[xiv]perkara hati dan bukti

339 57 16
                                    

— 2,4k words
— enjoy reading!






Menatap derasnya hujan dan basahnya jalanan, ditengah kedinginan sore ini, Eunbi menyenderkan kepalanya ke kaca bus. Bulir demi bulir hujan yang turun membasahi kaca jendela membuatnya tersadar yang tengah bersedih bukan hanya langit, namun dirinya juga.

Bulir air mata yang jatuh deras membuatnya anak sungai di pipinya menjadi pertanda, dirinya sedang tidak baik-baik saja sama seperti langit.

Ia pikir hari ini akan menjadi hari membahagiakan untuk dirinya dan sang kekasih karena delapan bulan sudah hubungan mereka terlewati, dan pada umumnya, perayaan untuk setiap bulannya itu ada bukan? Namun apa yang dirinya dapat? Kekecewaan.

Memergoki kekasihnya bercumbu dengan gadis lain di hadapannya saja sudah jelas membuat kata putus menjadi lumrah untuk Eunbi katakan. Dan sialnya, sang kekasih pun langsung menyetujuinya, pergi dari hadapannya bersama sang selingkuhan yang mungkin sekarang menjadi kekasih barunya tanpa menjelaskan sepatah katapun pada Eunbi.

Hatinya sakit, tapi terimakasih Tuhan telah menyadarkannya bahwa kekasihnya itu memang sebrengsek itu, tapi sekali lagi. Delapan bulan bukan waktu yang sebentar untuk mengukur bagaimana perasaan Eunbi terhadap mantan kekasihnya itu.

Menghela napasnya dengan perlahan, menghapus air mata yang membasahi pipinya, Eunbi mengambil paksa handphonenya di saku celana yang bergetar sejak tadi.

Mendengus malas begitu melihat nama bodyguard yang ayahnya pilihkan untuknya terpampang di layar ponselnya. Eunbi mematikan panggilan masuk itu, kembali menatap jalanan dengan sedih.

Ponselnya kembali bergetar, Eunbi tidak mengindahkannya. Matanya masih menatap jalanan hingga ia menyadari. Ia berada dimana? Dan sudah berapa lama ia berdiam diri di bus ini?

Ponselnya yang tak kunjung berhenti bergetar membuat Eunbi akhirnya mengambilnya, menggeser panggilan dari sang bodyguard ke arah tombol hijau.


"Hal--" "--Eunbi-ssi anda baik-baik saja?"

Eunbi menghela napasnya. "Iya." Suaranya bergetar.

"Eunbi-ssi tolong jangan berbohong, jika anda baik-baik saja anda tidak mungkin meninggalkan saya di depan cafetaria ini sendirian dan juga saya tidak akan melihat anda yang berlari tergesa-gesa keluar dari cafe menaiki bus nomor 25. Jadi Eunbi-ssi, tolong beritahu saya lokasi anda sekarang! Jika anda menolak dengan segala maaf saya akan melacak GPS anda secara paksa!"


Eunbi tersenyum pedih, sebegitu pedulinya kah bodyguard utusan ayahnya ini?

"Lacak saja GPS ku Minho, aku akan turun dari bus sekarang dan temui aku."

Eunbi mematikan panggilannya secara sepihak. Membereskan barang-barang lalu memutuskan untuk turun di halte depan.


Genangan air yang tercipta akibat hujan, wangi tanah yang menyeruak ke penciuman Eunbi dan dinginnya cuaca menjadi tiga hal pertama yang Eunbi dapatkan begitu turun dari bus.

Ia mendudukkan dirinya ke bangku halte, menaikkan kakinya keatas kursi lalu memeluk lututnya. Matanya menatap langit yang sepertinya sudah lumayan bahagia, terbukti hujan yang turun tidak selebat ketika Eunbi berada di bus.


Tangannya mengepal, mengusir rasa dingin yang hinggap. Rasanya ia menyesal telah meninggalkan jaket miliknya di mobil yang sedang Minho kendarai.


Berbicara soal Minho, dia itu bodyguard pilihan ayahnya yang telah bekerja menjadi bodyguard pribadinya selama satu tahun lebih. Memiliki bodyguard yang seumuran awalnya Eunbi akan mengira jika Minho akan mengundurkan diri dengan cepat karena tidak tahan dengan sikap ceroboh, berisik, dan seenaknya Eunbi. Tapi nyatanya, Minho malah menjadi bodyguard terlama nya.


bonheurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang