Perpisahan

47 16 27
                                    

Bagiku, perpisahan adalah ujian yang akan menjadi alat ukur kesetiaan.

Sebagaimana pertemuan telah mengawali takdirnya. Mau tidak mau perpisahan pun akan mengawali takdirnya.

Baru kemarin kami melangkah bersama memasuki kampus dengan janji yang terikrar.

"Pokoknya kita daftar sama-sama, Maka luluspun harus sama-sama." Janji setahun yang lalu.

Saat itu, kami pulang dari kampus.

Gerimis petang memulai rintik kecilnya, perlahan lahan berubah deras. Kelas sora yang kami ikuti akhirnya selesai, tepat 10 menit sebelum adzan.

Beberapa mahasiswi meninggalkan kelas dan menuju sakan, biasa disebut asrama. Lampu-lampu taman dan ruangan menambah keindahan Mahad. Langit petang perlahan redup, tidak ada penampakan cahaya apapun di sana.

"Baiknya kita salat magrib di sini saja." Fatimah beranjak meninggalkan kelas menuju toilet.

Aku, Hanifah dan Sumayyah mengangguk setuju.
Lima menit berlalu kami telah melaksanakan salat magrib berjamaah di kelas.

"Lapar." Kebiasaan Hanifah yang tidak bisa jauh dari makanan.

Untuk kali ini, rasa lapar benar-benar menyerbu kami. Kegiatan yang menyenangkan saat hujan-hujan hanya dua, jika bukan tidur, pasti makan.

Setelah seharian berkutat dengan pelajaran yang menguras tenaga, membuat kami kelelahan ditambah dengan rasa lapar.

Al-Balad[90] : 4
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.

Terkadang sifat manusiawi berupa kelelahan menjadikan manusia mudah menyerah.

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat ke­luh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh ke­sah dan apabila mendapatkan kebaikan, ia amat kikir (QS Al-Ma‘ârij [70]: 19-21).

Keluh kesah ingin selalu hadir dalam ucapan, menjadi benalu untuk melemahkan semangat.

Baru setahun kuliah, semangat perlahan mulai kendor. Beberapa mahasiswi keluar dengan sendirinya. Entah apa penyebabnya, mungkin karena mata kuliah yang menguras pikiran atau hafalan yang semakin bertambah tanggung jawabnya. Itulah yang membuat semangatku mulai meredup.

Tetapi, hati kecil yang paling dalam memberikan keyakinan dengan menghadirkan niat karena Allah. Kekuatan akan hadir selama kita menggantungkan kelemahan kepada Allah, tempat memohon perlindungan dan kekuatan.
Saat lelah menggoda tuk menyerah, kukembali melihat perjuangan yang telah lalu, Aku tidak ingin menyia-nyiakannya dengan menyerah di tengah jalan. Perjalananku sudah jauh, tinggal sedikit lagi.

Karena kami tidak tinggal asrama. Maka butuh setengah jam berkendara agar sampai ke rumah masing-masing.

"Sebelum kita pulang, Ayo kita isi perut dulu," Ajak Hanifah.

"Iya betul, biar bawa motornya enak," timpal Sumayya setuju.

"Kita beli bakwan dan tahu goreng yang di depan asrama," usul Fatimah.

Kami mengangguk setuju. Bukan hanya sekali kami singgah makan gorengan di depan asrama, tetapi sudah berkali-kali.

Penjual gorengan tersebut adalah seorang nenek yang begitu lembut. Ia menjajakan jualannya di depan asrama setelah magrib. Beberapa mahasiswi berkerumun memesan gorengan dengan menengadahkan piring mereka masing-masing, kemudian menyelonong ke dapur umum khusus mahasiswi untuk mengambil nasi dan lauk yang mereka inginkan.

"Eh kalian, belum pulang," sapa  Desti, teman kelas kami yang tinggal asrama.

"Hehehe, kami singgah makan dulu," ucap sumayya.

"Eh, kalian bawa minum, tidak?" bisik Hanifah.

"Tinggal dikit." Sumayya memperlihatkan botol minumnya.

"Fat, minta minum dong." Hanifah mengisyaratkan mukanya ke arah Desti.

Belum sempat kami minta air,  Desti sudah membawakan sebotol air untuk kami dari dapur mahasiswi.

"Masyaallah ...." Kompak kami menyambut kedatangan Desti.
Desti kemudian tertawa kecil.

"Ayo, sini makan." Kami mengajak Desti bergabung.

"Tidak, tidak. Kalian pasti lapar, habiskan saja. Aku mau ke kamar, sudah ambil makanan kok." Desti menolak ajakan kami.

"Eh, kalian pulangnya naik motor kan, bahaya malam-malam naik motor, banyak kendaraan apalagi malam hari dan hujan begini." Terlihat wajah Desti begitu cemas.

"Hehehe sudah biasa," sambar Sumayya.

"Inilah jihat penuntut ilmu, Insyaallah." Ucapanku membuat mereka mengangguk setujuh dan berucap "Masyaallah."

Fatimah dan Sumayya berjalan ke parkiran untuk mengambil motor mereka. Sedangkan Aku dan Hanifah masih berdiri di depan asrama.

Sesekali Aku tersenyum kepada nenek penjual gorengan. Ia tidak lagi muda, tetapi semangatnya mencari beberapa rupiah sunggu luarbiasa.

"Ya Allah, nenek itu sungguh kasian, tidak adakah anak atau suami yang mencarikan nafkah. Seharusnya ia menghabiskan masa tuanya untuk istirahat. Ya Allah, semoga dagangannya laris." Untaian doa melihat nenek itu dengan rasa iba.

Kemudian mataku berkaca-kaca ingin meluapkan rasa haru, saat pikiranku mengingat sosok luarbiasa dalam hidupku, tidak lain adalah ibu.

Pengorbanannya tidak dapat aku tebus dengan apapun bahkan nyawaku. Saat kupandangi wajahnya yang begitu kelelahan menciptakan rasa berbeda yang mungkin dirasakan oleh semua anak.

Ungkapan cinta seindah apapun tidak mampu melukiskan rasa sayangku untuknya. Kan kusematkan doa untuk ibu, meskipun tanpa sepengetahuannya, sebab doaku ikhlas dan tulus, biarkan para malaikat mengaminkannya dan Allah mengijabahnya. Karena, hanya itulah yang mampu kulakukan.

"Uhibbuki ya ummi." Air mataku sedetik lagi  mengucur jika kukedipkan sekali.

"Ayo kita pulang." Sumayya menyodorkan helm kepadaku.
Sedangkan Hanifah sudah siap diboncengan Fatimah.

Malam masih berselimut kabut mendung, hujan yang tidak berhenti dari tadi sore membuat jalanan tergenang air, membuat macet begitu panjang.

Sumayya yang berusaha menerobos di sela kendaran sepertinya sudah begitu lelah.

"Maafkan Aku, karena tidak pintar mengendarai jadinya tidak bisa gantian," ucapku melihat Sumayya yang mengendalikan motornya.

***
Setelah semalam diguyur hujan, siang ini kami berangkat ke kampus dengan cuaca yang cerah.

Sumayya mendatangi ku yang tengah asik berbincang dengan Fatimah dan Hanifah dengan mata yang sembab, matanya bengkak.

Belum sempat aku bertanya. Sumayya sudah menghamburkan pelukannya kepada Fatimah.

Aku semakin bingung, sedangkan Hanifah biasa saja.
"Han, mereka kenapa?" Aku menatap Hanifah.

Hanifah hanya menunduk, sepertinya ia mengetahui sesuatu.

"Fatimah akan meninggalkan kita." Ucapan Sumayya semakin membuatku bingung.

"Iya, Fatimah akan ke suka bumi," sambung Hanifah.

Itu berarti Fatimah lulus masuk ke Arrayah, Sekolah tinggi ilmu bahasa arab. Tempat impian Fatimah setahun yang lalu.

"Masyaallah, selamat, Fat." Aku menyodorkan tangan kananku kemudian memeluknya erat.

"Tidak akan ada lagi teman bangkuku yang selalu menyemangati. Tidak adalagi teman menghapalku. Tetapi, jika itu yang terbaik, Aku selalu mendukung keputusan Fatimah, semoga dimudahkan. Jangan lupakan Ayesha ya." Aku menitikkan air mata.

Bersambung ...

Istiqomah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang