Oleh : Fera Kai FoxtrotKilo_27
|| Sarah's POV ||
Aku duduk di depan rumahku, merenungkan tiap kejadian yang terjadi begitu cepat. Diusir dari menara dan dilarang untuk berhubungan dengan para penyihir lain, itu sama sekali tidak menggangguku. Pikiranku saat ini dipenuhi dengan berbagai kemungkinan jika para manusia dari abad ke-30 itu belum juga kembali ke asal mereka. Kita tak bisa leluasa untuk bekerja, bahaya jika nanti mereka tiba-tiba saja sudah sampai ke ladang bagian selatan.
Mataku memanas, cairan bening lagi-lagi keluar tanpa permisi. Kenapa aku jadi secengeng ini? Tidak, aku tak bisa menangis lagi! Sudah cukup air mataku terkuras habis kemarin. Segera kuusap air mata yang terakhir menetes di pipiku. Aku bergegas pergi untuk membantu para penduduk.
Melihat sungai kecil yang mengalir di sepanjang jalan, aku berinisiatif untuk membasuh wajah terlebih dahulu. Sekadar menyamarkan mataku yang sembap. Dinginnya air sungai membuatku ingin menceburkan diri ke dalam sungai. Aku memilih untuk duduk di tepi sungai sembari memasukkan kaki ke dalam air. Rasanya beban pikiranku seperti ikut mengalir terbawa arus sungai.
"Apa kau ingin mandi di sungai kecil ini?" Akash tiba-tiba saja berada di hadapanku.
"Kau saja!" ketusku lalu berdiri.
"Dari tadi para penduduk menanyakan dirimu, kau ini suka sekali menghilang rupanya. Mereka tak mau makan jika kau tak ikut makan bersama mereka," tukas Akash.
"A-apa? Kenapa bisa?"
"Semua penduduk mengkhawatirkan dirimu. Mereka bahkan sudah tahu kalau kau sedang bermasalah dengan para tetua," jelas Akash.
"Siapa yang mengatakan?"
"Aku."
"Kenapa kau tak bisa menjaga rahasia, Akash! Kenapa kau beritahukan pada mereka," ujarku sembari memukul Akash yang berjalan di sampingku.
"Mereka bertanya, jadi tugasku hanya menjawab saja."
"Tapi kenapa kau katakan yang sebenarnya! Dasar bodoh!" ketusku.
"Kau menyuruhku untuk berbohong? Hei, Nona Sarah, Anda tahu bahwa saya tak biasa berbohong bukan?"
"Iya iya, sana jauhkan wajahmu dari wajahku." Aku mendorong wajah Akash yang sangat dekat dengan wajahku.
"Jantungmu berdetak tak normal, ya? Sepertinya aku juga."
Aku mendelik dan dia hanya tertawa. Apa maksud perkataannya itu? Dia kenapa? Benar jika jantungku berdetak tak normal setiap kali bersama lelaki berambut hijau ini. Jangan katakan bahwa aku jatuh cinta pada lelaki seperti dia! Bisa-bisa aku kesal dan marah-marah setiap hari.
Kami tiba di tempat pengungsian para penduduk kota Natureleaf yang tepat berada di jalan masuk menuju menara. Beberapa tenda pengungsian dan juga rumah pohon memenuhi indra penglihatanku. Kapan kota akan kembali seperti dulu lagi?
"Kak Sarah, Kak Akash, ayo makan. Kami sudah menunggu Kakak," ajak seorang anak kecil menghampiriku.
"Iya, iya. Ayo, kita makan," ujarku.
Aku dan Akash menuju ke dapur darurat yang dekat dengan gudang penyimpanan makanan. Terlihat beberapa orang sedang memasak dan juga mengantri makanan. Miris sekali melihat pemandangan seperti ini. Menjadi asing di kota sendiri. Beruntung kami membuat gudang penyimpanan ini. Para pria juga baru saja datang dengan dua ekor rusa yang cukup besar, semoga saja bisa mencukupi kebutuhan kami beberapa hari ke depan.
Aku menghampiri para pekerja yang sedang memindahkan beberapa bahan pangan. Segera kukerahkan sihir dan membuat bahan-bahan itu menjadi ringan. Akash ikut membantu memindahkan bahan pangan dari gudang ke dapur darurat.
"Kalian berdua makan dulu, nanti saja membantu kami," ujar Pak Andrew ketika aku akan merapikan rak makanan.
"Iya, Pak Andrew. Nanti saja."
"Pak Andrew, apa ini gandum yang siap ditanam?" tanya Akash membawa sebuah wadah yang cukup besar.
"Iya, Akash."
Dalam sekejab gandung-gandum itu telah selesai ditanam. Akash kembali lagi dengan wadah yang kosong. Cepat sekali lelaki itu mengerjakan pekerjaan yang bahkan menghabiskan waktu setengah hari dengan dua pekerja. Jika bukan karena pekerjaan, aku akan mengatakan bahwa dirinya sedang pamer. Seakan menonton sebuah pertunjukan, para penduduk bertepuk tangan setelah melihat Akash menanam gandum-gandum itu.
"Mereka hanya tak terbiasa saja melihat kau melakukan itu, Akash," sahut pekerja bertubuh kurus dan tinggi.
"Makanya jangan suka pamer, Akash," celetukku.
"Hei, aku hanya melakukan yang biasa kulakukan," elak Akash.
"Sudahlah, bertengkarnya nanti saja. Sana makan," sahut Pak Andrew.
"Lihat mereka berdua, sama-sama tukang pamer. Kenapa mereka memamerkan kekuatan seperti itu?" seru seorang penyihir yang melintas di tepi hutan sambil menaiki sapu terbang.
"Benar, bukankah Sarah baru saja diusir dari menara? Sekarang dia malah bersenang-senang di sini," sahut yang lainnya.
"Dia benar-benar tak tahu malu," seru penyihir satunya lagi.
"Hei, kalian bertiga! Pergilah atau aku yang akan menyeret kalian pergi?" teriak Akash.
"Akash selalu saja membelanya, kalau bukan karena Akash, dia pasti sudah mati di tangan nona Gabi kemarin," ujar penyihir berambut keriting.
"Pergi atau kubuat kalian menyesal." Akash sudah berada di belakang salah satu penyihir itu.
Wajah ketiga penyihir itu berubah ketakutan dan segera menjauh dari tempat pengungsian. Akash mengumpat setelah tiba di sampingku. Jika diperhatikan lagi, para penyihir itu tak ikut membantu kami ketika pertempuran kemarin. Pantas saja mulut mereka tak bisa dijaga dan mencemooh sesuka hati. Kupastikan pemikiran mereka akan berubah jika melihat musuh-musuh itu.
Kutatap wajah Akash yang tampak kesal. Lucu juga melihat wajahnya seperti itu. Selama ini aku hanya melihat wajah jahil dan bodoh di dirinya, sungguh pemandangan yang patut diabadikan. Aku menarik tangannya menuju dapur untuk mengambil makanan. Perkataan para penyihir tadi bahkan tak berpengaruh sama sekali padaku, tetapi Akash sudah sangat kesal. Apa dia sedang sehat hari ini?
"Kita makan dekat sungai saja, ada yang ingin aku bicarakan," ajak Akash.
"Hmm ... baiklah," sambutku.
Aku mengikuti langkah Akash dan duduk di sampingnya. Setelah beberapa menit berlangsung, Akash akhirnya membuka suara.
"Aku melihat para musuh itu membangun markas lagi, dan aku mendengar kalau mereka akan menjajah kota sebelah," ungkap Akash.
"Apa? Mau berapa lama banyak lagi SDA yang akan mereka ambil?" sahutku terkejut.
"Kau tahu, aku merasa bahwa lelaki bernama George itulah ide dari semua hal yang terjadi," tukas Akash.
Aku mengernyitkan dahi. "Maksudmu? Dia hanya memanfaatkan Estefania, begitu?"
"Aku rasa seperti itu."
"Itu hanya perasaanmu saja, Akash. Perempuan seperti Estefania tentu tak bisa diperalat semudah itu," elakku.
"Kita lihat saja nanti."
"Kau tahu dari mana?"
"Tak sengaja mendengar pembicaraan mereka saat aku memantau keadaan kota," jawab Akash.
"Kau menguping?"
"Tak sengaja! Menguping dan tak sengaja itu berbeda, Sarah," jawab Akash kesal.
"Iya, iya beda. Sekarang habiskan makananmu."
Akash memakan makanannya dengan lahap. Apa dia begitu kelaparan hingga makan begitu rakus? Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya saat ini. Kusuapkan beberapa sendok makanan dan makan dengan perlahan. Seperti sepasang pasangan saja makan berdua seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Traveler : The Unhistorical War
FantasiKetika kerakusan dan nafsu manusia menghancurkan segalanya. Bumi dalam keadaan mati dan gersang, tercemari limbah oleh pihak tak bertanggung jawab. Sisi baiknya, ada dari mereka yang masih memiliki hati dan berencana mengubah bumi menjadi hijau dan...