12-keajaiban

34 9 48
                                    























Namanya Danis, kadang memang tidak bisa ditebak. Bisa aja satu menit sebelumnya ia tertawa, dua jam kedepannya ia akan merasa cemas lagi. Perasaan itu selalu datang saban hari, entah saat Danis sedang makan, mau tidur.

Dan sekarang, si tengah itu sedang berada di kamarnya. Sekarang pukul sepuluh pagi, Danis sedang berbicara dengan Ajeng lewat telepon.

"Loh, kamu lagi kerja gini terus telponan. Matiin dulu gih,"

"Enggak apa-apa kok, ini lagi istirahat. Satu jam lagi, kamu lagi apa?"

"Nanti ketahuan bos kamu tuh, yang katanya cerewet," balas Danis dengan bibirnya yang mengercut.

Ajeng tertawa "Yang itu nggak masuk, beda orang hari ini. Yang ini baik kok, kamu kok sewot terus kalau ada bos yang galak itu?"

"Ya biarin, wong kamu nggak salah apa-apa kok kemarin dimarahin, cewek aku kok dimarahin padahal nggak salah."

"Eleuh, eleuh. Kemarin sudah kontrol ke rumah sakit belum?"

"Sudah, cuman sama Dinar, ditemani Mbak Lila juga kemarin. Perban yang dirumah sudah habis,"

"Ya udah, bagus deh."

"Jeng..."

"Iya kenapa, Nis?"

"Kalau misalnya dulu aku nggak begini, pasti bakal beda, ya?"

Ajeng terdiam, Ajeng tau Danis selalu bilang seperti itu tentang kakinya. Danis tak enak hati, jika Ajeng yang selalu ke rumah Danis.

"Nis... Jawaban kamu tadi, pasti iya bakalan beda. Tapi mau bagaimana lagi, Nis? Jalannya memang sudah begini. Sabar, ya? Nggak apa-apa aku tau kamu mesti cemas lagi. Ngomong aja ke aku bisa, ya?"

"Aku temenin kamu kok, Danis. Aku nggak pergi kemana-mana."

"Maaf buat kamu nunggu, Jeng."

"Nggak apa-apa, pikirkan hal baik aja."

***

Ayah melangkah menuju kamar putranya, si tengah. Pria berusia lebih setengah abad itu membuka pintu kamarnya, nampak si tengah sedang terlelap sambil memeluk boneka kelinci.

Kebiasaan Danis dari dulu memang, jika tidur tak bisa jika tidak memeluk sesuatu.

Ayah duduk di tepi ranjang Danis, melihati kaki kanan Danis yang terbalut perban entah sudah berapa tahun. Ayah tau, Danis tak mau seperti ini. Danis pernah cerita sekali ke Ayah, walaupun tidak se-sering ke Dinar. Dari situ, selalu terlihat raut Danis yang murung dengan keadaan kakinya itu.

Ayah memang terlihat tak pernah mengeluh di depan anak-anaknya, bahkan ia sering menggoda Dinar yang kelelahan saat pulang malam dari kampus. "Gitu aja capek." hanya bercanda.

Tapi kalau Ayah melihat Danis, sudah beda cerita. Sekali lagi, bukan membandingkan. Ayah memang begitu.

"Danis, kamu sudah makan, belum?" ujar Ayah membangunkan putranya.

Danis terbangun, matanya sedikit terbuka melihat ke Ayah. Namun menggeleng "Aku nggak laper," balasnya.

"Makan lah, Nis. Kata adikmu kamu belum makan dari siang tadi," kata Ayah lagi, sambil memijat lengan Danis.

Danis menggeleng lagi "Aku enggak laper, Yah."

"Ada Ajeng di depan. Makan, ya? Atau mau sama Ajeng?"

Tak lama setelah Ayah berujar, Danis langsung terbangun. Lagi-lagi Ajeng kalau mau ke rumah selalu tak bilang-bilang. Ia bangun dari tidurnya pelan-pelan.

"Ya udah, ayo makan deh." kata Danis mengambil tongkat alat bantu jalannya di sebelah ranjang.

Ayah terkekeh, mengusak surai Danis. "Pancene arek lanang iki, kalau ada Ajeng mau." kata Ayah membantu Danis berdiri dari duduknya.

Danis menyengir "Ya masa ada Ajeng di rumah dianggurin,"

Benar kaya Ayah, ada Ajeng di ruang tamu yang sedang makan bersama Dinar. "Ih, udah pada makan duluan. Aku nggak diajak," ujar Danis.

"Lah Mas Danis tidur mulu dari tadi, ya udah Mbak Ajengnya sama aku aja." kata Dinar acuh, Ajeng hanya tertawa.

"Ya udah, ambil makanan buat kamu dulu." Ajeng beranjak dari tempat duduknya, Danis ikut berjalan dibelakang Ajeng menuju dapur.

Danis merasa aneh, dengan kaki kanannya. Biasa jika ia melangkah, sedikit sakit seperti ngilu. Tapi—ini tidak sakit sama sekali (?)

"Jeng, tunggu." Ajeng memberhentikan langkahnya dan menoleh pada Danis, ia ikut bingung karena Danis.

"Kaki aku kok nggak sakit?" ujar Danis membuat Ajeng terkejut. Lagian tadi juga Danis tak seperti biasanya, minta dibantu kala ia berjalan. Tadi juga Ajeng menawarkan, tapi Danis menolaknya.

"Hah? Nggak sakit gimana?" ucap Ajeng memegangi pundak Danis, saat itu Danis tengah menyandarkan tongkat di depan pintu kulkas.

Karena ucapan Ajeng tadi, menarik perhatian ayah, bunda dan juga Dinar. Mereka semua berkumpul di dapur, sedari tadi Danis hanya diam dan mencoba berjalan sendiri tanpa tongkat, tapi berkali-kali terjatuh. Tapi anehnya, kakinya tidak sakit. Dan benar-benar bisa digerakkan dibalik perban yang menggulung.

"Nis, coba duduk dulu." ujar ayah mendudukkan Danis di kursi.

Ayah mencoba menggerakkan kaki kanan Danis, dari meluruskan kakinya. Mencoba menggerakkan jari-jemari kaki kanan Danis juga, berkali-kali ditanya sakit atau tidak, Danis hanya menjawab tidak sakit dari tadi.

Kakinya merasa normal.

"Aku coba jalan,"

Bunda memegangi punggung Danis, Danis mencoba berdiri dan berjalan pelan-pelan didampingi Ajeng di sebelahnya. Semuanya terkejut, Danis bisa berjalan! Walaupun sedikit pincang.

"Bener nggak sakit, Nis?" tanya Ajeng meyakinkan lagi.

"Enggak, Jeng. Beneran," kata Danis yakin, sangat yakin dari nada bicaranya.

Aku tidak bohong, sungguh.

Akhir,
30 Juli, 2021.

❛❛ Apa ini semua jawaban dari do'a ku? ❜❜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❛❛ Apa ini semua jawaban dari do'a ku? ❜❜

halo semua, kaget ya udah selesai nie :b tapi—bagaimana dengan akhir cerita ini? apa kalian suka? maaf ini pendek, tapi insya Allah aku akan buat bonchap :D ditunggu saja kapan datangnya, hehe.

sampai sini aja aku menemani kalian dengan cerita "cornelia street" ini, semoga makin ramai, hehe. aku ucapkan banyak terimakasih untuk kalian yang selalu mampir dan beri aku semangat, omg neomu terharu, yorobun.

okay, setelah itu tunggu cerita baru lagi, ya! aku akan kembali~

-hendrraarryy, 2021.

Cornelia Street ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang