Ver | Spring

7.6K 565 22
                                    


Geyatama


Bali, Maret 2020.

"Kita balik dulu deh Ghav ke Jakarta."

Lelaki yang aku ajak bicara itu hanya diam menatap televisi dengan pandangan tidak pedulinya, padahal aku sudah menambahkan nada rayuan yang super manis sejak telepon dari Gemi datang tadi hanya untuk mengabarkan kalau calon keponakanku adalah dua bayi yang akan lahir kembar kurang lebih 7 bulan kedepan.

"Ghav?"

Aku kembali memanggilnya setelah menutup pintu kulkas sembari mengeringkan rambutku dengan handuk karena aku baru saja selesai membersihkan diri setelah sebentar tadi kami berbincang melalui sambungan video bersama Gemi dan Re di Jakarta, sementara Ghava masih mengenakan pakaiannya yang sejak tadi siang dikenakan olehnya.

"Nggak." Jawabnya dengan tegas tanpa menoleh ke arahku yang masih diam berdiri di depan kulkas dengan membawa satu botol air mineral yang terlihat segar karena embun yang tercetak pada botol kacanya. "Aku jalan duluan aja ke Filipina kalau kamu mau balik dulu ke Jakarta."

Keningku berkerut seketika. Jadwal kami setelah Bali memang pergi ke negara bekas jajahan Spanyol itu berkat ide dari Ghava, padahal sesungguhnya aku masih ingin pergi ke daerah Kalimantan atau Sulawesi tapi Ghava meyakinkan kalau kita bisa mengunjungi Philippines terlebih dahulu dan nanti bisa kembali ke Sulawesi atau Kalimantan. Jadilah aku mengikuti kemauan lelaki itu saja karena dia memberikanku list makanan enak di sana.

"Loh? We have to go together, we are team loh."

Bagaimana bisa dia pergi ke sana lebih dulu? Padahal aku yang punya hajat dan dia hanya menemaniku meskipun sejauh ini setelah kurang lebih 8 kota kami sambangi, yaitu: Solo, Jogja, Semarang, Surabaya, Malang, Sumba, Lombok dan Bali selama kurang lebih 2 bulan dari pertengahan Januari lalu, Ghava lebih banyak membantuku untuk mencarikan tempat makanan yang ada dalam list dengan bantuan beberapa kenalannya.

"Ya makanya nggak usah balik ke Jakarta. Gemi baru hamil bukan mau melahirkan, kan? Nggak butuh kita buat ada di sana sekarang."

Tuhanku, kenapa lelaki satu ini sama sekali tidak menoleh ketika sedang berbicara denganku?

"Ghav," panggilku lagi yang kali ini langsung dibalas dehaman yang mungkin bagi orang lain akan terdengar menyebalkan, tapi aku mana bisa sebal dengan makhluk satu ini? "If someone else is talking, try to pay more attention. Noleh dong, Ganteng."

"Didn't I answer you since you were talking?"

"But you don't turn at me at all," kini ada nada merajuk dalam kalimatku. Dengan mengerucutkan bibir setelah sedikit menenggak cairan bening dan segar dari dalam botol kaca yang aku pegang, aku mencoba melangkah mendekatinya.

"Are you wearing proper clothes?"

Sepertinya lelaki itu mendengar suara langkah sandal slipper-ku yang sedikit menampar lantai kayu yang terpasang pada seluruh villa yang kami tempati lima hari ini.

"Pardon?" kakiku terhenti setelah mendengar suaranya sedikit hati-hati barusan.

"Kamu suka aneh-aneh sejak sampai di Bali."

Gelak tawaku menguar setelah kudapati jawaban Ghava itu. Aneh-aneh? Bikini atau short one piece dress bukan hal-hal baru, kan? Apa lagi ini Bali, kenapa itu bisa disebut aneh-aneh olehnya?

"Makanya lihat dulu, kan yang nilai aneh-aneh kamu sendiri. Ini yang aku pakai sekarang including aneh-aneh, nggak?"

Aku mendekatinya dengan membawa serta handuk setengah basah bekas mengeringkan rambutku dan sebotol air mineral yang aku ambil di kulkas tadi. Mata lelaki itu melirik enggan ke arahku dan lirikannya itu jauh dari sarat akan rasa tertarik.

Cardines Temporum | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang