Oleh : Fera Kai FoxtrotKilo_27
|| Sarah's POV ||
Samar-samar telingaku mulai menangkap suara beberapa orang yang berada di sekitarku. Rasa hangat di telapak tangan kananku memaksa kedua netraku untuk segera terbuka. Perlahan mata ini mulai menyesuaikan dengan cahaya yang berada di ruangan ... tunggu, ini bukan ruangan! Aku melihat langit biru di atas sana, bahkan burung-burung baru saja melintas di hadapanku.
"Lihat, cara ini berhasil bukan?" seru Akash yang menggenggam tanganku.
"Tapi itu terlalu berbahaya, Akash," sahut seorang ibu-ibu.
"Apa aku di surga?" gumamku sembari duduk dan memperhatikan keadaan sekitar.
"Apa kau ingin mati secepat itu?"
Genggaman tangan Akash terlepas, jadi rasa hangat tadi adalah genggamannya? Selalu saja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku tak akan mempermasalahkan hal itu, sekarang yang aku permasalahkan adalah kenapa aku harus dibaringkan di atas atap? Apa Akash berniat menjatuhkan diriku dari atap agar aku segera sadar? Pantas saja cahayanya sangat mengganggu netraku.
"Berapa lama aku tak sadarkan diri?"
"Tiga hari. Berbagai cara kami lakukan untuk membangunmu, tapi tak ada yang berhasil. Jadi, aku berinisiatif membaringkanmu saja di sini, mungkin kau butuh sinar matahari secara langsung, 'kan?" jelas Akash.
"Tiga hari? Selama itu? Adakah hal buruk yang terjadi selama aku tak sadarkan diri?"
"Para manusia itu sedang berusaha menghancurkan barier yang kau buat, entah apa yang mereka inginkan dari dalam kota," ketus Akash.
"Syukurlah kau sudah sadar, Sarah. Kami semua khawatir dengan keadaanmu," ucap Pak Andrew menghentikan ocehan Akash.
"Akash, bawa dia turun. Sudah tiga hari anak itu belum makan, cepat Akash," ajak wanita berambut keriting.
"Baik, Bibi, tunggu sebentar. Ada yang harus aku bicarakan dengannya," jawab Akash.
Para penduduk yang berada di bawah mulai berhamburan dan masuk kembali ke rumah mereka. Akash memegang bahuku dan memaksaku untuk menghadapnya. Apa-apaan lelaki ini, biasanya dia tak ingin menatap ke arahku. Sekarang lihatlah dia, memaksaku untuk menatap ke arahnya.
"Sarah, aku melihat mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang besar untuk menghancurkan barier pelindung yang kau buat. Kita harus menjauhkan para penduduk dari kota secepat mungkin," ujar Akash dengan wajah serius.
"Be-benarkah? Baiklah, bawa aku turun. Biarkan aku mengisi perutku terlebih dahulu," pintaku.
"Hah?" Akash menatapku dengan wajah cengo.
"Apa kau akan membiarkan aku kelaparan saat melawan mereka?"
"Baiklah, ayo."
Aku makan dengan sangat lahap, semangkuk sup ayam, dua potong roti, segelas susu, dan seporsi singkong rebus kuhabiskan sendiri. Tak peduli akan tatapan aneh yang dilayangkan orang-orang padaku. Saat ini kami--aku, Akash, dan beberapa pekerja--berkumpul di rumah Pak Andrew yang terbilang cukup besar dari semua rumah penduduk di kota Natureleaf.
Sedang asyik menikmati makanan lezat di hadapanku, dentuman keras dari perbatasan kota memaksaku untuk berhenti mengisi perut ini. Akash sudah menghilang dari sampingku, makanannya juga sudah habis tak tersisa. Lelaki mana yang tega meninggalkan seorang gadis sendirian?
"Pak Andrew, saya mohon untuk menjauhkan para penduduk dari kota secepat mungkin. Saya rasa barier yang melindungi kota sudah berhasil dihancurkan," jelasku dengan cepat.
"Baiklah. Hei, kalian! Jangan diam saja, kita harus membawa para penduduk ke tepi hutan kota di bagain selatan," teriak Pak Andrew kepada para pekerja lainnya.
"Bagaimana jika para penyihir di sana akan marah?" sahut pekerja dengan postur tubuh tinggi dan kurus.
"Tidak." Akash tiba-tiba saja datang. "Bawa saja ke sana, aku sudah meminta izin dan bantuan dari para penyihir di sana."
"Benarkah?" seruku dengan kaget.
Akash mengangguk. "Cepat sana!"
Kami segera bubar dan menjalankan tugas masing-masing. Aku masih penasaran dengan apa yang telah Akash lakukan hingga para tetua mengizinkan penyihir lain ikut membantu. Beberapa penyihir beterbangan dengan sapu terbang milik mereka sembari membawa anak-anak kecil. Pemandangan yang sangat langka.
"Akash, jelaskan padaku bagaimana bisa para tetua mengizinkan para penyihir itu membantu kita?" tuntutku ke sekian kalinya.
"Aku hanya mengatakan pada mereka jika kota diserang dan para manusia itu masuk, tak menutup kemungkinan mereka bisa merengsek masuk hingga hutan bagian selatan!" jelas Akash.
"Hanya karena kau berkata seperti itu mereka langsung mengizinkan para penyihir itu? Yang benar saja!" ketusku.
"Perhatikan musuh di depanmu, Sarah!" sahut Akash yang langsung membawaku berteleportasi.
Hampir saja aku terkena senjata dari para musuh. Aku menatap keadaan kota yang porak-poranda akibat ulah mereka. Benar-benar tak bisa dimaafkan!
"Sarah, semua penduduk sudah kami pindahkan. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya salah satu penyihir.
"Beberapa penduduk juga terluka, kami sudah meminta para penyihir yang ahli membuat ramuan untuk mengobati mereka," jelas penyihir muda dengan rambutnya yang berwarna putih.
"Terima kasih atas bantuannya," ucapku tulus.
"Tak apa, Sarah. Kami juga ingin membantu kalian sejak lama, hanya saja kami terlalu takut menentang keputusan para tetua," ujar penyihir dengan rambut berwarna putih itu.
"Lucia benar, kami tidak memiliki cukup banyak keberanian seperti kalian berdua," timpal penyihir lainnya.
"Nanti saja bicaranya, fokus kepada musuh di sana. Perhatikan benda yang mereka bawa dan bagaimana benda itu digunakan," ucap Akash.
Semua pandangan teralihkan ke arah musuh yang memasuki kota. Benda itu mengeluarkan sebuah cahaya setelah mereka menekan tombol berwarna merah. Cahaya itu harus difokuskan ke arah sasaran dan kemudian sasaran itu akan hancur dalam sekali tembakan. Senjata yang menakutkan.
Benda raksasa di depan perbatasan itu terlihat sama seperti benda yang ada di tangan mereka. Mungkin itu versi lain senjata tersebut dan digunakan untuk menghancurkan barier yang sudah kubuat dengan susah payah. Dari jarak yang tak terlalu jauh dari perbatasan, aku dapat melihat Estefania dan lelaki yang menyebut namanya George.
Kami berada di atas cerobong asap di salah satu rumah penduduk. Memperhatikan setiap hal yang mereka lakukan, sekalipun hanya menghancurkan dan memorakporandakan kota. Apa tak ada hal lain yang lebih penting untuk mereka kerjakan? Kenapa mengganggu ketenangan para penduduk kota?
"Ini sebabnya aku tak menyukai manusia. Mereka sangat tamak, egois, bahkan serakah!" ketus seorang penyihir.
"Tidak semuanya. Penduduk kota Natureleaf tidak seperti itu," protesku.
"Ya, pengecualian untuk penduduk di sini."
"Ayo, kita hentikan mereka, jangan biarkan mereka memasuki kota lebih dalam!" titah Akash.
Kami segera turun dan menghadang mereka. Akash terlihat ingin mematahkan tulang mereka satu per satu. Iris mata dan rambutnya menjadi hijau tua. Keadaan benar-benar buruk sekarang, lelaki itu sangat marah. Kontrol emosinya harus dipertanyakan.
"Tenangkan dirimu, Akash!" teriakku.
"Akash." Lucia memegang pundak Akash dengan cahaya putih menyelimuti tangannya.
Perlahan rambut dan iris mata Akash kembali seperti semula. Namun, suara benda retak mengalihkan perhatianku. Kulihat senjata yang dipegang salah satu musuh hancur.
"Hanya menghancurkan benda itu saja," ujarnya dengan santai.
"Kau membuatku khawatir!"
Kami mulai melucuti senjata mereka hingga mereka memilih untuk mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Traveler : The Unhistorical War
FantasyKetika kerakusan dan nafsu manusia menghancurkan segalanya. Bumi dalam keadaan mati dan gersang, tercemari limbah oleh pihak tak bertanggung jawab. Sisi baiknya, ada dari mereka yang masih memiliki hati dan berencana mengubah bumi menjadi hijau dan...