07-rasa trauma selalu datang

33 10 34
                                    

beberapa tahun selanjutnya.


































Perempuan dengan rambut sepanjang bahu itu fokus kepada layar laptop di depannya, jari-jemarinya menari-nari di atas papan ketik. Sesekali meneguk jus mangga yang ia pesan di sebuah kafe.

Suasana kafe itu tidak terlalu ramai, dan kebanyakan mahasiswa seperti perempuan itu.

Saking fokusnya mengetik, tak sadar ada orang di belakangnya.

"Cornelia Street?"

Perempuan itu terkejut hingga hampir melompat dari kursi, ia menoleh ke belakang. "Raka! Kaget, ih!" serunya mencubit tangan orang yabg dipanggil Raka.

Raka tertawa "Padahal aku bilang pelan loh, latah pisan." ujar Maraka duduk di kursi depan Dinar.

Itu Maraka, kawan kampus Dinar.

"Apa maksudnya, Cornelia Street?"

Dinar mengalihkan pandangannya ke Maraka, menyingkirkan sedikit laptopnya. "Aku punya trauma sejak aku masih TK." kata Dinar memulai cerita.

Maraka mengangguk paham "Lalu? Trauma tentang apa?"

"Tau jalan Gejayan, 'kan? Jalan menuju rumahku. Dulu, kakak aku kecelakaan disana, dan waktu aku mau ke rumah sakit itu lewat situ juga. Aku lihat orang kecelakaan juga di depan mata ku sendiri, udah lagi aku juga takut sama kaki kakakku yang lumpuh itu, yang di perban sampai entah berapa gulungan." jelas Dinar.

"Aku sebut Cornelia Street aja untuk tempat kejadian itu, sekali lagi aku takut kalau dengar itu. Nama itu juga gara-gara lagu di kafe ini, Ka. Jadi, lirik lagu itu bilang 'That's the kind of heartbreak, time could never mend'." sambung Dinar.

Maraka mendengarkan Dinar sambil memakan kentang, "Berat banget pasti, ya. Ya udah, nanti pulang mau bareng?" tawar Maraka.

Dinar memasukkan laptopnya ke dalam tas, ia mengangguk. Senang sekali saat Maraka menawarkan tumpangan untuknya, bahkan Dinar tidak meminta.

"Sekarang aja, yuk? Udah mau sore,"

Maraka ikut beranjak dari tempat duduknya, ia menyampirkan cardigan berwarna cokelat itu di pundak Dinar. "Pake itu punya ku, hawanya lagi dingin." kata Maraka.

"Gede banget ini punya mu, Ka. Tenggelam lah aku,"

"Hus! Udah pakai aja! Apa mau tak pakek'in?" kata Maraka dengan wajahnya yang jahil, Dinar malu karena tadi ada orang yang melihatnya.

Dinar mencibir, kawannya kumat lagi. "Ih, iya ini dipake. Udah? Lihat?" Dinar merentangkan tangannya dan sedikit mendongak ke Maraka.

Maraka tertawa "Iya, pinter. Skuy pulang." Maraka berjalan mendahului Dinar menuju keluar kafe.

Melihat langit-langit yang tidak sama sekali menampakkan sinar terik mentari, si mentari itu sedang bersembunyi di balik awan yang tebal. Tapi rasanya tidak turun hujan.

"Pegangan jaket ku ini, nggak ada jalan lain selain cornelia street. Percaya aja, ya?"

***

Maraka melambaikan tangannya ke Dinar, Dinar membalasnya dan mengucapkan hati-hati di jalan. Perlahan, Maraka mulai melajukan motornya dan semakin lama, punggungnya menjauh.

Dinar melepas sepatu dan memasuki rumah, tak lupa untuk mencuci kakinya. Ia melihat sekitaran rumah, Bunda dan Ayah tidak di rumah. Dinar pun tak tau kemana perginya Bunda dan Ayahnya, tapi ya sudah tidak apa-apa. Mungkin nanti telepon.

Dinar mengintip ke kamar Danis yang pintunya terbuka setengah, Danis yang sedang duduk di kursi roda tengah menatap ke luar jendela. Suara musik terdengar santai itu yang menemani Danis.

"Mas Danis, Bunda mana?" Dinar memasuki kamar Danis dan duduk di pinggir ranjang Danis.

"Ke acara saudara tadi," balas Danis.

Dinar mengangguk "Mas Danis sudah makan?" Dinar menarik pegangan kursi roda yang ditumpaki Danis itu.

Danis menggeleng "Belum makan. Dek, tolong ambilin tongkat aja, capek mas Danis duduk terus."

Dinar mengambil tongkat alat bantu berjalan itu, Dinar juga membantu Danis berdiri dari duduknya. Tangan kanan Danis berpegangan kuat ke pundak Dinar. Sudah lama sekali ia seperti ini, tapi Danis hanya bisa sabar dengan keadaan kakinya yang seperti ini.

Kini hanya ada Dinar yang membantunya.

Dinar mengambil makan untuknya dan Danis, lagi-lagi hari ini Bunda memasak Soto Ayam kesukaan anak-anaknya. Tapi kali ini tak ada Yuda yang makan Soto Ayam bersama kedua adiknya, kali ini ia sudah ada pendamping hidup yang menemaninya.

Di tengah-tengah melahap Soto Ayam itu, Dinar memperhatikan Danis. Ia terlihat sedang sedih.

"Mas Danis kenapa?"

Danis melirik adiknya, lalu menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Dinar, kamu pernah nggak, rasanya itu-cemas banget. Tapi enggak ada yang di khawatirin, Mas Danis selalu ngerasa kaya begitu. Barusan tadi sejak kamu belum datang." kata Danis.

Dinar terdiam setelah itu, ternyata tak hanya dia. Danis juga sama sepertinya.

"Iya ... Aku juga kadang selalu merasa kaya gitu, cemas gitu. Masih keingat yang dulu. Rasa trauma selalu datang kapan aja."

19 Juli, 2021.

m a r a k a

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

m a r a k a .

Cornelia Street ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang