Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

Bab 9

63.9K 10.3K 1.7K
                                    

ALANA

"Alana?" Mas Riyan berdiri di ambang pintu dengan wajah terlihat jelas kaget.

"Hai, Mas. Yup, it's me. Surprise!" Aku tersenyum manis, sementara Mas Riyan masih menatapku takjub.

"Boleh masuk nggak, sih?" tanyaku setelah beberapa saat kami hanya saling bertatapan di depan pintu.

"Oh, sure." Mas Riyan berdiri menyamping hingga akhirnya aku bisa masuk. Apartemen Mas Riyan cukup luas dan secara keseluruhan sangat rapi. Hanya meja yang terlihat sedikit berantakan. Kertas-kertas berserakan dan laptopnya masih dalam keadaan menyala. Tampaknya aku datang saat dia sedang bekerja.

"Aku ganggu kerjaan kamu, ya?" tanyaku sambil mengamati sosok Mas Riyan. Dia masih mengenakan kemeja kerjanya, mungkin pulang kantor dia langsung lanjut kerja. Rambutnya berantakan dan wajahnya kelihatan lelah. Tampaknya aku datang di waktu yang tidak tepat. Mas Riyan tersenyum lalu melangkah mendekat dan meraihku dalam pelukan.

"Nggak sama sekali, aku senang banget malah kamu dateng. Wow, rasanya nggak percaya kamu beneran ada di sini," ucapnya sambil mencium pipiku lembut. Aku berusaha mengembangkan senyum, berharap dia masih berpikir seperti itu setelah tahu maksud kedatanganku.

"Kamu datang sendirian? Atau sedang ada acara kampus? Kok, nggak bilang kalau mau datang? Kalau bilang kan aku bisa jemput." Mas Riyan mencecarku dengan pertanyaan saat kami berdua sudah duduk di sofa.

"Iya sendiri. Nggak ada acara kampus, kok. Aku datang memang untuk menemui kamu, ada hal penting yang ingin aku sampaikan," ucapku serius hingga membuat kening Mas Riyan berkerut.

"Hal penting apa?" tanyanya.

Aku menggigit bibir dengan hati gundah. Aku merasa suasananya nggak terlalu tepat untuk membicarakan hal ini. Aku capek banget dari pagi belum sempat istirahat. Aku juga lapar, tadi nggak sempat makan siang karena takut ketinggalan pesawat. Kondisi Mas Riyan juga kelihatannya nggak lebih baik dariku. Ini benar-benar bukan waktu yang tepat, tapi aku nggak sanggup menunda lagi.

"Aku dapat tawaran beasiswa dari Parsons New York." Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibirku. Mas Riyan terdiam, tampaknya masih mencerna kata-kataku. Lalu perlahan wajahnya berubah gelap.

"Berapa lama?" tanyanya dengan mata tajam menatapku.

"Dua tahun," ucapku lirih.

"Dua tahun ...." Mas Riyan menyandarkan tubuhnya di sofa dengan wajah terlihat semakin gelap.

"Mas, aku—"

"Kamu berniat mengambilnya?" Mas Riyan memotong ucapanku.

Aku menghela napas panjang, lalu perlahan mengangguk. "Ini kesempatan yang sangat luar biasa untukku. Jadi ya, aku akan mengambilnya."

Di sebelahku, Mas Riyan masih diam yang malah membuat suasana semakin mencekam. "Wow, Alana, aku nggak nyangka kamu seegois itu." Akhirnya Mas Riyan bicara dan jantungku langsung mencelos mendengar tanggapannya. "Apa kamu sama sekali nggak memikirkan perasaanku?" Dia nggak menaikkan nada suaranya, tapi aku bisa melihat jelas kobaran api di matanya.

"Mas, tolong mengerti, aku—"

"Selama ini aku kurang mengerti apa lagi, Al? Setahun kita pacaran apa pernah aku menuntut kamu macam-macam? Apa pernah aku memaksa kamu melakukan hal yang nggak ingin kamu lakukan? Aku berusaha mengerti, tapi nggak sekalipun kamu berusaha mengerti aku," potongnya tajam.

Aku sangat paham kalau selama ini dia sudah berkompromi banyak hal demi aku. Dari awal, Mas Riyan memang nggak pernah menutup-nutupi tentang gaya pacarannya sebelum dia pacaran denganku. Gaya pacaran yang melibatkan kontak fisik, intim. Aku nggak terlalu kaget, dia laki-laki dewasa, banyak teman-temanku yang juga punya gaya pacaran yang sama.

Friends Don't KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang