Penulis : Gladys xxihaema_
Happy reading. 💐
.
.
.Kathryn’s POV
Jujur saja, sehari tanpa teriakan atau omelan ibu rasanya sangat ajaib, aku menunggu-nunggu kapan hari itu akan datang, sayang takdir memilih bermain-main denganku dan berkata ‘belum saatnya, gadis nakal’. Aku awalnya berpikir apa ibuku memang memiliki sifat seperti itu, tetapi nyatanya ibuku hanya melakukannya padaku. Lalu, aku kembali berpikir apakah aku memang gadis nakal yang tak berguna dan tak memenuhi ekspektasi ibuku.
“Berhenti memikirkan yang tidak-tidak, Kath.” Ibu menanggapi setelah kuceritakan keresahan hatiku pada beliau. “Ibu memperlakukanmu begitu karena ibu sayang padamu.”
Saat itu aku percaya, sekarang tidak lagi. Ya, ibu sayang padaku, sudah seharusnya begitu. Namun, lambat laun ibu menjadi egois dengan berusaha memenuhi ekspektasinya --tentang bagaimana sifat dan perilaku anak gadis yang anggun, seperti Melinda. Tidak sekali dua kali ibu membawa nama Melinda dalam obrolan kami dan tidak sekali pula aku kesal dengan topik itu.
Semua anak benci dibanding-bandingkan dengan anak orang lain.
Ditambah lagi sekarang sedang hangat-hangatnya pembicaraan mengenai siapa selanjutnya gadis yang akan dipilih oleh penyihir menara. Para orangtua --terlebih sang ibu, sedang sibuk-sibuknya memberi pelatihan kepada anak gadis mereka, beberapa kali Sina mengajak mereka berkumpul seperti biasa, mereka menolak dengan alasan sedang di awasi penuh oleh sang ibu.
“Kau sendiri bagaimana? Ku pikir ibumu juga akan melarang,” Sina bertanya saat kami memutuskan untuk tetap berkumpul tanpa para gadis –kecuali aku.
Aku mengangkat bahu. “Ibu tak bicara apapun lagi.”
Aku sama sekali tak bersedih, lagipula sedari awal aku tak tertarik dengan itu, mungkin di awal aku terus-terusan bertanya ke ibu tentang penyihir menara, tetapi murni karena rasa penasaran, setelahnya selesai. Aku tak ingin tahu lebih lanjut.
Masih dengan suasana senyap di malam itu, Ray, teman Sina yang kebetulan ikut menepuk bahuku pelan. “Tak semua gadis akan berakhir disana, masih banyak hal yang bisa dilakukan agar orangtua tetap bangga.”
“Tanpa menjadi penyihir, kalian juga masih bisa hidup, ‘kan?”
Aku tertawa. “Andai semua ibu berpikir seperti itu.”
Tanpa kuketahui, ibuku merencanakan sesuatu untukku. Keesokan harinya saat aku berhasil pulang ke rumah sebelum ayam berkokok, secara spontan ibu berkata bahwa beliau sudah memasukkan namaku kedalam daftar pemilihan gadis oleh penyihir menara.
“Bukankah masih lama? Waktunya masih banyak, kenapa seperti terburu-buru, bu?”
Ibu menghela napas. “Lebih cepat lebih baik. Lagipula aku tak menuntutmu seperti yang lain, aku hanya mendaftarkanmu, selebihnya terserah padamu.”
Aku terdiam. Ingin melayangkan protes lagi, tetapi terhalang di tenggorokan. Bukankah ini artinya aku tetap berakhir di menara penyihir nanti? Meskipun kemungkinannya hanya sekian persen.
Sementara aku terdiam di tempat, ibu kembali berbicara. “Sore nanti, akan ada perjamuan kecil yang di adakan ibu Melinda. Dia mengundang semua gadis di desa ini untuk berbincang mengenai penyihir menara dan kehidupan di sana,” beliau menyodorkan gulungan kertas yang kuduga adalah surat undangan. “Permohonan terakhir ibu, datanglah.”
Tentu saja aku tak bisa menolak, melihat ibu sudah memelas rasanya sungkan untuk menolak, maka dengan berat hati aku pergi, ibu menjadi antusias saat aku setuju, buru-buru memilih gaun terbaik dan riasan terbaik.
“Tidak berlebihan, ‘kan?” aku bertanya sesaat memandangi diriku yang selesai di dandani ibu.
“Tidak, Kath. Kau cantik.”
Itu suara ayah. Beliau muncul di balik kain bekas yang menjadi pintu kamarku, sejenak ikut memandangiku.
Aku tersenyum simpul. “Terima kasih, ayah.”
Sekali lagi aku melihat diriku di balik pantulan cermin, entahlah, perasaannya menjadi campur aduk. Membayangkan aku yang memakai gaun dan riasan di wajah serta bersikap anggun membuat bulu kudukku merinding. Seperti bukan diriku.
“Nah, selesai. Lihat ke sini, cantik. Yap! Sempurna.” Ibu bertepuk tangan heboh, wajahnya sumringah. Menurut beliau ini pemandangan langka, seumur hidupku mungkin bisa di hitung jari aku berpenampilan seperti ini.
Sepuluh menit kemudian aku sudah meluncur ke rumah Melinda, sayup-sayup aku mendengar riuh suara yang tercipta di rumahnya, jarak antara rumahku dan Melinda hanya beberapa langkah, satu yang membuatku beruntung tidak perlu berjalan terlalu jauh.
Benar saja, sesampainya di rumah Melinda aku bisa melihat banyak gadis seumuranku yang memenuhi rumah, di pintu depan ada Melinda dengan gaun merah muda tengah melambai ke arahku. Aku membalas lambaiannya, lalu berjalan mendekat.
“Wow, lihat siapa ini? Seperti malaikat yang turun dari langit.” Begitu sapaan Melinda ketika aku tiba di depannya.
Melinda kemudian mengajakku masuk dan bergabung bersama yang lain. Aku menyapa satu dua gadis yang sering kutemui ketika berkumpul bersama Sina, selebihnya baru pertama kulihat. Mungkin jarang keluar dan berbaur bersama.
Kami mulai tenggelam dalam percakapan ringan, meskipun kebanyakan dari mereka membahas seputar kecantikan, gaun baru, kelas tata krama yang di ajarkan ibu, perjamuan ala bangsawan, dan lain sebagainya, membuatku jenuh serta bosan. Beberapa kali aku menguap, benar-benar tidak tertarik dengan topik.
Melinda menepuk lenganku saat aku menguap lagi. “Omong-omong, minggu lalu kau mencoba pergi ke menara penyihir, ‘kan? Bisa kau ceritakan lebih lanjut, Kathryn?”
Aku gelagapan, pertama karena ketahuan menguap, kedua karena posisi dudukku yang aneh. Aku menegakkan punggung, berdehem pelan. “Ya, tapi aku hanya melihat dari jauh, tidak ada apa-apa di sana selain tembok batu bata.”
Mulan, gadis yang berkumpul bersamaku kapan hari membuka suara. “Dia benar, kalau bicara soal melihat menara dari luar tentu tidak terlihat apapun. Penyihir menara menutup rapat kegiatan di dalam sana.”
Para gadis manggut-manggut setuju.
“Kalian tidak pernah mendengar cerita dari gadis-gadis pilihan penyihir? Maksudku, sedikit bocoran tentang kegiatan yang di lakukan di dalam sana.” Melinda kembali bertanya, ku akui gadis ini benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk berakhir di menara.
Seorang gadis dengan gaun hijau muda mengangkat tangan. “Kakak pertamaku adalah korban ledakan waktu itu. Ia berhasil diselamatkan oleh penyihir menara, sampai sekarang tidak pernah kembali ke rumah.” Wajahnya menjadi sedih.
Suasana hening sejenak, aku menghela napas pelan. Semua orang tahu jika terlibat dengan penyihir menara sama dengan terjebak bersama selamanya. Sayangnya orang tua berpikir dengan memasukkan gadis mereka ke menara penyihir akan memperbaiki ekonomi mereka, tanpa memikirkan bagaimana perasaan gadis yang mereka korbankan.
Tiba-tiba saja aku menyeletuk, “bagaimana wujud penyihir menara itu?”
“Aku tak tahu.”
“Belum pernah melihatnya.”
“Hei, kau tahu?” adalah jawaban kebanyakan gadis.
“Aku pernah melihatnya.”
Melinda menjawab pelan, aku menoleh padanya, begitupun para gadis. Meminta penjelasan.
“Dia seperti penyihir kebanyakan, meskipun sudah berumur ratusan tahun tetapi masih kelihatan muda. Dia terlihat ... tampan.” Semburat kemerahan muncul di wajah Melinda.
Mulan terkekeh, entah apa yang lucu. “Sayangnya penyihir tetaplah penyihir.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Weast × East
FantasyMengalahkan, merusak, menyalahkan, dan berpihak. Rangkaian dilema yang berkepanjangan dalam kerajaan. Dimana munculnya kepercayaan 'penyihir menara dan gadis asuhannya' bahwa menundukkan kehebatan hutan tak perlu menyiapkan sederet pasukan dan peran...