Oh, because...

1.6K 269 7
                                    

Because the flowers bloom in the spring



Ghava


Jakarta, April 2020

"Tolong buatin rekapannya dulu deh ya, La. Nanti saya bantu juga buat cek sales sama transaksinya juga, deh." Lila mengangguk dan kembali sibuk di depanku.

Aku sudah sejak pagi tadi mendatangi Caimile untuk evaluasi laporan dan analisa keuangan dua bulan kebelakang yang mana hanya aku lakukan pengecekannya dari jauh saja dengan meeting-meeting panjang ataupun pendek bersama Lila, demi menjaga konsistensi evaluasi kami maka hari ini aku lakukan evaluasi pencapaian target-target kami dua bulan ini dengan menghitung hasil pengawasan sales and transaction growth kami. Bagiku, laporan keuangan saja belum cukup untuk bisa memahami apa-apa yang kami dapatkan dalam rupa angka-angka pencapaian target, tapi juga harus bisa membaca bahwa angka-angka itu memiliki performa yang baik dan juga potensi untuk mengoptimalkan jalannya restoran sehingga aku bisa lebih percaya diri jika kelak akan membuka cabang lainnya.

Baru aku hendak mengantongi ponsel untuk berjalan ke arah dapur, benda itu bergetar sampai menimbulkan bunyi yang membuat Lila melirik sejenak ke arahku. Kutemukan nama Gania pada layar ponselku dan membuat keningku mengernyit.

"Kenapa, Ni?" sapaku langsung sambil berdiri dari kursi dan berniat melangkah meninggalkan meja yang aku tempati bersama dengan Lila sejak satu jam lebih lalu.

"Kita di Caimile, lo di mana?"

Kepalaku sontak menoleh ke arah pintu masuk dan benar saja dua wanita dengan dress selutut yang tone warnanya nyaris serupa muncul di sana.

"I saw you," kataku dan membuat Gania yang masih menempelkan ponselnya pada telinga kanan celingukan sampai Gemi yang ada di sampingnya menemukanku lebih dulu dan melambaikan tangan sebelum menepuk bahu Gania untuk menunjuk keberadaan posisiku.

"Dari mana? Mau kemana?" tanyaku langsung ketika mereka sampai di depanku dan Gania dengan girang menubruk untuk memelukku. "Apaan, nih?" tanyaku bingung melihat tingkah wanita itu.

"Kelar yoga tadi, mau belanja-belanja tapi keingetan lo dan Gania tiba-tiba aja mutar setir ke sini." Gemi yang menjawabku.

"Bawa mobil sendiri? Boleh sama Brie?" sedikit sangsi sebab semenjak Gania dinyatakan hamil, setahuku wanita ini sedikit banyak diocehi oleh sang mertua untuk tidak melakukan hal-hal berat dan salah satu contohnya menyetir mobil—yang padahal seharusnya bukan kegiatan berat kecuali untuk menyetir sampai Anyer sana.

"Nggak boleh, mobil Gemi juga. Cuma gue ngidam aneh-aneh, dari mulai kepengin nyetir mobilnya Gemi tadi sampai peluk lo kayak gini." Gania mengeratkan pelukannya padaku sampai rasanya kencang sekali dan membuatku sedikit meringis.

Gemi mendengus, terlihat ada sisa kekesalan pada wajahnya dan menarik kursi di depan Lila setelah menyapa wanita itu yang tak lama bergegas merapikan barang-barangnya untuk berpindah tempat padahal kami sudah mengatakan tak apa jika dia tetap ingin duduk di sana.

"Gue bawa Mercy-nya Re. Ini Ibu sultan punya mobil Mercy banyak juga, masih aja ngidamnya nyetir mobil gue, heran nggak lo? Gue rasa anaknya nanti down to earth banget, sih. Nggak kayak Mami Papinya." oceh Gemi tanpa terdengar kesal yang berlebihan.

Gania masih merangkul lengan atasku setelah melepas pelukannya dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman pada bahu atas kananku, kami berdua masih berdiri berhadapan dengan Gemi yang duduk tenang.

Cardines Temporum | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang