Kenangan

35 11 2
                                    

Dari Mu’awiyah Radhiyallahu ‘Anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan memahamkan baginya agama (Islam).” (Muttafaqun ‘Alaih)

Sore ini menjadi hari yang mengharukan bagiku. Pengumuman hasil ujian telah terpampang di papan pengumuman. Detik-detik menjelang azan magrib, banyak mahasiswi berlari menuju lantai bawah. Aku masih ragu dengan hasil ujian, hatiku tidak tenang.

"Astagfirullah ... Apapun hasilnya itu yang terbaik," gumamku menuju kamar mandi.
Aku mulai berwudu, teriakan histeris terdengar dari lantai bawah.

"Alhamdulillah Aku lulus ..." terdengar samar samar penuh dengan keriuhan.

"Aku pasti tidak lulus." Terka ku keluar dari kamar mandi.

"Ayesha." Adel dan Khamsinar megisyaratkan kabar buruk bagiku.

"Iya, Del. Aku sudah tau, pasti Aku tidak lulus kan?" yakinku.
Adel mengangguk pasrah.

"Takdir Allah yang terbaik." Ku berjalan meraih kaos kaki ku.

"Ayesha ... kamu lulus." Adel, Khamsinar dan Darma memeluk ku dari segala arah.

"Aku menitikkan air mata tak percaya."

"Iiih ... kalian ya Allah." Mereka tertawa kecil melihatku menangis.

Aku memutuskan salat magrib terlebih dahulu sebelum melihat hasil pengumuman, untuk memastikan kebenarannya.

"Ya Allah. Engkau mengetahui apa yang hamba butuhkan. Engkau menampakkan kekuasaanMu ya Rab," gumamku.

Segala kemudahan Allah berikan di setiap jalan usahaku. Meski terkadang ingin menyerah. Kembali lagi, ku menemui atmosfer kekuatan pada Sang Maha Kuasa.
Aku masih memiliki kesempatan mempelajari agama yang mulia. Kesempatan tidak selalu ada, selagi kesempatan masih berwujud nyata di hadapan, gunakanlah sebaik mungkin. Aku bertekad menjaga kesempatan ini agar tidak tersia-siakan.

***

Cahaya rembulan di atas sana remang-remang. Bintang berkerlap-kerlip seadanya. Lampu-lampu menerangi kegelapan kampus. Kuberjalan dengan langkah cepat.

PoV Ahsan Taufiqurrahman

Ya Allah, Aku disini mengagumi ciptaan Mu, bukan hanya wujudnya tapi akhlak dan kemuliaannya.
Aku mulai menaruh hati padanya, sejak pertemuan pertama. Kuyakin ini bukan kebetulan melainkan takdir yang telah Engkau rencanakan.
Waktu sepertinya telah mengatur pertemuan kami.
Aku terpesona ketika ia begitu santun membantu kakek tua menyeberang jalan, meskipun kutau dirinya juga takut menyeberang.
Aku terkagum ketika ia mengambil sesuatu dari tasnya dan menyedekahkannya kepada anak kecil yang menghapirinya.
Hatiku berdetak dengan ritme yang tak biasanya saat kumengetahui namanya.
Ia adalah Ayesha Ishmah yang kini membuatku merasakan sesuatu yang sulit kuterka. Wanita periang dan lembut.
Aku mendengar panggilan namanya saat temannya memanggil dari kejauhan kemudian ia menyambutnya dengan senyum.
kuperhatikan matanya yang menyipit itu berarti ia tersenyum di balik cadarnya.
Aku hanya mampu mengaguminya dari jauh, karena fitnah menjadi jarak yang membuatku berhanti sampai sini, sampai batas aturan Allah.
Aku takut terfitnah dengan wanita, itu adalah ujian berat bagiku saat ini.
Bukannya detik ini Aku sudah terfitnah dengannya, pesonanya membuatku tersihir sehingga terucap pujian untuknya.

"Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita." (HR. Bukhari: 5096 dan  Muslim: 2740)

Astagfirullah ... maafkan hamba ya Rab. Aku terjerumus dengan zina hati.

***
Kenangan adalah cerita usai yang meninggalkan banyak makna bagiku. Meskipun telah usai, tetapi tentangnya dan kisahnya abadi dalam tulisan, jemariku selalu berhasil meciptakan cerita tentangnya, tentang tokoh yang berhasil membuatku terkagum. Bukan hanya dalam tulisan pada diary biruku, tetapi ia masih menempati ruang hatiku.

"Ya Allah ... sampai kapan rindu betah menemaniku." Kuberanjak mencari diary biru yang bersembenyi dalam laci.

Kubaca setiap cerita dalam lembaran diary, senyum semakin mengembang mengingat kenangan yang mulai tergambar dalam ingatanku.

Lelaki itu menghampiriku yang tengah tertunduk gugup.

"Kenapa kamu lupa buat surat, ini kan tugas terakhir kamu dalam masa orientasi siswa." Lelaki itu berdiri tepat di depan ku.

Aku tidak ingin memandang wajahnya yang begitu datar dan berubah menakutkan saat marah.

"Kamu memang sudah lulus masuk sekolah ini, tapi jika kamu tidak nurut dengan kakak yang bertanggung jawab dalam masa orientasi ini, kamu bisa saja dinyatakan tidak lulus," ucapnya memandangku.

"Iya kak ... maaf." Aku berusaha mengangkat wajah ku yang tertunduk.

Kejadian ini memang mutlak sifat keteledoranku. Aku lupa memastikan bahwa surat yang kurangkai sedemikian rupa telah ada di dalam tas, itu berarti masih tertinggal di meja belajar.

"Baiklah, sanksi untuk kamu yaitu ..." Ia berhenti sejenak untuk berpikir.

"Nah! kamu buat puisi tentang cinta." ucapnya tersenyum.
Belum sempat aku membalas senyumnya, ia kembali mempakkan wajah datarnya.

"Kamu boleh bacakan di depan temanmu atau temui Aku, Arfan Azzam." Ia meninggalkanku begitu saja.

"Dasar Kak Arfan, masa iya Aku buat puisi cinta. Aku kan tidak pandai merangkai kata," gumamku memikirkan kata pertama untuk puisi yang ingin kubuat.

Dring ... Dringg ...

suara handphone ku mengakhiri nostalgia bersama diary biru.

"Ya Allah, ini kan orang yang barusan Aku rindukan." Ku lihat nama Kak Arfan dalam panggilan masuk.

Hatiku mulai menemui kebiasaannya berdetak kencang saat menemui sesuatu yang berkaitan dengan dirimu. Entah apa yang terjadi dengan diriku, mengapa ia bersikap seperti itu. Mungkin jawabannya ada dalam hati yang merasakannya atau ada pada dirimu yang juga merasakan hal yang sama.

Bertahan dengan perasaan yang masih ada dan berusaha terus menjaganya. Tetapi, aku tak tau apa yang kulakukan saat ini benar atau salah. Saat hati yang berucap, ia membenarkan rasa ini untuk bertahan. Tetapi, saat kenyataan yang berbicara, ia seakan ragu pada rasa ini.
Aku bingung memecahkan teka-teki percintaan ku, rumit bahkan sangat rumit.

"Akh ... Ayesha, istirahatlah dari rindu barang sedetik saja"

Bersambung

Istiqomah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang