╔═════ೋೋ═════╗
Charmolipi
╚═════ೋೋ═════╝
•
•
•
•
•
╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
HAPPY READING
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝
≪━─━─━─⊰᯽⊱┈──╌❊╌──┈⊰᯽⊱─━─━─━≫Siang itu, udara terasa begitu lembap. Aroma petrichor tertangkap indra penciuman yang mengering, dan hujan yang mulai mereda membuka akses bagi lalat-lalat nakal untuk berjemur di pinggiran tembok.
Aku mendengus menatap pemandangan yang itu-itu saja. Berjalan tanpa mempedulikan sepasang mata yang menelanjangiku dengan buas. Tidak pernah bosan.
Ada satu suara yang tiba-tiba menyelinap di tengah bising. Menghentak dalam gendang telinga kiriku. Dia Dipta. Kaki tangan Tuhan yang kasat mata. Maksudku ... cowok itu seolah tahu betul apa yang sudah, akan, dan sedang aku pikirkan.
Teman-teman kami bilang, Dipta memiliki indra ke-enam. Tapi, aku lebih percaya kalau dia menggunakan insting dan nalurinya. Aku tidak percaya setan.
"Gue enggak semenyeramkan itu, lho."
Ia sudah berdiri di sampingku. Mencondongkan badan ke samping dengan senyum lebar yang tak luput dari identitasnya.
"I know what do you think, girl." Dipta bersiul. Kedua telapak tangannya sudah menyelam di balik saku celana. Ia berjalan mendahului. Membalikkan badan menghadapku lalu melangkah mundur tanpa memalingkan wajahnya.
"Bidadari memang beda, ya. Cemberut aja cantik. Apalagi senyum." Ia menggoda.
Aku sudah khatam tabiatnya. Sebab itu daripada meladeni akan lebih bijak jika aku diam seperti biasa.
"Tau enggak kenapa hari ini hujan?" Aku tak menjawab. Memilih merogoh saku rok dan mengeluarkan earphone nirkabel untuk menyumbat kedua telingaku. Walau tidak berhasil. Karena suaranya yang berat itu masih menjadi lagu utama.
"Karena langit kehilangan satu bidadarinya yang memilih jatuh ke bumi." Ia tersenyum. Kali ini begitu tipis.
Seketika aku menghentikan langkah. Mencopot earphone yang tidak berguna sama sekali. Lalu mulai menatapnya lekat. "Tau enggak? Suara buaya sekarang udah beda lho."
Dipta tergelak. Matanya yang sipit mulai menghilang. Ia terlihat begitu senang mendengar responku. Maksudku ... ini kali pertama aku menanggapi ocehannya.
Tidak ingin melihat dia terus tertawa. Aku melangkah mendahului. Menghentak cepat juga lebar melewati tubuhnya sepanjang koridor. Ada satu orang yang selalu bisa mengembalikan suasana hatiku.
Dia.
Laki-laki dewasa yang berhasil membuatku takjub dari sekian ratus murid laki-laki di SMA 32 ini. Jarvis Nevada. Guru olahraga yang anehnya sangat senang menghabiskan waktu seharian bersama partitur musik di kursi piano.
"Judis!"
Matanya yang bulat kehijauan itu menangkapku di balik kaca jendela. Aku tersenyum kikuk. Melambai kaku seperti robot sebelum melangkah masuk melalui pintu yang sedikit terbuka.
"Hari ini pun Mozart, ya?"
Ia terkekeh. Renyah sekali. Tanpa sadar membuat jantungku berdegup tak beraturan. Seolah ikut merasakan euforia yang tiada duanya ini.
"Menurut Judis bagaimana? Bapak sudah lumayan jago, kan?" Ia menepuk pahanya. Memutar duduk menghadapku yang berdiri di sisi kiri.
Meskipun ia membiasakan diriku untuk memanggilnya Bapak. Tapi, aku tidak akan pernah lupa kalau perbedaan usia kami hanya berkisar di angka lima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ujian Kelulusan Member BWG Angkatan 2
Short StoryBerisi karya-karya member angkatan dua sebagai Ujian Kelulusan.