Campur aduk

27 13 9
                                    

Mobil angkutan membelai jalanan yang masih ramai. Aku duduk dekat jendela sambil memperhatikan langit malam, sepertinya langit akan menurunkan rahmat Allah berupa hujan. Angin berembus menyampaikan kedatangan hujan. Baru setengah perjalanan hujan mulai deras. Rintiknya terdengar nyaring. Ku peluk beberapa buku yang ada di pangkuanku, setidaknya untuk memberikan sedikit kehangatan untuk tubuhku yang mulai kedinginan.

Ku tutup jendela saat percikan hujan mengenai wajahku. Tak lama kemudian, jendela mulai berembun.

Entah cerita apa yang hujan sampaikan malam ini ...
Mengapa pikiranku tiba-tiba memutar kenangan yang pernah ada, dan tetap ada bersama perasaanku.

"Akhh ... Hujan, kau selalu membuat ku semakin merinduinya. Astagfirullah," gumamku saat jemariku melukis sebuah nama pada embun di jendela.

"Ya Allah, sampaikan rinduku padanya, sebagaimana rintik hujan-Mu telah menyampaikan rindu kepadaku. Iya, malam ini kubenar-benar merinduinya."

"Berhenti Ayesha, pliss ... tolong. Ia hadir untuk pergi, bukan untuk bersama. Ia hanya masa lalu." Mengapa potret wajahnya kembali menyapa.

"Tidak, tidak, sampai kapan harus seperti ini. Ya Allah, lepaskan lah perasaan ini, jika memang ia bukan ketetapan dariMu. Aku tidak ingin mencintai dengan cara yang salah." Aku mengutuk diriku yang sulit melupakan kenangan tentang lelaki yang membuatku terkagum.

Ahsan dengan dorongan cintanya diam-diam mengikuti angkutan umum, ia ingin memastikan Ayesha selamat sampai rumahnya.

Ahsan tidak menyadari kalau malam ini akan hujan, ia hanya mengkhawatirkan Ayesha. Ia langsung menyambar motornya dengan cepat. Akhirnya hujan membasahi dirinya yang masih memakai seragam kampus. Ahsan tidak ingin ketinggalan jejak angkutan umum, sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan laju motornya meskipun hujan membasahi.

"Ya Allah, entah mengapa Aku melakukan ini. Bukankah Aku tidak punya hak. Ampuni Aku ya Allah. Jika cinta ini salah, bahkan telah membawaku pada tindakan berlebihan, maka berilah petunjuk Mu. Aku benar mencintainya, tetapi Aku belum tau, apakah benar jika cintaku ini karena Mu ya Rab." Ahsan membersihkan kaca helm yang mulai rabun.

Setelah setengah jam berada dalam angkutan umum, akhirnya Angkutan umum berhenti tepat depan rumahku.

"Perasaan ada yang ngikutin Aku." Aku menoleh ke kanan kiri, memastikan bahwa tidak ada apa-apa.

Karena capek seharian, Aku langsung membersihkan diri di kamar mandi. Kelelahan perlahan hilang.
Aku berniat langsung menghempaskan tubuhku ke tempat tidur. Tetapi, Aku malah memilih menghampiri mama yang asyik menonton acara tv kesukaannya.

"Kenapa pulangnya kemalaman, macet ya?" Mama membuka pembicaraan saat melihatku.
Aku langsung mengingat kejadian itu.

"Itu, Ma. Pas Aku keluar dari kampus, Aku nunggu angkutan umum, tetapi kebanyakan penumpangnya sudah full. Lama Aku nunggunya. Langsung tiba-tiba ..." Aku berbicara dengan nada greget membuat mama penasaran.

"Tiba ... tiba ... ada orang gila, huhu." Aku tambah greget memicingkan mata.

"Terus, Nak. Orang gila itu tidak membahayakan mu, Kan?" Mama mulai cemas.

"Alhamdulillah, Ma. Ada lelaki yang bantuin Ayesha." Pikiranku mengingat kebaikan lelaki itu.

"Ma, Aku ngantuk, tidur duluan ya, Ma." Aku mencium pipi kanan mama.

Tubuhku ingin beristirahat, mataku tidak mampu menahan kantuk. Tetapi tiba-tiba semuanya hilang saat bayangan lelaki yang kutemui itu singgah dipikirinku.

"Bagaimana jadinya tadi tanpa dia, siapa ya namanya. Ah ... Ash ... Ahsan, iya, iya Ahsan. Sepertinya dia memuliakan wanita. Salut deh, saat dia menolongku bahkan tidak membiarkan ku berdiri sendiri berlama-lama di waktu malam. Sepertinya, dia juga selalu menjaga pandangannya."

"Eh, Ayesha, Ayesha, sadar. Mengapa jadi mikirin Ahsan. Astagfirullaah." Aku memilih menghempaskan tubuhku.

Mengapa kantukku tiba-tiba hilang. Kupandang langit-langit kamar, terlintas kejadian tadi, kuingat begitu rinci, sesuatu yang janggal mencul diingatan.

"Ahsan," gumamku.

"Eh, tunggu, darimana Ahsan tau namaku. Perasaan Aku belum kenalan." Kejanggalan akhirnya kutemukan.
Beberapa menit berlalu aku masih memikirkan kejanggalan itu.

"Aduh, sudahlah Ayesha. Gak penting." Kukembali merebahkan tubuhku.

Dring ... Dring ...
Saat kuberusaha menutup mata, handphone ku berdering di atas nakas.

"Halo, Assalamualaikum ..." Kuangkat panggilan tanpa nama. Kupikir panggilan penting.

"Waalaikumsalam, Dek." Hatiku merasakan kepekaan yang pernah ada saat kudengar suara di seberang sana.

"Dek," ucap di seberang sana saat aku masih tetap dengan posisiku, diam tanpa kata.

"Apa ini Kak Arfan?" tanyaku yakin.

"Iya, Dek. Bagaimana kabarmu?" hatiku semakin bergetar, tanpa sadar setetes air mata jatuh begitu saja.

Hatiku meronta saat kau putuskan untuk pergi.
Kemudian kau menenangkanku dengan sebuah janji
"Aku akan kembali"
Kau tak pernah tau
Saat kau pamit sulit bagiku menatap langkah kaki yang perlahan menjauh
Tapi ku tetap berdiri memastikan kepergianmu
Hingga lenyap ditelan jarak.
Ah Kak Arfan apa kau benar-benar akan kembali.

***

Siang ini begitu terik. Mentari menyilaukan mataku. Ku baru saja turun dari angkutan umum.
Suasana jalanan begitu padat, banyak polusi membuatku terusik. Sesekali kututup mulut dengan tangan kananku meskipun sudah tertutup cadar.

"Mengapa cuaca hari ini begitu panas di tambah dengan jalanan yang macet begini," tanyaku dalam hati.

Kericuhan terjadi di depan kampus, asap hitam menggulung ke langit. Beberapa mahasiswa yang berada di sekitar kejadian berteriak histeris. Kupikir hanya demo biasa tetapi beberapa batu entah datangnya darimana hampir mengenaiku. Suasana semakin kacau, rupanya ini bukan demo melainkan tawuran antar kampus.
Saat semua orang disekitar berhamburan lari, aku semakin takut, bingung harus bagaimana.

"Ya Allah yang maha pelindung," belum sempat kulanjut doaku. Dua orang lelaki berkejaran dengan wajah yang penuh amarah. Entah benda apa yang mereka pegang.

"Ya Allah." Kuberteriak dalam hati saat perkelahian terjadi di depan ku.

Keringat kepanasan karena cuaca berubah menjadi keringat dingin ketakutan.

"Akh ... Awas" teriak beberapa mahasiswi pada ku.

Entah apa yang terjadi. Tanganku ditarik oleh seseorang dan mengajak ku berlari menjauh dari perkelahian.
Seseorang menarikku ke tempat yang aman. Kuatur nafas sejenak. Detak jantungku mulai stabil.

"Astagfirullah ... uh ..." suara nafas Ahsan masih terdengar ngos ngosan.

"Kamu ..." ucapku bersamaan.

"Kamu tidak apa-apa?" Pertanyaan yang sama.

"Alhamdulillah, terima kasih sudah nolongin Aku lagi," ucapku bersyukur.

"Maaf ... maaf ... maaf." Hanya kata maaf yang dilontarkan Ahsan.
Kemudian beristigfar berkali-kali.

"Aku tadi refleks menarik tangan kamu, Ayesha. Maaf." Ahsan merasa tidak enak hati.

"Soal itu, kita sama-sama beristigfar, Allah maha pengampun, lagian kita tidak ada niat macam-macam, tidak sengaja. Entah apa jadinya jika kamu tidak ada, Aku pasti terluka di sana." Aku berbicara memandang kedepan, sedangkan Ahsan berdiri di samping.

"Kelas sepertinya sudah mulai." Kulirik jam tangan.

Ahsan kemudian meninggalkan ku, ia ingin ke gedung kelasnya, gedung perempuan  dan laki-laki terpisah. Jalan raya terbentang, kampus berada di seberang timur sedangkan kami berdiri di sebelah barat.

"Tunggu ..." kucegah langkah Ahsan.

"Aku juga ikut menyebran, kita sama-sama ingin ke sebelah kan?" Aku memberanikan diri meminta tolong, sebab urusan menyeberan jalanan aku begitu takut.

Bersambung....

Istiqomah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang