Kenangan Hujan

10 7 2
                                    

Malam ini tidak begitu pekat. Rembulan begitu terang di luar sana. Bintang-bintang kerlap-kerlip secara bergantian. Suasana malam yang begitu indah, beda dengan suasana perasaanku malam ini. Aku masih duduk memandangi sajadah merah setelah mengadukan isi hati pada Rabb.

"Bagaimana bisa diary itu hilang." Aku memaki dalam hati sikap kecerobohanku.

Aku tidak dapat bertemu dengan Kak Arfan, kabarnya pun tidak pernah terdengar. Entah, adakah hati yang keras seperti diriku. Apa mungkin hanya Aku.
Sampai kapan kenangan tentang Kak Arfan berhenti mengalun dalam ingatan. Mengapa hati ini begitu keras dalam mencinta.

Sedangkan Kak Arfan, entah raga dan hatinya berpijak dimana. Betapa jauh harapku agar Kak Arfan juga merindu di sana. Merindu kenangan sederhana yang begitu berarti untuk dikenang.

Bagaimana mungkin Aku bisa mengenang kisah itu, jika diary tentangnya hilang.

Deras hujan mulai mereda
Rintiknya membekas pada dedaunan
Menetes lembut, menyatu dengan genangan pada tanah cokelat.
Semanjak itu, Aku mulai menyukai aroma hujan.
Ketika hujan berhenti, tidak lupa meninggalkan banyak cerita.
Aku paling suka cerita tentang dia.
Bukankah semuanya seperti itu bagi penikmat hujan.
Perempuan penikmat hujan seperti ku hanya bisa bersembunyi di balik derasnya hujan.
Takut menyampaikan rasa, lebih tepatnya malu.
Biarkan hanya hujan yang tau perihal ini.

"Ayesha, ya. Lagi nulis apa?" tanya lelaki berseragam putih abu-abu ketika menghentikan langkahnya di sampingku.

Aku yang tengah menikmati hujan, dengan tulisan puisi pada diary biruku langsung terperanjak dan menghentikan aktivitasku.

"Eh, eh iya Kak Arfan," jawabku sedikit gugup, entah kenapa.

"Boleh Aku lihat tulisanmu?" pinta Kak Arfan.

"Tidak boleh kak. Tulisannya jelek, alay. Nanti malah Kak Arfan tertawa." Aku mulai cemas, jangan sampai Kak Arfan membaca tulisanku.

"Mana tulisannya, Dek. Aku hanya ingin baca. Kalau tidak ..." Kak Arfan menatapku aneh.

"Kalau tidak kenapa, Kak?" tanyaku singkat.
"Kamu akan basah." Kak Arfan menengadahkan kedua tangannya agar dapat menampung air yang jatuh dari atap, kemudian memercikkannya padaku. Sontak Aku berteriak dan menutup mulutku ketika beberapa siswa mengarahkan pandangan kepada kami.

"Kak Arfan." Aku menatapnya aneh. Kak Arfan hanya tertawa kecil.

Entah kenapa, bisa tertawa bersama membuatku merasa nyaman di dekat kak Arfan.

Sedangkan di sudut kamar yang lain. Lelaki yang baru saja menyelesaikan tadarusnya dan menutup mushab berwarna hitam yang ada di tangannya. Malam yang sama, dengan langit yang penuh bintang.

Ketika rembulan mulai menampakkan sinarnya, membuat langit semakin menawan. Membuat insan yang sedang jatuh cinta tertawan rindu. Baru kali ini, seorang Ahsan Taufiqurrahman bisa kembali menata hatinya yang penuh sayatan luka. Mengapa tidak, pernikahan impian yang dibangun bersama masa lalunya hancur begitu saja. Menciptakan luka mendalam yang masih membekas.

Dihari yang seharusnya tercipta sejuta bahagia untuk pujaan hati, malah berganti tangis dan luka mendalam. Setelah penantian panjang dan pernikahan telah di depan mata semua direnggut oleh kematian. Ahsan tidak ditakdirkan dengan pujaan hatinya, calon istri tercinta lebih dulu menghadap kepada Sang Ilahi.

Ahsan terduduk mengenang kisah pahitnya, pertemuannya dengan Ayesha membuat lukanya semakin memudar. Sikap anggun dan lembut Ayesha mirip dengan calon istrinya yang meninggal.

"Astagfirullah." Ahsan tersadar ketika pikirannya mulai menyesatkan.

"Diary ini." Ahsan meraih diary biru yang terletak di atas nakas bertumpukan dengan tas hitamnya.

Untuk Kak Arfan...

Andai saja kau tau, Ada seorang yang selalu mengagumimu.

Menantikanmu berlalu di depan kelas, Agar dapat menatapmu dari jauh.

Kau selalu mengagumkan ketika bicaramu beriringan dengan senyuman.

Andai saja kau tau, awal pertemuan denganmu memberikan candu untuk bertemu, berpapasan untuk yang kedua, ketiga dan selamanya seperti itu.

Bisa saja, diary biru ini menjadi saksi yang menemani perasaan kala merindu, mencinta dan mendamba.

Andai saja kau tau, tentang Kak Arfan Azzam selalu tertulis dalam diary.

Dari, Ayesha Ishmah, Adik kelas yang selalu mengagumimu dalam tulis.

Ahsan membaca lembaran pembuka pada diary biru milik Ayesha, yang tertinggal di perpustakaan tadi.

Wajah Ahsan sedikit berubah, ekspresi datar menjadi pemandangan saat ini. Entah cemburu ataupun kecewa, tidak dapat tertebak.

Setiap orang berhak memiliki rasa suka, kagum, dan cinta kepada seseorang. Rasa itu hadir sebagai sinyal berharganya sebuah perasaan. Sebab, segala rasa menjadi pelukis tanpa terencana. Sehingga kita harus yakin, bahwa setiap rasa, apapun itu selalu menjadi warna keindahan, walau warnanya lebam, tetap saja memberi arti di sudut hati yang tersembunyi. Penerimaan rasalah yang dapat mengerti itu semua.

Mentari pagi belum terik, kicau burung dan dedaunan berselimut embun menjadikan suasana pagi selalu indah, membuat manusia betah menikmati udara.

Kampus yang berada di tengah perkotaan itu tidak ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa lelaki berseragam hitam yang duduk di pos gerbang masuk dan keluar, ada juga beberapa lelaki dan perempuan paruhbaya yang sedang mencari pundi kehidupan dengan menyapu sekitaran kampus.

Aku berjalan membelai jalanan sepi menuju perpustakaan dengan langkah yang sedikit cepat, berharap diary ku bisa kutemukan kembali.

Aku menghentikan langkah dan menghela napas kecil ketika melihat pintu perpustakaan masih tertutup.

"Halo, Assalamualaikum," ucapku ketika Kamsinar mengangkat telponku.

"Waalaikumussalam, Sha. Ada apa, ganggu tidurku saja."

"Jam segini kamu masih tidur, parah kamu, Kam. Kamu tidak ke kampus hari ini?" Aku berjalan menuju taman duduk depan fakultas kedokteran.

"Kamu tidak baca grup kelas, hari ini kita libur, karena asatidza akan mengadakan rapat." Aku belum sepenuhnya percaya dengan ucapan Kamsinar. Buru-buru Aku membuka grup kelas yang sudah ada puluhan chat masuk. Memang benar, hari ini libur.

"Ini punyamu?" Lelaki itu membuatku kaget.
Dengan girang Aku meraih barang yang membuatku resah semalam.

"Terimakasih ya, Ahsan."

"Maaf, Aku sempat membaca halaman pertamanya, kalau boleh tau, Kak A ... Arfan itu ..." ucapan Ahsan membuat mataku membulat sempurna.

"Kak Arfan itu ..." Aku ragu menceritakan semuanya pada Ahsan.

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Istiqomah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang