5. Rutinitas

99 18 3
                                    

Eren kira semua ucapan Levi semalam hanyalah sebuah bualan saja. Akal-akalan pria tersebut untuk membuat keadaan dan suasana hati Eren menjadi lebih baik. Namun, nyatanya, Levi benar-benar memegang kata-katanya sendiri.

Eren yang baru saja selesai mandi dan hendak menyiapkan sarapan harus berhenti melangkah ketika melihat sosok lain yang sudah ada di area dapur terlebih dahulu. Punggung berbalut kemeja putih itu masih memunggunginya. Tangan kanan sedang memegang sesuatu, tak terlalu terlihat karena tertutupi oleh tubuhnya yang tinggi. Hanya saja, kepulan asap yang membumbung membuat Eren bisa menebak bila Levi tengah menyeduh sesuatu. Pun, aroma teh hitam yang segera memenuhi ruangan berhasil menjawab semua pertanyaan di dalam benak pemuda tersebut.

Eren jelas tidak menyangka bila Levi sudah terlihat rapi seperti ini. Biasanya, pria tersebut akan berangkat lebih pagi atau setidaknya keluar dari kamar setelah Eren selesai menyiapkan bekal. Sebuah perubahan yang tentu saja membuat Eren bertanya-tanya.

Mengapa?

Apa yang membuat Levi tiba-tiba seperti ini?

Apa karena ucapannya semalam? Tentang ingin mengantar dan menjemput Eren bekerja?

Apakah … apakah dia benar-benar serius?

Berbagai macam pertanyaan lain berputar di dalam kepala sampai Eren tidak sadar bila Levi sudah berbalik dan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Pemuda itu tersentak ketika suara dehaman terdengar cukup keras.

Mata hijau berkedip beberapa kali. Akhirnya fokus menatap Levi yang kini sudah duduk di salah satu kursi di meja makan. Tangan kanan memegang cangkir teh dengan cara yang khas. Tepat sebelum menyesap cairan panas tersebut, ia berkata;

“Aku sudah beritahu Hanji,” katanya. “Dia tidak keberatan untuk membuka salon lebih awal selama beberapa waktu.”

Singkat. Padat.

Eren tertegun. Tiba-tiba kehilangan kemampuan untuk mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Levi dengan cepat. Reaksinya sangat lambat. Wajah datar dan bingung berubah luar biasa panik. Ada sedikit kekesalan yang terlihat ketika Eren—akhirnya—melangkah mendekat dengan sedikit mengentak.

“T-Tidak bisa seperti itu, Levi!” tolak Eren. Sangat keberatan. “Aku tidak mau merepotkan Hanji hanya karena masalah sepele seperti kemarin. Aku bisa—

Sepele?

Semua emosi Eren hilang ketika suara dingin Levi memotong ucapannya. Mata hitam itu menatap dengan binar yang sulit sekali untuk dijabarkan. Ada kesal, amarah, dan … sedih. Eren tidak tahu mengapa Levi merasa sedih. Keningnya mengerut bingung, tak mengerti.

Seolah paham dengan isi pikiran Eren, Levi hanya bisa mendesah panjang. Ia letakkan cangkir teh ke atas meja makan dengan perlahan. Suara sedikit kehilangan aura dingin, tapi masih tetap serius.

“Kejadian semalam itu bukanlah hal sepele, Eren,” ujar Levi, tanpa melepaskan pandangan dari Eren yang kini sudah berdiri di dekat meja makan. “Apa pun yang terjadi padamu semalam, sama sekali tidak bisa dianggap remeh. Kita tidak tahu kapan bajingan tengik itu akan datang dan menyakitimu lagi. Kau adalah karyawan Hanji. Sudah sepantasnya ia melakukan sesuatu untuk karyawannya yang baru saja mendapatkan kekerasan fisik meskipun di luar jam bekerja.”

Ada sensasi geli di dalam perut ketika mendengar Levi menyebut Reiner sebagai bajingan tengik. Sepercik rasa senang yang segera Eren telan bulat-bulat. Mulut sudah terbuka setelah mendengar penjelasan Levi, tapi pria tinggi tersebut sepertinya masih belum selesai.

LEAL [RIVAERE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang