Disclaimer: Paragraf italic adalah cuplikan dari masa lalu.
.
.
Aneh.
Rasanya sangat aneh.
Seumur hidup, Levi Ackerman tidak pernah merasa gugup. Bahkan dahulu, semasa duduk di bangku kuliah, masa di mana ia masih enggan mengaku tertarik kepada sesama jenis, Levi sama sekali tidak gugup ketika menyerahkan keperjakaannya untuk Petra—mantan kekasihnya. Ia bertindak sangat natural. Apa pun situasi dan kondisi, rasa itu tidak pernah hadir dan membuatnya bertingkah memalukan.
Sayang, hal tersebut tidak berlaku untuk hari ini.
Jika saja Eren tidak berdeham, mungkin Levi masih tetap berdiri di tempat. Layaknya orang paling bodoh di dunia.
Canggung. Gugup. Malu. Semua bercampur menjadi satu dan membuat pria tinggi menepi sembari membuka pintu lebih lebar dengan gerakan paling kaku. Bila Hanji hadir sebagai saksi, mungkin ia akan terbahak dan mengira Levi adalah robot yang sedang kehabisan baterai. Sungguh memalukan.
Namun, beruntung—atau tidak—Eren tampak tidak terganggu dengan tingkah canggung mantan tetangga sekaligus calon teman serumahnya. Pemuda itu masih menyunggingkan senyum manis ketika memasuki rumah. Suara renyah yang tersimpan di dalam ingatan Levi mengucapkan kata permisi dengan sopan.
Levi menutup pintu, sangat perlahan. Sejenak memejamkan mata. Sekadar menenangkan hati. Usai menarik napas dan mengembuskannya sebanyak dua kali, sepasang mata hitam itu terbuka. Yakin sudah merasa lebih baik, ia segera berbalik. Niat hati ingin membimbing tamu tidak terduga menuju ruang tamu, tapi Levi mendadak lupa untuk bernapas seperti manusia normal setelah melihat pemandangan di hadapannya.
Eren ternyata masih berdiri di sebelah rak sepatu. Punggung menghadap Levi. Tidak sengaja memamerkan aset paling indah yang membuat mata elang mengamati bokong bulat berlapis celana pendek.
Demi Tuhan, Levi tidak pernah melihat wanita mana pun mengenakan celana sependek itu.
Celana yang bahkan kesulitan untuk menutupi dua pipi semok di bagian belakang. Pun, seolah ingin memperburuk keadaan, pelaku utama yang membuat Levi nyaris terkena serangan jantung itu tiba-tiba membungkuk. Tangan khas lelaki terlihat begitu lentik, mencoba melepas kaitan sepatu hak tinggi yang melilit pergelangan kaki.
Levi hanya bisa menelan ludah. Mata sedikit mendelik. Lapar dan haus membuat tangannya merasa gatal. Ingin meraba. Ingin menyentuh bongkahan bulat. Ingin merasakan kekenyalan permukaan kulit di area selangkangan yang kini tidak tertutupi kain celana super pendek.
Ah.
Hanji benar-benar serius ingin membuatnya tinggal satu atap dengan Eren, hm?
"Um ... Levi?"
Pemilik nama segera mengedipkan mata dua kali. Pandangan beralih dari bokong semok menuju wajah manis Eren yang masih memasang senyum. Pemuda itu bahkan tidak menunjukkan ekspresi terganggu. Tidak ada wajah jijik karena telah menangkap basah seorang pria berusia tiga puluh lima tahun sedang mengamati area privasinya.
Apakah Eren tidak sadar?
Pertanyaan tersebut muncul di dalam benak. Namun, Levi sama sekali tidak bisa berpikir. Otaknya sampai pada jalan buntu. Terlalu larut dalam kecanggungan dan sedikit rasa malu hingga akhirnya memutuskan untuk menyimpan pertanyaan itu.
Sadar telah membuat Eren menunggu lama, pria tinggi segera berdeham pelan sembari mengusap telapak tangan yang basah ke sisi celana jogger hitam. "... Ya?"
Lalu hening.
Eren sama sekali tidak merespon. Ia justru diam. Mulut tertutup begitu rapat. Sepasang mata indah menatap lurus. Seolah sedang membaca setiap gerak-gerik dan tarikan napas Levi. Hingga binar aneh itu muncul, membuat pria yang lebih dewasa harus menelan ludah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEAL [RIVAERE]
Fanfiction[BL] [BOY X BOY] Pekerjaan dan insomnia membuat kehidupan Levi semakin buruk. Ia sering lupa makan, tidur tidak nyenyak, dan ketergantungan kafein serta nikotin. Hanji bilang Levi hanya perlu mencari teman serumah. Ide konyol karena Levi Ackerman t...