Selalu

32 8 5
                                    

Pagi ini mentari bersembunyi di balik langit mendung. Awan kelabu menurunkan tetesan rindu melalui gerimisnya.

Usai salat subuh, kuberanjak dari sajadah menuju jendela kamar. Ku menyibak gorden biru yang menutupi jendela, bukan cahaya mentari yang menyambutku, melainkan tetesan hujan, membuat jendela berembun.

Mengapa sepagi ini hatiku mulai rindu, bukan tiba-tiba. Tetapi selalu saja begitu, aroma hujan mengabarkan kenangan yang masih kurindu.

"Nak, tidak kuliah hari ini?" Suara Ibu terdengar setelah mengetuk pintu kamarku.

"Iya, Ma."

Mukena biru belum kulepas, sebab diriku masih merasakan dinginnya udara pagi. Hujan masih setia mengguyur, suara rintiknya begitu teratur di atap rumah. Membuatku malas untuk bergegas ke kampus.
Kumemilih duduk sejenak memandangi hujan di luar sana. Tidak lupa dengan buku kecil berisi dzikir pagi di tanganku, ucapan dzikir begitu nikmat menentramkan jiwa.
Hujan masih dengan irama yang sama. Sedang tetapi setia mengguyur. Membuatku betah untuk melanjutkan aktivitas duduk.

"Ya Allah, Kumerasakan suasana yang sama saat hujan"
Memori masa lalu, mulai menampakkan wujudnya dalam pikiran.

"Mau pulang?"
Tanya lelaki yang baru saja berdiri di sampingku, dengan jarak satu meter.
Lelaki itu berseragam putih abu-abu sepertiku.

"Iya Kak, sudah sore, setengah jam lagi masuk magrib." Kekhawatiran nampak di wajahku, hujan masih belum berhenti.

"Ayo pulang bersamaku"
Kumenatapnya bingung.

"Maksudnya, saya antar sampai ke rumahmu. Hampir masuk magrib, sepertinya tidak ada angkutan umum yang akan lewat, bahaya berdiri sendiri di sini." Ucapnya membuatku memperhatikan sekeliling. Aku berada di halte sendirian, hanya lampu jalan dan kendaraan yang menerangi.

"Ayo ... " lelaki itu berjalan meninggalkanku menuju sepedamotor yang terparkir tidak jauh dari tempat ku berdiri.

Tidak ada pilihan lain. Kumenerima pertolongannya. Lelaki itu Kak Arfan yang membuatku menulis puisi pertama tentang cinta.

"Ya Allah, Aku harus berboncengan dengan Kak Arfan"
Aku ragu mendudukkan diriku di belakangnya.

"Ayo ... " lampu motor sudah menyala.

"Bismillahirohmanirohim" lirihku dalam hati bersama degup hati yang berbeda.
Untung saja, tas ranselnya sedikit besar. Membuat jarak antara punggungnya dan diriku.
Kak Arfan membawa motornya pelan, menerobos hujan.

Lampu-lampu jalanan dan kendaraan menghiasi sore yang sebentar lagi magrib.
Sesekali kuusap wajahku yang basah karena air hujan, seragam sekolah pun basah kuyup.

"Dek, apa bedanya gombal dengan merayu."
Suaranya tidak begitu jelas terdengar.

"Kenapa Kak?"

"Apa bedanya gombal dengan merayu?"
Ucapnya sedikit besar namun tetap lembut.
Aku masih mencerna pertanyaannya dan memutuskan tidak menjawab.

"Kalau gombal itu bohong. Sedangkan merayu itu benar."
Aku hanya mengangguk sambil menahan tubuhku yang dingin.

Dring ... Dring ... panggilan masuk dari benda persegi panjang di atas meja, membuyarkan lamunan.

Panggilan masuk dari ketua tingkat, mengingatkan jadwal kuliah hari ini. Kulirik jam di handphone-ku, kemudian bergegas ke kamar mandi.

Waktu seakan berlari mengejar ku, Kumenyambar gamis dan jilbab, untung saja, semalam kusempatkan menyetrika sebelum beranjak tidur.

"Ma, Aku berangkat ya." Tangan kiriku meraih tas, sedangkan tangan kananku meraih tangan Ibu.

"Assalamualaikum"
"Hati-hati, Nak"

Tidak lama berdiri di seberang jalan, angkutan umum berhenti di hadapanku.

"Ya Allaah, tinggal 30 menit lagi." Ku mulai merasa cemas karena takut terlambat.

Siang ini, langit tidak begitu cerah. Suasana kampus tidak ramai seperti biasanya, mungkin karena efek hujan tadi pagi, kebanyakan mahasiswa mungkin masih bermalas-malasan di asrama.

"Lima menit lagi." Kupercepat langkahku, semoga saja ustadzah belum masuk.

Ting ... satu pesan masuk.

Ukhty, bawa buku tafsir, tidak?

Pesan dari Khamsinar, membuatku tepuk jidat.

Aku lupa memasukkan buku tafsir semalam, karena jadwal mata kuliah hari ini tidak ada tafsir. Aku baru ingat, kalau pekan lalu ustadzah menyuruh kami bawa buku tafsir, untuk kuliah tambahan.

"Astagfirullah ..." lirihku sambil berlari menuju gedung kelasku.

Saat sampai di jalur motor keluar gerbang, Aku terkejut. Hampir saja motor menabrakku, untung saja lelaki itu, menghentikan motornya saat kami berjarak 30 cm.

"Astagfirullah ..." Ucapku berulang kali.

"Eh, Ayesha ya, Aku minta maaf." Suara lelaki itu, menghentikan langkah ku.

Sepertinya, Aku pernah mendengar suaranya.
Dugaanku benar, lelaki itu yang sering menolongku. Saat ku dihampiri orang gila, kemalaman di jalan, sampai dengan tawuran di kampus. Lelaki itu bernama ...

"Ahsan ... Iya, Ahsan." Ingatku.
Aku menggeleng sedikit, mengisyaratkan bahwa kutidak apa-apa.

Sepertinya Ia tersenyum sebelum menutup kaca helmnya kemudian berlalu.

"Yah, Aku pasti terlambat." Kumelanjutkan langkah dengan sedikit berlari.

Ayesha, Ustadzah belum masuk.
Satu pesan lagi dari Khamsinar membuat hatiku tenang.

"Alhamdulillah ..." lirihku bersyukur.

***

"Ayesha ... " Belum lima menit Aku duduk, Khamsinar memanggiku.

"Lelaki itu ..." Ucap Khamsinar menahan tawa.
Aku hanya memasang wajah heran.

"Itu ... Aku lihat kejadian tadi loh, dari atas sini."

"Astagfirullah ... itu, Alhamdulillah Aku tidak ketabrak."

"Akhwat, Ustadzah maujuudah."

Seketika kelas menjadi tenang.

Bersambung ...

Istiqomah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang