Bab 1

4 4 0
                                    

Derap langkah kaki seorang pria mendekati  gadis yang sedari tadi tengah duduk di taman. Dengan balutan gamis motif  berwarna salem ditambah khimar berwarna coklat susu membuat gadis itu terlihat sangat cantik. Gadis itu bernama Sayyidah Humaira. Seorang wanita cantik dan salihah di tambah dengan kecerdasan dan kebaikan yang dimilikinya, membuat setiap kaum lelaki selalu mendambakan untuk menjadi kekasihnya.

“Assalamualaikum bidadari surga!” tegur seorang pria yang tiba-tiba muncul dari belakang punggung Aira.

“Wa’alaikumussalam, Raka yang ganteng dan suka gombal.” Aira membalikkan badan ke arah Raka.

“He he ... gak kok aku gak pernah gombalin cewek, paling cuman kamu aja tuh karena emang kamu lucu kalau digombalin,” goda Raka.

“Ihh ... gak lucu tahu,” ketus Aira.

“Lucu, tuh lihat baru gitu aja mukamu udah merah kayak udang rebus,” ucap Raka menggoda Aira. Aira hanya menunduk tersipu malu. Ia yakin saat ini mukanya sudah memerah karena ucapan Raka. Raka dan Aira, sudah saling berkomitmen menjaga hati sejak SMP. Raka selalu menjaga Aira, dan memberi warna di kehidupan Aira. Sejak SMP mereka tidak pernah terpisah jauh, hingga saat mereka beranjak dewasa, mereka harus berpisah jarak karena cita-cita.

“Udah bercandanya, Raka sekarang kita harus ngomong serius.” Aira menghentikan lelucon dan suasana berubah menjadi tegang.

“Hmm ... mau ngomongin apa sih, sampai harus ketemu di taman kan di WhatsApp juga bisa,” ujar Raka, penasaran.

“Gak bisa Raka, kita harus ngomongin ini sekarang.” Aira terlihat semakin geram melihat wajah Raka yang terlihat santai dan biasa saja, sedangkan dirinya menahan kecamuk di dada.

“Oke, kita bicara sekarang. Mau ngomong apa?” tanya Raka sembari merapatkan duduk di samping Aira dan menatap wajah Aira yang terlihat cemas.

“Kita gak usah dekat lagi ya,” ucap Aira gugup.

“Apa? Kamu ngomong apa sih, Ai gak lucu tahu.” Raka membalikkan badan menghadap Aira. Saat ini posisi keduanya tengah berhadapan dengan jarak yang lumayan dekat, membuat jantung Aira berdetak lebih cepat, keringat dingin menjalar ke tubuhnya. Aira gugup, ia langsung menunduk.

“Serius Ka, aku .... ke terima beasiswa di Turki. Minggu depan aku berangkat ke sana,” ujar Aira pelan. Terlihat raut wajahnya yang gugup.

“Kamu ke terima beasiswa di Turki? Kenapa kamu gak pernah cerita ke aku kalau kamu mau kuliah di Turki?” Raka masih keheranan dengan ucapan Aira. Ia menatap Aira lebih tajam hingga membuat Aira semakin gugup, ia menggigit bibir bawahnya dan meremas khimar panjang miliknya.

“Maaf Ka, aku pikir aku gak akan ke terima makanya aku belum cerita sama kamu,”  jawab Aira sembari menunduk dan mengusap matanya yang mulai basah.

“Terus kenapa kita harus pisah, kan kita masih bisa dekat. Kita masih bisa saling komunikasi kan, Ai?”

“Tapi, aku gak yakin kita masih bisa dekat Ka, Turki-Indonesia itu gak dekat. Sulit buat kita lanjutin ini semua,” ujar Aira menahan sesak di dada. Sebenarnya ia tak ingin kehilangan Raka. Ia tak pernah membayangkan bagaimana hidupnya tanpa Raka, siapa orang yang akan membantunya saat ia susah, dan  menyemangatinya saat ia resah. Ia sadar masih sangat membutuhkan Raka. Hati dan pikirannya selalu tak selaras, membuat Aira harus kembali berpikir panjang.

“Ai ... kamu gak percaya sama aku? Kita masih bisa saling menjaga dari jauh dan saling mendoakan. Aku akan selalu dukung apa pun yang kamu lakukan, Ai,”  ujar Raka meyakinkan Aira dengan sepenuh hati. Ia juga tak siap untuk berpisah dengan Aira.

“Tapi, apa kamu yakin Ka, sedangkan aku sendiri masih sulit meyakinkan hatiku,” ucap Aira bingung.

“Aku yakin. Bismillah ya, kita jalani sama-sama dan tetap saling mendoakan,” jawab Raka meyakinkan Aira.

Dilema Hati AiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang