Sebuah mobil lawas berwarna putih berjalan ke arah jalanan sedikit menanjak, jalanan yang sedikit sepi, banyak nelayan yang sedang berburu nafkah dengan menangkap ikan dan menjualnya ke pasar.
Mobil itu sampai di sebuah lapangan yang hanya ada rerumputan, pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, tak ada siapa-siapa selain mereka. Di bawah tebing yang tidak terlalu tinggi, dibatasi sebuah pagar kayu.
Dinar keluar dari mobil dan melangkah ke kursi penumpang di sebelahnya. Pelan-pelan ia membantu Danis keluar dari mobil.
"Nggak pakai tongkat aja?"
Danis menggeleng "Nggak mau." ujarnya.
Lengan kanan Danis memeluk pundak Dinar, tangan Dinar memeluk pinggang Danis dan membantunya berjalan pelan-pelan. Danis sedikit kesusahan awalnya, karena ia berjalan sedikit pincang. Kaki kirinya harus menahan, dan kaki kirinya juga sedikit merasa sakit karena ia duduk terus di kursi roda.
Berdiri sakit, duduk juga sakit.
Hanya beberapa langkah Danis, ia sudah sampai. Melihat lautan lepas dengan ombak yang tenang menyapu bibir pantai, dengan cuaca yang cerah sore hari itu. Danis hanya diam memandang lautan dengan angin yang berhembus hingga beberapa helai rambutnya ikut terbawa ke belakang.
Dinar melirik kakaknya, tangan kanannya yang menyangga di pagar kayu yang kuat, lengan kirinya Danis hang masih menyangga di pundak Dinar.
"Mas Danis nggak apa-apa, 'kan? Ada sesuatu?"
Danis menoleh ke Dinar yang lebih pendek darinya, ia menghela napas panjang lalu melihat kaki kanannya yang masih di perban. "Enggak apa-apa."
Dinar berdecak pelan "Gak usah nutupin, mana kuat nutupin sesuatu sendiri?"
"Udah, cerita ke aku." kata Dinar memandang lurus ke lautan lepas.
"Perasaan masih sama seperti kemarin. Cemas tapi nggak tau apa," jawab Danis.
Dinar terdiam sebentar, kakak-beradik itu tenggelam dalam hening. "Trauma memang berat, ya..."
***
Dinar mengendarai mobil milik Ayah dengan pelan saat memasuki perumahan, sekali-kali menyapa tetangga yang sedang bersantai di depan rumah.
Tak jauh dari rumah, ada mobil terparkir di sebelah rumah Dinar. Sama seperti tadi, Dinar membantu Danis lagi untuk keluar dari mobil. Membiarkan Danis yang sudah memegang tongkatnya, Dinar pergi memarkir mobil.
Danis melepas sepatu dengan duduk di kursi teras rumah, memasuki rumah, pandangannya langsung tertuju pada seorang perempuan yang sedang duduk di ruang tamu. Ia tersenyum ke Danis.
Danis membalas senyum "Loh? Kok nggak bilang kalau mau ke sini?" tanya Danis.
Perempuan itu terkekeh "Iya tadi sekalian, aku baru balik dari tempat kerja buat ngambil barang yang ketinggalan. Sekalian aja ke sini, tapi kamu nggak di rumah ternyata. Dari mana nih?" jelas perempuan itu kembali duduk di sofa.
Danis ikut duduk dan menaruh tongkatnya, mengangguk ngerti. "Cuman jalan aja tadi sama Dinar, bosen di rumah." jawab Danis.
"Gimana perasaan kamu, Nis? Masih sama?"
Danis diam "Masih sama, Jeng. Tapi maaf,"
Perempuan bernama Ajeng itu kembali melirik kekasihnya, mengangkat alis sebelahnya. "Maaf? Untuk apa?"
Danis menepuk kaki kanannya "Aku begini, keluarga kamu mau nerima aku?" ujar Danis pelan. Ia mengalihkan pandangannya ke Ajeng.
"Nis? Kok ngomong begitu? 'kan kamu udah beberapa kali ke rumahku, orang tua aku suka banget sama kamu. Mereka bilang terang-terangan gitu ke kamu, 'kan? Lalu apa masalahnya?"
"Kaki aku..."
"Enggak, kaki kamu bukan jadi masalah. Itu bukan masalah sama sekali, dan enggak akan. Perasaan memang langsung bicara, Nis. Kalau sudah suka, nggak mungkin bisa pindah ke lain hati. Tau uniknya kamu apa?"
Perlahan Danis menatap Ajeng, sudah bersama Ajeng, Danis menjadi seperti anak kecil yang minta disayang-sayang.
Ajeng tersenyum manis, ia duduk mendekat ke Danis dan memegang punggung tangan Danis. "Kamu kuat, Nis. Nggak kerasa memang, tapi lihat? Kamu sudah bertahan sampai sini, jangan di sia-siakan, aku tolong satu itu. Bisa, ya?" ujar Ajeng sangat lembut, membuat hati Danis sangat tenang.
Dalam hati Danis, ia menyetujui perkataan Ajeng. Kejadian sepuluh tahun silam yang meninggalkan banyak luka dalam hati, melawan lumpuh, susah berjalan, dengan sabar. Danis saja yang tidak merasa.
Senyum manis memekar di bibir Danis, dengan perasaannya yang selalu naik-turun itu, Ajeng selalu menenangkan Danis. "Bisa."
Dari tadi ada yang mengintip kedua sejoli itu di ruang tamu dari jendela, diam-diam Dinar tersenyum. Sebelum ada Ajeng datang ke hidup Danis, adiknya itu juga yang berperan seperti Ajeng.
"Permisi mbak-mas, orang cantik mau lewat. Mesra-mesraannya di pending dulu," Dinar memasuki rumah dengan sedikit membungkuk. Membuat Ajeng tertawa lepas. Setiap kali Ajeng datang ke rumah, selalu saja si adik itu mengerjai Danis jika bersama Ajeng.
"Dinar! Tak jamin kamu jatuh hati sama Maraka!"
21 Juli, 2021.
❝ selama ini, aku aja yang tidak merasa. ❞
KAMU SEDANG MEMBACA
Cornelia Street ✓
Non-Fiction❝I never walk Cornelia Street again.❞ 김동영 // © -𝙝𝙚𝙣𝙙𝙧𝙖𝙖𝙧𝙧𝙮𝙮 2𝙊21.