The end of autumn and summer

3.8K 226 46
                                    


Waving woods do hymn an autumn sound,


Fradella


Jakarta, Juni 2020

Aku keluar menuju parkiran rumah sakit setelah mendapat pesan dari dokter Ega yang mengabarkan kalau dia sudah menunggu di dalam mobilnya. Merapikan blouse yang aku kenakan dan juga tatanan rambutku yang terurai dengan membuat kuncir kuda agar menjadi lebih rapi, kakiku terus melangkah sampai mataku mendapati sedan hitam lelaki itu berada di line kedua parkiran.

Aku mengetuk kaca pintu setelah tiba di samping mobilnya dan suara lock kunci terdengar sampai aku bisa menarik handle-nya agar aku bisa masuk ke dalam.

"Siang, Dok." sapaku dengan nada santun dan terdengar kakau mungkin.

"Siang, Fra." balasnya jauh lebih ringan.

Kami tak melanjutkan obrolan dan seketika suasana menjadi canggung, sementara lelaki itu menjalankan mobilnya untuk keluar dari pelataran parkir rumah sakit.

"Dokter tahu kalau ada desas-desus soal kita di rumah sakit?" tanyaku mencoba menjaga nada santuku dengan konstan. "Saya dengar dari dokter Alia kemarin."

Desas-desus. Entah apapun itu aku khawatir kalau selama ini, hal itu justru akan memperburuk nama baik dokter Ega yang sudah terbentuk sebaik itu sampai sekarang.

"Mungkin," jawabnya mengawang tak pasti.

"Kenapa, ya?" lagi-lagi aku bertanya, dan mataku tetap lurus ke arah jalanan di depan tanpa menoleh ke arahnya. Belum berani menemukan tatapan lelaki di sampingku ini.

Apa karena kita terlalu sering terlihat bersama? Aku bertanya-tanya di dalam hati saja.

"Saya juga kurang tahu."

Dan suasana kembali hening.

"Dokter suka sama saya?" tembakku langsung tanpa mau berbasa-basi agar segalanya bisa terurai dengan cepat.

"You know how old I am, Fra?" lelaki itu memulai berganti melemparkan pertanyaan. Kedua bahuku mengedik acuh tak acuh dan kali ini mataku melirik ke arahnya. "Tiga puluh empat tahun." lanjutnya. Seketika aku menghitung mundur dengan usiaku.

"Dan di usia saya yang segini, saya gagal terus mendekati wanita." Curhatnya seolah ini semua ada dalam rangkaian kalimat yang ingin dia sampaikan kepadaku "Kamu tanya tadi apa saya suka sama kamu, saya jawab... Iya."

Kali ini bukan hanya sebuah lirikan tapi kepalaku dengan sempurna menoleh ke arahnya. Kepala lelaki itu juga menoleh ke arahku sampai kedua mata kami bertatapan.

Dia mengatakan bahwa dia menyukaiku, sejak kapan?

"Kalau saya ditanya apa saya punya pilihan, saya nggak punya pilihan, tapi ada kamu." lelaki itu kembali melanjutkan kalimatnya tanpa ada keraguan atau nada yang bergetar, dia hanya berbicara dengan mode biasa.

"Jadi saya satu-satunya pilihan dokter Ega? Pilihan terakhir, gitu?" suaraku terdengar sedikit lirih. Ada perasaan yang mengganjal seperti rasa kecewa jauh di dalam lubuk hatiku. Sudah pilihan, yang terakhir pula.

"Saya maunya kamu jadi tujuan terakhir saya." tekannya dengan lembut.

Dan seketika itu semua yang sebelumnya mengganjal di dalam hatiku terganti dengan desiran lembut tak kasat mata.

Cardines Temporum | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang