Kehilangan Kenangan

17 6 4
                                    

Di pojok bangku belakang, Aku masih setia menciptakan puisi tentang lelaki yang kukagumi. Entah lembaran keberapa, pena dengan tinta yang semakin berkurang, terus saja mengukir diksi yang pas untuk melengkapi pujian kekagumanku. Rupanya Aku sedang merindu kisah dan kenangan masa SMA. Kembali kubuka buku kumpulan puisi yang setia berada di dalam tas. Setiap tulis di dalamnya, selalu terselip rindu.

Untuk Kak Arfan ...
Siang hari ini begitu terik, silau mentari membuatku memicingkan mata. Sengatnya membuat dedaunan mengering, hingga ranting pohon seolah pasrah ketika dedaunan mulai berguguran diterpa angin pemisah. Meskipun dedaunan kering masih ingin berlama-lama menikmati kebersamaan dengan ranting pohon. Seperti dedaunan kering yang jatuh diterpa angin, memilih bersembunyi disemak belukar, agar dapat menyaksikan ranting pohon bersama senyumnya. Dedaunan semakin kering dan remuk ketika ranting pohon mulai bahagia dengan dedaunan hijau yang baru, membuat kehidupan ranting lebih berwarna. Cerita dedaunan kering hampir mirip dengan ku, memilih bersembunyi untuk bisa leluasa memuji dan mengagumi. Seperti itulah Aku, Ayesha Ishmah. Pengagum rahasia Kak Arfan, pemiliki seribu keindahan yang menjadi alasanku untuk tetap mengaguminya.
Aku membaca coretan yang kutulis lima tahun yang lalu di perpustakaan kampus.

"Kak Arfan, andai saja Aku bisa meluapkan segala kekagumanku, pasti sampai saat ini Aku tidak merasa bersalah karena tidak mengungkapkannya saat perpisahan sekolah waktu itu. Ah, sudahlah. Dasar Ayesha, bagaimana mungkin bisa mengungkapkannya, menegur sapa saja tidak punya keberanian."

Hujan di luar sana belum juga redah, sehingga Aku lebih memilih duduk berlama-lama di perpustakaan kampus.

"Astagfirullah, mengapa aku merindu seperti ini, pasti karena suasana hujan di luar sana yang mengguyur kota Makassar dengan serbuan rintik kenangan. Sampai lupa tujuanku ke perpustakaan untuk mencari referensi proposal skripsi ku." Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis mengingat sifat yang entah diturunkan oleh Ibu atau Bapakku. Yah, sifat yang sering merindu. Masa iya, merindu adalah sifat turunan, Ada ada saja, Ayesha Ishmah ini.

"Assalamualaikum, Sha."
Aku terdiam sejenak, menebak lelaki yang berdiri di hadapanku.

"Waalaikumussalam, Ahsan," jawabku ketika ingatanku tentang Ahsan muncul.

"Aku kira kamu tidak ingat Aku." Ahsan menyodorkan ku cokelat panas yang entah didapatkannya dari mana, padahal kami sedang berada di perpustakaan bukan di Cafe.

Aku ragu untuk mengambilnya, tetapi minum cokelat panas saat hujan deras sepertinya begitu nikmat, lagian menolak pemberian orang kan tidak bagus.

Ahsan tersenyum kepadaku mengisyaratkan agar Aku mengambil minuman yang disodorkannya.
Aku membalas senyumnya sambil meraih minuman yang diberikan.

"Itu tidak beracun kok, silahkan diminum."
Kududukkan diriku sebelum mencicipi minuman cokelat panas yang ada ditanganku, semoga tidak beracun seperti katanya.
Kuucapkan basmalah dalam hati sebelum menyeruput minuman yang ada di tanganku.

Betul, minum cokelat panas saat hujan seperti ini begitu nikmat, sampai Aku tidak menyadari isi gelas ditanganku sudah kosong.

"Maa Syaa Allaah, minumannya ..." Belum sempat Aku memuji minuman dan mengucapkan terimakasih, Ahsan sudah menghilang entah kemana.
Mataku mencoba mencari keberadaan Ahsan, di pojok dekat rak buku hanya ada dua orang yang sibuk dengan bacaannya, dan itu bukan Ahsan.
Di depan sana, dekat pintu masuk hanya ada si penjaga perpustakaan yang sibuk dengan komputer di hadapannya.

"Bagaimana, Sha," suara dari arah belakang berhasil mengagetkanku.

"Eh, Ahsan."

"Tunggu ... Ahsan." Perempuan berjilbab hijau tua yang tadi mengagetkanku dan sekarang berada di hadapanku, mulai menginterogasi seperti biasa jika penyakit keponya mulai kambuh.

"Astagfirullah, Kamsinar. Aku sampai kaget seperti ini, untung saja Aku tidak punya riwayat jantung, jika iya, pasti bakalan repot punya teman yang kerjaannya mengangetkan terus."

"Ustt, diam. Gelas di tanganmu?" Kamsinar masih saja menginterogasi.

"Bukan apa-apa, Ayo pulang, mumpung hujannya sudah berhenti." Aku berjalan meninggalkan pertanyaan Kamsinar, jika aku jawab, keponya semakin bertambah.
Dengan wajah ketidakpuasan Kamsinar tetap saja mengikuti ku keluar dari perpustakaan.

"Kamu langsung pulang, Sha?" tanya Kamsinar yang sibuk dengan benda persegi panjang di tangannya.
"Sepertinya begitu, Kam. Sebenarnya Aku mau ketemu ustadzah Meira sore ini, tetapi kata Desti, ustadzah tidak masuk hari ini."
"Baiklah, Aku juga tidak punya urusan sore ini. Aku mau pesan grab dulu ya," ucap Kamsinar yang masih fokus dengan handphone-nya.

"Aku pikir sudah sedari tadi kamu pesan grab." Aku menggelengkan kepala menatap perempuan unik di depanku ini.
Kamsinar hanya membalas dengan senyum yang lebar.
Lima menit berlalu, pesanan grab sudah berada di depan Kampus.

"Kalau begitu, Aku pulang duluan ya, Sha. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, Hati-hati ya, Kam." Jabatan tangan mengakhiri kebersamaanku hari ini dengan Kamsinar.

"Sepertinya, sebentar lagi masuk asar," Aku melihat jam dari ponselku.

Allahu Akbar ... Allahu Akbar. Azan asar terdengar dari masjid kampus. Aku memilih salat asar sebelum pulang ke rumah.
Aku mengambil mukena biru dari dalam tas. Beberapa mahasiswi juga ikut salat berjamaah. Lantai dua masjid diperuntukkan untuk perempuan, sedangkan lantai dasar untuk laki-laki.
Perasaan tenang begitu terasa setelah melaksanakan salat ashar berjamaah. Kutersenyum ramah kepada mahasiswi lainnya.

Kulipat mukena biru dengan rapi, kemudian kumasukkan dalam tasku. Sepertinya ada yang aneh dari tasku. Kuperhatikan isi tasku, seketika Aku teringat dengan diary biru ku. Aku sedikit panik setelah membongkar isi tasku karena diary ku tidak ada dalam tas, itu berarti diary ku ketinggalan di perpustakaan.

"Semoga saja diary itu ada di perpustakaan, jika tidak. Maka Aku akan kehilangan sebagian kenangan ku dengan kak Arfan." Aku berjalan menujuh perpustakaan dengan perasaan sedih.

Aku memasuki perpustakaan dengan tergesa-gesa. Penjaga perpustakaan dan beberapa mahasiswa memandangku dengan muka heran.
Aku mencari diary ku dipojok perpustakaan, yang beberapa jam lalu kukunjungi. Tetapi wujud diary ku tidak kutemukan. Kemudian dengan perasaan cemas Aku mencoba mencarinya di seluruh sudut perpustakaan. Masih belum saja kutemukan.

Setengah jam Aku mengitari perpustakaan, hasilnya masih sama. Belum kutemukan. Akhirnya Aku putuskan pulang ke rumah dengan perasaan sedih.

"Cari Apa, Mbak?" tanya penjaga perpustakaan.

Aku hanya membalas dengan senyum, Aku pikir, penjaga perpustakaan tidak perlu tau, jika Aku mencari diary yang berisi kenangan SMA ku, lebih tepatnya berisi tulisan tentang kak Arfan.

Bersambung ...

Istiqomah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang