Bab 12

11 6 0
                                    

Penulis : Jamilah Jaamiilah

Happy reading.💐
.
.
.

Kathryn's POV

Aku tidak bertemu dengan tuan Arzaz selama seminggu berturut-turut. Sesampainya aku di menara, aku hanya menghabiskan waktu berdiam diri di kamar dengan melamun. Hei, maksudnya bagaimana bisa aku yang bukan pemberani juga cantik ini bisa sampai ke kamar ini.

Aku menghela napas panjang dan berusaha untuk tidak tegang. Aku mendapati diriku saat itu membayangkan bahwa tuan Arzaz suatu hari akan datang ke kamarku pada malam hari. Berubah menjadi sosok naga atau sosok yang bertaring dan bertanduk dan mendekatiku yang sedang tidur, mata yang terpancar dingin dan mengkilap seperti batu cincin milik pangeran, jemari keras dan kulit tebal yang berani menyentuh pipiku, lalu membakarku tiba-tiba karena baru menyadari kalau aku tidak layak menjadi yang perempuan terpilih.

Aku bergidik dan berusaha menyingkirkan pikiranku dan memutuskan berdiri tegap. Aku menatap ranjang yang barusan aku duduki, memandang sekitar yang sebenarnya tidak ada perubahan dari awal aku datang, dan mengamati lukisan besar yang menggambarkan seluk beluk kerajaan. Ruangan sempit ini bahkan tidak memiliki tempat untuk menyembunyikan diri. Lemari hanya memuat pakaian dan beberapa selimut.

Aku memutuskan keluar dan berjalan sedikit jauh ke arah depan, ada tangga di ujungnya, mengarah turun entah ke mana. Baru kali ini aku benar-benar mencari tempat lain selain kamar mandi berkat arahan Travis yang bodohnya aku tetap tidak hafal jalan dan penakut. Namun, aku juga perempuan yang sesekali tidak kenal takut dan tidak punya malu.

Setelah beberapa putaran mengendap-ngendap dan ternyata tidak ada makhluk aneh yang tiba-tiba menyerangku, aku mulai berjalan cepat setengah berlari dengan percaya diri. Namun, beberapa putaran tetap tidak membuatku kunjung bertemu ruangan baru atau setidaknya manusia. Aku memutuskan kembali dan berlari, tetapi kembali menuruni tangga setelah sadar betapa bimbangnya aku dengan kondisi ini. Baiklah, aku terus berlari turun hingga kemudian tergelincir dan berputar hebat di tangga selebar tiga tapak kaki dengan tidak manusiawi.

Aku merasakan tulangku hancur berantakan setelah berhenti entah di ruangan atau koridor sebelah mana. Aku sedikit kurus dan tentunya ceroboh. Ibu selalu bersyukur setiap menemukan diriku tetap utuh meski telah jatuh dari pohon setinggi empat meter. Ah, kali ini aku tidak dapat mendengar ucapan itu lagi.

Aku melihat tuan Arzaz diam mematung dan amarah melintasi wajahnya. Kemudian aku menyadari apa yang baru saja aku lakukan di menara ini dan mencetus panik mencari alasan apa saja yang terlintas sebelum dia berbicara, "Ah, aku mencari dapur!"

Tuan Arzaz tersenyum ... dengan aneh. Hanya seperti tersenyum dengan setengah lengkungan. Aku memiringkan kepala. Dia sedang berusaha menakutiku? Andai aku tidak cukup lelah dan tidak merasakan kesakitan, tentu sekarang aku akan mundur dan gemetar ketakutan atau pipis di celana. Namun, aku diam di tempat dan itu membuat wajahnya lebih murka lagi.

"Barangkali kamu mau aku menjadi pemandu?"

"Aku bisa," ujarku penuh percaya diri yang kemudian membuatku menyesal setengah mati.

Dia mendekatiku dan memegang lenganku keras untuk membantuku berdiri. Rasa dinginnya menembus dagingku. Secepat aku berdiri, secepat itu aku sadar bahwa ternyata aku telah sampai ke dapur. Aku melihat ruangan ini cukup gelap untuk disebut dapur di mana kita memotong, menumis, mengukus, dan membakar kayu perapian. Perapian di belakangnya cukup besar dan dia belum melepaskan cengkeramannya sampai aku berpikir mungkin ia berniat melemparkanku ke sana.

Dia kuat dan tentunya tampan. Maksudku meski badannya tidak sekekar para pengawal kerajaan, ia jauh lebih kuat dari orang dengan badan seukurannya. Sesaat kemudian, dia berkata dengan nada kesal yang disabar-sabarkan, "Apa kamu benar-benar gila?"

"Aku perempuan," jawabku melantur, masih tidak sadar diri, kemudian tertawa.

Kulihat badan dan pakaianku, bagus sekali bentuknya. Memar, robek, dan pergelangan kaki yang terasa nyeri. Kepalaku terasa berat sekaligus pusing seakan tempurung otakku retak. Kulihat tuan Arzaz menghembuskan napas pelan. Aku rasa baru kali ini ada manusia yang menertawakannya selama ratusan tahun dia hidup. Dia tidak berbicara dan memilih pergi dari hadapanku.

"Yah, jangankan tuan, ibuku saja kadang lelah dan pusing menghadapiku," ucapku pelan. Lebih kepada diri sendiri sambil melihatnya terus berjalan.

Dia berhenti di anak tangga keempat. "Kamu menyamakan diriku dengan ibumu?"

Aku tertawa ringan. "Ya begitulah. Sama-sama tidak sabaran."

Dia tidak mengucapkan apa pun dan melanjutkan langkah kakinya. Aku melihat sekeliling yang cukup sulit membuatku melihat dengan jelas karena perapian besar itu menyala terang sedangkan tidak ada sumber cahaya lain di sini.

Bahan makanan pokok ada di mana-mana; tong apel yang buahnya sudah terlampau penuh, karung-karung yang berisikan potongan kentang, umbi-umbian, dan air bersih. Setelah membaca beberapa catatan tertinggal di kamar dan di dapur ini, tugasku setiap hari hanyalah memberikan hidangan setiap pagi, siang, dan makan malam pada pukul lima sore.

Letakkan makanan yang telah dimasak ke perpustakaan. Sediakan lebih cepat dari waktu makan supaya tidak selalu melihat muka tampannya yang seperti penagih hutang.

Aku tertawa setelah membaca catatan kecil di tong buah-buahan. Pasti tuan Arzaz tidak memperhatikan ini. Aku tidak tau siapa yang menulis, tetapi terima kasih banyak telah membuatku terhibur. Nasihat-nasihat kecil ini tidak bernilai harganya.

Beberapa hari ini pelayan maupun perempuan lainnya tidak pernah ia lihat, satu-satunya yang masuk dalam penglihatannya hanyalah keberadaan Travis. Ia memutuskan terus menelusuri tempat di menara. Meski ia sendiri bingung lantai berapa, ruangan apa, dan beberapa hal kecil lainnya setelah menemukan beberapa ruangan. Tapi setidaknya dia paham bahwa ia akan mati kebosanan setelah dia berpikir bahwa salah satu kegiatan yang dapat ia kerjakan adalah bersih-bersih.

Namun, sejauh dia menelusuri ruangan, debu setitik pun tidak ia temukan. Ah, tuan Arzaz adalah penyihir. Apabila dia tidak menggunakan kemampuannya, dia dapat meminta orang lain untuk mengerjakannya. Aku sangat lega menemukan perpustakaan yang dimaksud saat malam hari.

Aku membeku menatap ke satu meja. Orang yang duduk di sana menatapku balik dengan malas. Seperti menyesal, tetapi jelas itu bukan kesalahan dia. Aku seperti mengkhianati nasihat yang baru saja kutemukan di dapur. Memang siapa yang ingin melihat wajahnya yang selalu keras seperti penagih hutang itu?

"Sungguh?" tanyanya ketus.

"Aku hanya ingin mencari kamarku," jawabku membela diri. Hingga akhirnya tersadar bahwa yang ia tanya adalah kalimat yang aku ucapkan dalam hati.

Wahai siapa pun yang dapat mendengarku, selamatkan aku dari sini.

"Aku yang dapat mendengarmu. Jadi, apa yang bisa kamu tukar untuk jasaku nanti?"

Hah, melelahkan

Aku menatap diriku sendiri secara tidak sengaja melalui pantulan kaca di sebrang. Di bajuku ada beberapa bekas hitam arang dari perapian, potongan kentang yang entah kenapa bisa menempel cantik di sana, dan beberapa cipratan bumbu yang tadi aku aduk untuk memastikan cairan apa itu.

"Bisa ucapkan mantra pembersih untukku?" tanyaku.

"Memang kamu sesuatu yang paling kotor di sini," ketusnya terang-terangan. Aku akui itu benar tetapi tetap saja kasar. Aku memang mendengar desas-desus kepribadiannya yang campur aduk itu. Terkadang memang bisa mengeluarkan kalimat sesuai dengan posisinya, terkadang lagi seenaknya seperti saat berbicara kepadaku.

Tanpa aku minta dua kali, tubuhku terasa bergetar sebentar dan kucium aroma harum dari badanku. Belum sempat aku melihat apa yang terjadi atau setidaknya mengucapkan terima kasih karena mungkin ia sedang mengucapkan mantra pembersih, aku dilemparkan ke kasur melalui teleportasi kasar.

Aku terhuyung dan berusaha bangun mencari tempat untuk mengeluarkan muntahanku.

Weast × EastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang