. Yang tumben banget bisa bijak.

Ya ampun, apa ini gara-gara jeruk di tangannya, atau gara-gara baru pulang dari pengajian? Kok, Emakku mendadak bijak gitu?

"Kalau gitu, sekarang jawab, Nur. Kamu sendiri maunya bagaimana?" tanya Bang Al kemudian dengan tegas.

Mampus!

Aku harus jawab apa, coba?

Kanjeng Ratu Minta Mantu (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang