Kondisi Eren yang seperti ini ternyata membuat Levi sadar bahwa ia memang tidak bisa lari dari masa lalu. Kotak kecil yang bertahun-tahun menyimpan seluruh perasaannya yang rapuh, kini sudah terbuka seutuhnya.
Hanya karena sisi posesif yang tiba-tiba muncul.
Sisi yang ingin melindungi Eren. Sama seperti dahulu ketika pertama kali Levi melihat semua lebam dikala pria tersebut masih remaja.
Ada rasa gundah yang luar biasa kuat di dalam dada. Levi berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang. Walau rahang yang mengeras disertai dengan intensitas tatapannya membuat siapa saja mudah untuk menilai amarah yang tersimpan.
Beruntung, Eren tidak banyak komentar.
Pria muda berambut panjang itu hanya diam saja ketika Levi membimbingnya untuk duduk di salah satu kursi. Begitu tenang mengamati sang tuan rumah membuka salah satu lemari di dapur untuk mengambil kotak obat. Sama sekali tidak mengeluh ketika Levi membersihkan lebam di pipi kiri serta sedikit robekan di sudut bibir yang masih sedikit meninggalkan noda darah. Hanya ada desisan lirih yang membuat pergerakan tangan pria tinggi tersebut semakin lembut.
Hening.
Tidak ada yang bicara.
Levi duduk di seberang Eren. Hanya ada meja makan yang sedikit memberikan jarak keduanya. Maka dari itu, Eren bisa melihat ekspresi pria tersebut dengan sangat jelas. Mulai dari rahangnya yang masih mengeras, pupil hitam kebiruan yang lebih tajam dari biasanya, alis tipis menukik sangat dalam, lalu embus napasnya yang sedikit memburu.
Dalam sekali lirik, Eren tahu bahwa Levi marah.
Pun, Levi tahu hal itu.
Selama proses membersihkan luka dan lebam yang—syukurlah, pikir Levi—tidak terlalu buruk, keduanya hanya diam. Tak ada yang ingin membuka suara.
Belum saatnya.
Setidaknya sampai Levi selesai mengolesi lebam di pipi Eren menggunakan salep.
Mau tidak mau, keduanya harus menghadapi situasi ini. Memecahkan suasana dengan pembicaraan yang Levi yakini akan memperburuk amarahnya.
Eren—mungkin merasa bertanggung jawab atas suasana berat tersebut—akhirnya bicara terlebih dahulu. Ia tertawa lirih, membuat Levi memandangnya begitu cepat. Alis tipis semakin menukik.
“Terima kasih sudah membantu, Levi,” ujarnya sembari menggaruk tengkuk. Sesekali akan melirik Levi yang masih menatapnya lurus. “Aku juga minta maaf karena—
“Tak perlu basa-basi dan kau juga tidak perlu meminta maaf,” potong Levi, serius. Nadanya yang luar biasa dingin sedikit membuat Eren tersentak. Pria berambut panjang itu segera menggigit bibir. Gestur yang tidak lolos dari sepasang mata hitam kebiruan tersebut. “Cukup katakan siapa pelakunya.”
Hening.
Eren menelan ludah, lalu menundukkan kepala. Beberapa helai rambut panjangnya sampai menjuntai ke depan, sedikit menutupi wajah. Tangan yang tadi menggaruk tengkuk, kini sudah turun dan sibuk memainkan jemari di atas pangkuan.
Gugup adalah reaksi yang tidak Levi pikirkan sebelumnya.
Walau sebenarnya Levi sudah bisa menebak siapa pelakunya, tapi melihat Eren gugup dan ragu seperti ini, membuatnya semakin yakin betapa buruknya hubungan pria cantik di hadapannya ini dengan sang pelaku, yaitu Reiner.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEAL [RIVAERE]
Fanfiction[BL] [BOY X BOY] Pekerjaan dan insomnia membuat kehidupan Levi semakin buruk. Ia sering lupa makan, tidur tidak nyenyak, dan ketergantungan kafein serta nikotin. Hanji bilang Levi hanya perlu mencari teman serumah. Ide konyol karena Levi Ackerman t...