Penolong

44 15 17
                                    

Berjuang sendiri seperti mata rabun. Jika tidak memakai kacamata, penglihatannya akan samar-samar, tentunya menyulitkan untuk melakukan aktivitas.

Itulah yang tengah kurasakan. Sahabat yang selama ini menjadi kacamataku dalam berjuang satu persatu meninggalkanku. Bukan tanpa sebab, mereka pergi untuk memilih aktivitas yang menurut mereka sebagai prioritas. Walaupun menuntut ilmu juga menjadi prioritas tetapi alasan mereka saat inilah yang lebih tepat.

Fatimah memilih pindah ke sukabumi, baginya itu adalah impian terindah. Bagaimana tidak, di sana Fatimah akan disuguhkan ilmu agama, penguasaan bahasa arab dan hafalan Al-Quran yang luarbiasa.
Sedangkan Sumayya memilih untuk kerja agar dapat membantu perekonomian keluarga. Baginya, ia akan berjuang membahagiakan orang tercinta.
Dan Hanifah memilih menghalalkan perasaannya dengan jalan menikah. Baginya, jika hal yang haram dapat diubah menjadi halal dan berbuah kebaikan pahala, mengapa tidak. Semenjak mengandung, ia memilih keluar dari mahad dan taat kepada suaminya, berusaha menjadi istri sekaligus ibu yang salehah.

Tinggallah Aku sendiri tanpa sahabat tercinta. Bertahan menuntut ilmu bersama niat dan tujuan dalam hati, itulah jalan yang kupilih. Meskipun nantinya aku akan kesulitan menghadapi tantangan di Mahad tanpa mereka yang  menyemangati dan menasihati.

Aku tidak punya hak untuk tetap menahan mereka agar tetap bersamaku, walaupun inginku mereka tetap di sini, bertahan, berjuang, tertawa, bercanda dan masih banyak lagi hal yang kami lakukan bersama. Tetapi semuanya sudah tergaris rapi di dalam takdir.

Aku akan mendukung mereka.
"Ya Allaah, semoga Engkau berikan hal terbaik bagi mereka. Mudahkan Fatimah dalam menuntut ilmu agama-Mu di sana. Lancarkanlah urusan Sumayya di tempat kerjanya. Jadikanlah keluarga Hanifah sakina mawadda warahma. Dan luruskanlah niat kami di setiap aktivitas karenaMu ya Rab." Aku termenung memandang ke luar jendela.

Hari baru ke kampus tanpa mereka, rasanya begitu sepi. biasanya saat sampai di kelas, kami melaksanakan salat duhur terlebih dahulu kemudian memilih bangku paling belakang karena takut berhadapan langsung dengan ustadzah, apalagi ustadzah yang mengajar menekankan mahasiswi untuk aktif mengikuti pelajaran, bukan hanya diam dan cukup berucap

نعم، فهمنا ... 

"Assalamualaikum ...." Kamsinar menaruh tasnya tepat di samping kursiku.

"Waalaikumsalam," jawabku tersenyum.

"Sollayti?" Khamsinar mengambil mukenah dari tasnya.

"Na'am sollaytu."
Karena aku sudah salat duhur, aku kembali menikmati angin yang berembus melalui jendela.

Aku yang berada di lantai tiga, begitu takjub memperhatikan langit biru yang selalu menjadi objek terindah bagiku.

"Ehm ... madsa tandzurina ilal khorij?" suara Khamsinar membuat ku sedikit kaget, mungkin karena aku terlalu fokus memandang keindahan langit.

Beberapa mahasiswi berdatangan. Aku sengaja datang lebih awal agar tidak terkena macet.

"Roaytu ssamaa ...." kupandang langit biru.

"Laa, Laisa ssamaa, walaakin ...." Pandangan Khamsinar menunduk ke arah masjid, yang dapat dilihat dari tempatku bersama Khamsinar.

Beberapa gerombolan ikhwan keluar dari masjid, memenuhi jalanan kampus. Celana hitam baju putih lengkap dengan kopyah nya adalah seragam mereka.

Aku baru sadar maksud Khamsinar, ia ternyata dari tadi menggodaku. Aku memang pribadi yang pendiam jadi, orang-orang suka bercandai diriku.

"Cie ... Ayesha." Khamsinar belum menghentikan tingkahnya.

Istiqomah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang