Bab 11

9 6 0
                                    

Penulis : Jamilah Jaamiilah

Happy reading. 💐
.
.
.

Setelah upacara penyambutan, semua kembali seperti semula. Perempuan terpilih dan beberapa perubahan lainnya diurus oleh pihak terpercaya Arzaz. Ia tentunya tidak bermalas-malasan di kamarnya. Arzaz termangu di depan jendela. Arah pandangannya jauh ke dalam hutan. Aura yang sampai ke arahnya meski ia tidak mengenali dengan baik tapi sangat asing.

Bagai bunga yang nampak cantik dan unik tapi tidak bisa sembarang didekati. Baru saja ia berpikir jauh dan sebongkah es sedang berusaha dia cairkan dari kepalanya. Pelayan datang dan menghampirinya, mengucapkan beberapa patah kata yang sukses membuat Arzaz merengut jengkel.

“Bilang kepada penduduk pusat kota untuk menyiapkan obor sebanyak lahan kebun atau apa pun itu yang berusaha mereka selamatkan.”

Pelayan itu menghadap sigap ke arah Arzaz yang berbicara dan berkata, “Apabila lahan yang bisa diselamatkan hanya empat di seluruh kerajaan. Apakah…”

“Iya.” Arzaz tidak mau repot mendengarkan.

Baru saja ia mendapat kabar akan berita buruk desa-desa, sekarang udara yang terasa berat ketika dihirup atau kabutnya yang begitu tebal sampai ke area tempat tinggalnya. Ia melangkahkan kaki hati-hati dan memindai langit. Pekerjaannya bertambah banyak hari ini hingga beberapa pekan kemudian.

Sepanjang ia berjalan ke arah desa yang jauh, ia banyak melihat orang-orang desa dengan cangkul dan keranjangnya. Beberapa orang sibuk menggali tanah, memungut buah-buahan setengah matang, bahkan ada yang menggaruk rumput tidak segar. Salah seorang dari pihak istana mengawasi pekerjaan mereka.

Semakin jauh kakinya melangkah, semakin banyak ia melihat orang-orang berkerumun. Bantuan segera datang silih berganti, mereka bahu-membahu mencari keuntungan dari situasi yang tidak bisa dijelaskan. Sementara dari sisi-sisi samping sungai, tanah tidak lagi cokelat segar. Mereka tampak kering dan berwarna kehitaman. Tidak ada satu pun yang mendekat bahkan di awal pagi seperti ini yang biasanya dipenuhi pemancing ikan.

Arzaz sampai kepada tujuannya. Berdiri di jantung kota. Tempat yang tepat untuk mengeluarkan ramuan kebanggaannya. Ia tidak tunduk pada siapa-siapa sehingga tidak perlu izin dari pihak istana. Arzaz mengambil ramuan Jantung-Naga di kantung kirinya. Beberapa orang yang tampak penasaran memilih berhenti alih-alih mempercepat kerja mereka untuk menyelamatkan hasil panen yang tersisa.

Gagal panen ini mengharuskan mereka mengambil sejumput rumput lahan yang tercemar dan menumpuknya menjadi satu bagian di pusat kota. Obor yang dibutuhkan Arzaz akan ia gunakan untuk membakar bagian rumput itu tidak peduli jika sekumpul rumput itu sedikit. Aturannya jumlah lahan sama dengan jumlah obor.  Jika aturannya sudah terpenuhi maka pencemaran akan berkurang.

Arzaz tidak memastikan jumlah obor, ia hanya melihatnya sekilas. Beberapa orang penting berkumpul di belakangnya tanpa diminta. Ramuan itu diangkat setinggi dagu Arzaz. Sebatas ingin melihat lebih jelas warna merah pekatnya diterpa sinar matahari pagi. Ramuan itu membuat semua yang melihatnya meringis. Jantung Naga yang di pegangnya bagai makhluk hidup. Ia meliuk-liuk bagai tertiup secara bergantian dari angin barat dan timur.

“Demi pecinta rerumputan. Aku meminta kepadamu wahai api abadi yang menerkam siapa saja yang bersentuhan, aku meminta kepadamu wahai penguasa Obelia, dengan kekuatanmu yang agung hapuslah pencemaran ini yang melingkup bumi dan langit.”

Ramuan itu hanya terisi seperempat, bentuknya liquid, tapi setelah segel pembukanya diucap dengan ajaibnya ramuan itu secara perlahan memenuhi tabung. “Satu orang dimohon maju untuk memegang obor yang pertama.”

Arzaz membuka penyumbatnya pelan setelah ia memposisikan tabung itu tepat berada di bawah dagunya. Sehingga kepulan asap hijau dan biru pekat itu langsung terhirup begitu ia membuka penyumbatnya. Ia secara teliti dan pelan meneteskan ramuannya ke tengah obor. Kayunya terbakar begitu cepat hingga hampir saja pemegangnya tak sempat melemparkan ke rumput yang beraneka warna dari lahan berbeda.

Ia lekas berbalik dan berlari ke mana saja yang penting ada air yang bisa menjadi tempat dicelupkannya jari yang sudah melepuh dan merah. Arzaz memberikan beberapa arahan dan setelahnya sibuk kembali meneteskan ramuan ke obor selanjutnya. Semua orang tampak terkejut dan semakin bergidik, itu baru ramuannya saja sudah seganas itu. Bagaimana dengan sihir Arzaz sendiri?

Mereka hanya mendengar dan membaca kisah Arzaz secara turun temurun, meskipun begitu mereka tetap terkejut menyaksikan langsung bagaimana ramuannya bekerja. Jantung Naga disebut berkali-kali dalam berbagai balada tentang perang dan pengepungan yang berakhir kekalahan lawan dan menyisakan kepulan asap dan abu mayat. Pembuatannya sendiri membutuhkan dua ribu pon emas per botol dengan perebusan sampai tingkat panas tak terbayangkan di kuali batu putih murni dari bumi bagian utara.

Setelah menyaksikan pemurnian, udara di atas mereka sudah lebih bersih. Beberapa daun di lahan sedikit pulih dengan warna hijau yang mulai normal meski masih begitu banyak dedaunan dan tanaman yang mati dan berwarna biru gelap seakan penuh racun mematikan. Beberapa penduduk desa yang hidupnya berpenghasilan hanya dari panen duduk di bawah pohon dengan menyandar pasrah. Gagang garunya dia biarkan tergeletak. Lahannya hancur dan pihak istana akan lama mengganti kerugian penduduknya.

“Baiklah, setidaknya aku harus mandi. Aku terlalu bau jika harus mati sekarang,” ujarnya putus asa. Arzaz mendengarnya saat menuju perjalanan pulang. Tidak ada urusan penting setelah ia menyelesaikan pembakaran dan beberapa kali mengeluarkan sihirnya untuk cepat memulihkan tanaman samping istana. Seakan-akan tamu mereka yang akan melewati jalan itu lebih penting dari penduduknya.

Arzaz mengepalkan tangannya. Lagi-lagi hutan di sebelah barat mengusik ketenangan penduduk desa, sementara istana hanya beberapa kali merasakan kerugiannya secara langsung.

Beberapa hari seterusnya, kondisi hati Arzaz tidak membaik. Setiap hari hanya tidur-membaca-tertidur-membaca dan tentu wajahnya yang terus merengut. Ia akan membanting apa pun yang menghalanginya. Saat itu terdapat pelayan yang tidak sengaja lewat di jalan yang sama dan menabrak Arzaz yang sibuk melihat peta dan mencoret-coret di peta.

Suasana berubah sunyi dan kaku. Ia tidak melihat kemana-mana, badannya bergetar dan Arzaz hanya berhenti sebentar untuk berpikir. Mikaliz semakin gelisah menunggu hukumannya. “Oh wilayah ini memang belum pernah terkena serangan apa pun.”

Mikaliz tidak paham arah pembicaraan tapi ia juga takut untuk bertanya. Sementara sosok yang ditakuti itu melanjutkan langkah sambil terus bergumam. Mikaliz memutuskan berlari dengan langkah ringan ke ruangan penyimpanan bahan pokok makanan untuk menemui temannya.

“Apa tuan Arzaz memang segitu depresinya hingga berjanji akan melempar apa pun yang tidak sengaja menganggunya?” tanya Mikaliz pelan.

Lawan bicaranya ragu-ragu, menggeleng, lalu mengangguk. “Yah mungkin, tapi aku pernah tidak sengaja menumpahkan seteko teh hijau ke buku birunya yang saat itu baru dibeli.”

Mikaliz memandangnya dengan tatapan mengerikan. “Untung saja kamu masih hidup sampai sekarang.”

“Aku bahkan sampai pipis berdiri di tempat.”

Mikaliz gatal hendak mengeluarkan sumpah serapah mengenai kekacauan tingkah temannya ini, tetapi ia bertanya hal lain. “Lalu apa yang terjadi?”

“Aku diminta keluar dan jangan pernah menemuinya lagi.”

Mikaliz menggeleng tidak habis pikir. Beberapa hari ini tuan Arzaz digambarkan semenakutkan singa tetapi teman di sampingnya ini menceritakan sesuatu yang tidak menggambarkan keganasan sang penyihir tampan satu itu.

Weast × EastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang