○●○
Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di tempat makan langganan anak-anak sekolahan. Bukan hanya karena harganya yang murah, namun juga menjadi tempat tongkrongan pertemuan siswa-siswi dari berbagai sekolah.
Karena Ara, Zefa, dan Aji sudah lebih dulu sampai, maka tersisa aku dan Haris yang langsung memesan makanan. Kami berdiri di barisan antrian, sembari aku yang memikirkan menu makan sore ㅡmenjelang malam apa yang ingin aku santap.
"Nasi goreng?"
Tanya Haris menarik atensiku pada layar yang menampilkan pilihan menu. "Engga, lagi pengen siomai aja"
"Atas nama siapa?"
Giliran barisan kami. Ketika hendak berucap, Haris malah terlebih dahulu menyahuti namanya sebagai pemilik pesanan.
"Siomainya dua. Es jeruk satu- Eh, lo mau minum apa?"
Tatapannya teralih ke arahku. Dengan tatapan tanya yang ku respons dengan tatapan terkejut. "Oh, em... samain deh." Aku kira dia menyebutkan pesanannya sendiri.
Setelah sempat dibuat terkejut karena Haris menyebutkan pesananku, aku juga dibuat terkejut karena tanpa meminta persetujuanku dia membayar pesananku juga. Ya.. meskipun tidak seberapa, tapi tetap saja ini aneh.
●○●
"Jadi kira-kira kita bakal dapet untung segini"
Ujar Ara menunjuk deretan angka kalkulasi di layar ponselnya. Jujur saja aku tidak mengerti bagaimana dia bisa menghitung masalah perekonomian ini, tapi mari kita anggukkan kepala saja.
Setelah seluruh berbincangan mengenai EXPO sekolah berakhir, Zefa menyahut mengganti topik. Bersamaan dengan pesananku dan Haris yang baru saja tiba.
"Habis EXPO kita langsung dihajar persami, ga sih?"
Aku mengedikkan bahu menanggapi, berniat mengambil garpu dan sendok namun urung ketika dua benda tersebut telah terlebih dahulu berada di atas piringku. Haris, menyodorkannya. Setelah sebelumnya aku melihat ia menyempatkan untuk mengelap alat makan tersebut dengan tisu.
Sejenak hening ketika melihat aksi tersebut, pertanyaan Zefa kemudian dijawab oleh Haris, "Siap-siap aja dulu, kemaren OSIS ikut rapat nentuin tanggal."
Terdengar helaan napas dari Ara, Zefa, dan Aji. Sementara aku mulai terfokus pada siomai di hadapanku.
"Ternyata gini rasanya masa putih abu-abu"
Timpal Aji, tatapannya seolah menggambarkan seorang pria sebatang kara yang belum pernah merasakan cinta datang padanya. Menatap iri ke arahku dan Haris dengan kedua tangan terlipat di dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haris Itu...
Novela JuvenilHaris itu... Januar. Ah, bukan. Haris itu laki-laki yang ku temui hampir setiap hari dalam kurun waktu tiga tahun. Berbalut putih abu-abu, Kisahku dan Haris seperti kelabu. Tidak jelas antara putih atau hitam, Tidak pasti antara terbiasa atau nyaman...