Satu tahun sebelumnya....
"Wah! Indah banget pemandangannya Za!" seru Raina girang.
Langit Yogyakarta pagi ini tampak cerah. Tidak ada gumpalan-gumpalan awan yang menghalangi pandangan mata. Matahari telah memberikan senyumnya di muka bumi. Kicauan burung melantunkan suara merdunya ke penjuru Desa Wedi. Pemandangan desa yang luas, dikelilingi oleh berhektar-hektar sawah. Udaranya lebih segar, berbeda dari udara perkotaan yang sudah tercemar asap kendaraan.
Suara kokok ayam mulai terdengar membangunkan warga desa. Mereka memulai aktivitas pagi ini dengan penuh semangat. Terlihat ibu-ibu paruh baya yang sedang memanen padi yang telah menguning, ada pula anak-anak berseragam SD berjalan beriringan menuju sekolah. Lihat! Ada layangan yang tersangkut di tiang listrik. Ih.. serem.
Reza terus mengayuh sepeda ontel milik ayahnya. Sepedanya unik, umurnya mungkin sudah puluhan tahun. Kata ayahnya sih, sepeda ini sudah ada sejak tahun 70-an. Masih awet aja ya..hihi. Sepedanya ringan, warnanya hitam, terdapat bel di kedua sisi stang sepeda.
Sedangkan Raina, ia sendiri dengan manis duduk di bangku boncengan. Walau sudah renta usianya, sepeda ini masih kuat menopang kedua anak ini. Mereka berdua kemudian menyusuri rumah-rumah warga. Warga disini sangat ramah. Norma sopan-santun masih sangat kental terasa, melekat dalam diri tiap warga yang dilihatnya.
KRING..KRING..
"Nuhun sewu, Bu.." ucap Raina dan Reza bersamaan.
"Monggo Mas'e..Mbak'e.." ucap seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Ibu itu tersenyum melihat mereka yang sedang melintas.
Mereka berkeliling menggunakan sepeda milik orang tua angkat Reza. Kegiatan sosial yang diadakan sekolah untuk murid kelas satu, mewajibkan mereka untuk tinggal di masyarakat pedesaan, mengikuti keseharian aktivitas di desa selama dua minggu lamanya.
Seorang warga melintas di depan mereka. Seorang bapak berusia sekitar 40-an mengendarai motor-gerobaknya berisi tumpukan padi, nampaknya menuju ke tempat penggilingan padi. Sangat jarang kendaraan roda empat yang lewat di daerah ini. Benar-benar berbeda dari kondisi Jakarta yang kian hari kian sumpek!
***
"Yuhuuuuuu!!" teriak Raina di perjalanan menuju rumah Reza. Sekitar tiga kilo lagi untuk mencapai rumah Reza.
"Seneng amat sih Na, hahahha," ledek Reza. Ia menoleh ke arah Raina, kemudian kembali fokus mengendarai sepedanya.
"Iyalah Za, akhirnya gue bisa merasakan udara sejuk gini, naik sepeda pula..." Raina menghirup nafas panjang. Ia tersenyum girang memandangi pemandangan sekelilingnya. Pohon-pohon rindang yang berjajar menambah kesejukan desa ini.
"Naik sepeda kan bisa dirumah, nggak harus disini.." sangkal Reza.
"Iya, tapi kan lo tahu sendiri gue naik sepeda aja miring miring.." Raina cemberut. Ia merasa terganggu dengan ucapan Reza barusan.
"Iya...iya..sorry. Ayo ntar kita balapan bareng..." ajak Reza. Reza ini sebenarnya tahu bahwa Raina sebenarnya mampu. Hanya karena ketakutannya saja dengan sepeda, ia menjadi enggan mencoba.
"Ngaco! Gue jatoh, elo udah sampai mana tau!" sentak Raina.
"Hahahahaha.... Gue kan emang nggak terkalahkan! REZA!" Reza menepuk dadanya bangga.
Raina menatap kearah kaki Reza yang sedang mengayuh sepeda. Ia sangat kagum dengan orang yang mampu mengendarai sepeda. Si pengendara bisa menjaga keseimbangan sepeda agar tidak goyah.
"Naik sepeda capek nggak sih Za?" tanya Raina tiba-tiba. Ia sangat penasaran bagaimana rasanya naik sepeda. Seingat Raina, terakhir ia mengayuh sepeda saat ia berusia 5 tahun. Itu saja sepeda roda tiga!
"Ya capek... bisa keringetan lah..." ujar Reza enteng.
"Hm.. tapi kan yang penting gue nya nggak keringetan... hehehehe" Raina cengengesan.
"Sial! Berat nih ngeboncengin karung goni!" timpal Reza sambil memperlambat laju sepeda.
Mendengar ucapan barusan, Raina menjenggut pelan rambut Reza. "Ih! Jahaaat lo ah! Tapi biar, yang penting gue seneng banget hari ini, Za!" ungkap cewek chubby ini sambil membentangkan kedua tangannya ke udara. Udaranya sangat sejuk.
"Lo seneng?" tanya Reza lagi.
"Banget Za!" Raina menepuk pundak Reza sambil tersenyum.
"Hm, oke. Gue akan berusaha ngebuat lo selalu tersenyum dan seneng kayak gini," janji Reza.
Raina terdiam mendengar ucapan Reza. Anehnya, ia tidak marah ataupun kecewa. Ia malah senang. Tidak terasa mereka sudah tiba di rumah orang tua angkat Reza.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is like a Snakes and Ladders
Teen FictionNovel 'Love is Like a Snakes and Ladders' menceritakan tentang kisah cinta Raina dan Reza yang saling mencintai sejak duduk di bangku kelas X pada kegiatan sosial di Yogyakarta. Mereka bersekolah di SMA Summer High, Jakarta dan duduk di bangku kelas...