Aira membuka matanya pelan, memegang kening yang masih terasa berat. Ia melihat ke sekeliling, mendapati ibunya tengah duduk di samping, menunggunya hingga sadar.
“Bu!”
Aira menggenggam tangan ibunya.
“Kamu sudah sadar, Nak?” Ibu mencium kening Aira. Aira tersenyum menganggukkan kepalanya.
“Maafkan, Ibu! Ibu tidak akan memaksa kamu untuk menikah, kamu berhak memilih apa yang terbaik untukmu,” ujar Ibu pasrah.
“Ibu, Aira sudah ikhlas. Ibu gak perlu meminta maaf, semua ini bukan salah Ibu, Aira akan memikirkan kembali keputusan Aira.”
Kedua wanita yang memiliki hubungan darah itu, kini saling berpelukan. Menangis mengeluarkan semua keresahan yang menyesakkan dada. Setelah emosi sempat menguasai diri, kini lembut dan hangat pelukan seorang ibu kembali Aira rasakan. Rasa sesal menggelayuti hati Aira, ia menyadari, dirinya sudah sangat berdosa karena membentak wanita yang telah berjuang, bertaruh nyawa untuk kehadirannya.
***
Gelisah selalu menghantui kehidupan Aira, begitu kejam takdir merebut kebahagiaannya, kini ia sangat terpukul dengan keadaan yang menimpa dirinya. Ia menatap air hujan, menyampaikan bahwa saat ini hatinya telah benar-benar rapuh, hancur tergerus, lalu larut bersama tetesan air hujan yang jatuh ke tanah. Aira mengambil air wudu, menggelar sajadah dan bersimpuh di hadapan-Nya, memohon ampun atas segala khilaf dan dosa yang ia lakukan, mengingat-ingat kesalahan apa yang pernah ia lakukan, hingga kini begitu pahit perjalanan hidup yang harus di laluinya. Ia bersujud, berlinang air mata, memasrahkan diri pada takdir yang kuasa. Tak kuat memikul beban yang ia rasa begitu berat, hatinya sangat rapuh, harapannya hancur seiring dengan hancurnya hati Aira saat ini. Lama ia bersujud, kini ia menengadahkan kedua tangannya, memohon petunjuk atas pilihan yang saat ini meresahkan hatinya. Air matanya tak dapat di bendung, ia menangis terisak, menceritakan semua kegundahan hatinya pada Sang Maha Pencipta.
“Tuhan, mengapa takdirmu begitu sakit? Jika memang semua ini adalah rencana-Mu, hamba pasrahkan semua pada-Mu. Sejatinya hamba adalah orang yang lemah, tak mampu berbuat apa-apa atas apa yang sudah terjadi, kuatkan selalu hati ini menjalani takdir yang engkau beri.”
Aira memasrahkan diri, sadar bahwa dirinya sangat lemah untuk melewati semua ini. Tangisnya pecah dalam sujud, tak pernah ia merasa serapuh ini, hingga ia tak sadar terlelap dalam sujudnya.
Ia terbangun, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 07.00, Aira merasa tubuhnya terasa sangat lemah. Matanya sembab akibat menangis selama tiga malam. Pikiran tentang perjodohannya kembali membuat air mata Aira luruh. Ia mengecek ponselnya, beberapa notif pesan dan juga panggilan tak terjawab masuk dari Raka, membuat nyeri dada Aira. Semenjak kepulangannya ke Indonesia, Aira sama sekali tak mengabari Raka. Ia merasa benar-benar terpukul dengan kejadian yang menimpanya. Ia membuka sebuah album foto di ponselnya, sebuah foto berdua ia dengan Raka, yang sempat ia potret saat hari kelulusan, menjadi satu-satunya foto kenangan ia bersama Raka. Terlihat jelas senyum bahagia di wajahnya. Saat itu menjadi momen kebahagiaan Aira karena semua orang yang di sayanginya ada di sisinya. Air mengelap air mata yang mulai membanjiri pipinya, mengingat kembali sang ibu, membuat hati Aira rapuh. Ia tak punya pilihan lain, selain menerima perjodohan Malik dengan dirinya.
***
“Bu, Aira mau bicara!”
Aira berjalan ke arah Ibu yang tengah membersihkan beberapa koleksi bunga miliknya.
“Duduklah di sini!” Ibu menunjuk kursi di sampingnya, dan menyuruh Aira duduk.
“Bagaimana keadaanmu, Nak?” tanya Ibu khawatir, setelah 3 hari ini Aira hanya berdiam diri di kamar.
“Aira sudah baik-baik saja, Bu,” jawab Aira sembari duduk tepat di samping ibunya.
“Bu, ... Aira mau menikah dengan ... Mas Malik,” ujar Aira pelan dengan suara terputus-putus.
“Kamu menerima perjodohan ini?” tanya ibu yang masih ragu dengan ucapan Aira.
“Aira sudah ikhlas, Bu. Aira juga sudah memikirkannya matang-matang, Aira siap menikah dengan Mas Malik, demi kebahagiaan Ibu.” Aira mengangguk tersenyum, tapi sangat jelas terlihat gurat kesedihan di wajahnya.
“ Alhamdulillah, Ibu sangat senang mendengarnya. Ibu akan segera kabari Nak Malik, agar secepatnya mengurus pernikahan kalian,” ujar Ibu dengan riang, wajahnya berubah bahagia saat mengetahui Aira menyetujui perjodohannya dengan Malik.
Aira hanya tersenyum. Setelah tiga hari mengurung diri, dan memikirkan pilihan yang terbaik untuk hidupnya, ia terpaksa memilih menikah dengan Malik, hanya demi kebahagiaan wanita yang telah rela berpeluh keringat untuknya. Bahkan ibunya telah rela menaruhkan nyawanya untuk Aira, maka tak ada alasan bagi Aira untuk tidak membahagiakannya. Meskipun, perih menghunjam hati Aira, semua ia lakukan demi kebahagiaan ibunya. Bahkan saat ini ia tak tahu harus bahagia atau sedih, ia tak tahu bagaimana harus menyampaikan kepada Raka-satu-satunya pria yang mampu merebut hati Aira. Ia tak siap berpisah dan kehilangan Raka. Semua memori tentang Raka terus memenuhi pikiran Aira.
Setelah keputusannya menikah dengan Malik, ibu sangat sibuk mengurus semua persiapan pernikahan. Pernikahan Aira dan Malik akan di gelar sangat mewah, yang tentunya membutuhkan banyak persiapan. Pernikahan keduanya di percepat 2 minggu lagi. Para tetangga dan saudara jauh Aira berdatangan untuk membantu menyiapkan semua perlengkapan pernikahan.
***
Bunyi dering panggilan telepon mengagetkan Aira di tengah-tengah lamunannya. Nampak sebuah panggilan suara dari Raka, Aira menatap dengan perasaan kalut, hatinya semakin tersayat. Setelah kepulangannya ke Indonesia, ia menjauh dari Raka, bahkan ia tak memberi tahu perihal perjodohannya dengan Malik. Aira mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur dengan tangan yang gemetar, ia bergeming, menatap ponselnya, hingga panggilan dari Raka di biarkan begitu saja. Saat dering panggilan berhenti, Raka mengirimkan sebuah pesan kepada Aira.
“Ai, kamu sudah pulang ke Indonesia? Mengapa tidak mengabari?” Isi pesan WhatsApp dari Raka.
Aira tergugu di pojok kamar, merasakan perih di ulu hati yang semakin menyayat saat membaca pesan dari Raka, bahkan Raka masih sangat mengkhawatirkannya. Hatinya penuh dengan kebimbangan, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa ia masih sangat mencintai Raka. Aira mengarahkan jarinya ke ponsel, mengetik beberapa huruf untuk membalas pesan Raka dengan penuh ketakutan.
“Maaf aku sibuk, akhir-akhir ini. Oh iya, ada hal penting yang mau aku bicarakan. Besok kita ketemu di taman!”
Aira mengetik balasan pesan dari Raka dengan air mata yang terus bercucuran. Bahkan setelah ia merasa pilihannya adalah pilihan yang tepat, ia masih merasa dilema, hatinya masih menolak keras.
“Aira!”
Suara ibu memanggilnya dari luar kamar, ia bergegas mengelap sisa air mata lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya.
“Hari ini, Nak Malik mengajakmu fiting baju. Ia sudah menunggu di bawah, bersiaplah segera!”
Aira melotot, ia sama sekali belum siap bertemu dengan Malik, apalagi selepas kejadian memalukan saat ia mengusirnya dengan tidak hormat, membuat Aira sangat malu untuk bertemu.
“Hufff ... kenapa harus sekarang sih?”
Aira bergumam, merutuki kebodohannya.
“Baik, Bu. Aira akan secepatnya turun ke bawah,” ujar Aira menyanggupi, ia menutup wajahnya dengan penuh rasa malu, membayangkan nasibnya jika bertemu dengan pria tersebut. Tak lama Aira sudah siap dengan baju gamis syar’i favoritnya. Berulang-kali ia menatap wajahnya ke cermin.
“Tenang, Aira. Kamu harus bersikap biasa aja.”
Aira menenangkan dirinya sendiri, pasalnya 5 menit sudah ia menatap wajahnya di cermin, bersiap keluar dari kamar, lalu kembali menatap cermin, ia merasa gugup saat akan bertemu dengan Malik, bahkan ia tak membayangkan bagaimana jika pria tersebut sudah menjadi suaminya.
Aira keluar dari kamar dengan penuh rasa ragu, ia melihat pria itu tengah duduk di sofa bersama dengan ibunya. Wajahnya biasa saja, kemudian ia berjalan pelan menghampiri ibunya dan Malik.
“Sudah siap, Nak? Kemarilah! Malik sudah menunggumu sejak tadi.”
Panggil Ibu dari arah ruang tamu.
“Ya sudah kalian berdua hati-hati di jalan,” ujar Ibu pada Malik dan Aira saat keduanya sudah bersiap pergi.
Aira kembali melotot, saat tahu ternyata ia hanya pergi berdua bersama Malik.
“Saya pamit dulu, Bu,” ujar Malik sembari mencium tangan ibu.
“Jaga Aira ya!” pesan Ibu pada Malik.
Aira berjalan mengikuti Malik dari belakang. Selama di perjalanan, ia hanya diam. Tak ada pembicaraan yang menghiasi perjalanan mereka. Malik berusaha mencairkan suasana dengan memutar lagu favoritnya dengan volume kencang, yang membuat Aira geram.
“Bisa tolong kecilkan volumenya!” sontak Aira mengeluarkan suara, terlihat wajahnya menahan gejolak amarah.
“Hmm ... apakah sunyi lebih kau sukai dari pada suara nyaring musik ini?” Malik tersenyum, sembari mengecilkan volume musik yang ia putar, tak ingin membuat gadis cantik yang ada di sampingnya ini marah dan memintanya untuk menurunkan di tengah jalan.
“Terlalu kencang bisa merusak pendengaran.” Aira menjawab dengan ketus, ia menghadapkan wajah ke arah luar.
“Boleh aku bertanya?” pinta Malik.
“Tidak.”
Aira menjawab dengan singkat, ia tak ingin Malik bertanya hal-hal yang belum siap untuk ia jawab.
“Kenapa?”
Pria itu menggelengkan kepala, heran.
“Karena tujuanmu mengajakku pergi bukan untuk mewawancaraiku.”
Malik tertawa mendengar ucapan Aira.
“Apakah wajahku ini terlihat akan mewancaraimu?” Malik menunjuk wajahnya yang bingung.
“Hampir mirip.” Aira mengarahkan pandangannya ke depan, tak ingin menatap Malik.
“Hmm ... sepertinya kau masih tak ingin berbicara denganku.”
“Berhentilah mengajakku berbicara yang tidak penting. Apakah tempat itu masih jauh? Aku sudah merasa panas terlalu lama di dalam mobil.”
“Sedikit lagi.”
Malik kembali fokus melajukan mobilnya. Kini mereka telah sampai ke sebuah butik pakaian pengantin.
“Turunlah! Kita sudah sampai.” Malik membukakan pintu mobil Aira. Lalu berjalan mendahului, terlihat ia sedang berbicara dengan salah-satu pegawai yang bekerja di butik tersebut. Aira berjalan menyusulnya.
“Pilihlah satu baju akad, aku akan memilih satu baju untuk resepsi,” ujar Malik mengarahkan Aira untuk memilih baju.
Aira mengangguk lalu berjalan masuk untuk memilih baju. Banyak pakaian pengantin yang cantik dan indah, membuat mata Aira terpukau melihatnya. Ia berhenti pada sebuah gaun berwarna putih, dengan tampilan cutting gown yang simple tapi elegan, dengan bahan brocade full payet. Terdapat aksen pita pada bagian depan, dengan tambahan hijab syar’i yang di arahkan menutup ke bagian dada. Aira tertarik untuk mengenakannya. Wajahnya menatap bahagia ke arah gaun tersebut, tapi seketika berubah menjadi gurat kesedihan saat memori tentang Raka kembali memenuhi pikirannya. Ia pernah merancang baju pernikahan bersama Raka, ia juga pernah membayangkan bagaimana masa depannya bersama Raka, tapi kini keinginannya untuk menikah mengenakan gaun putih yang mewah dan indah akan terwujud, tapi bedanya tidak dengan Raka, melainkan dengan pria lain.
“Sudah, Ai?” Kedatangan Malik kembali mengagetkan Aira.
“Aku mau ini,” ujar Aira sembari menunjuk sebuah gaun.
“Cantik! Tunggulah di sana, nanti pegawai di butik ini yang akan mengambilkan baju untuk kamu coba.”
Malik mengajak Aira duduk di ruang tunggu.
“Kamu tunggu saja di sini! Aku mau beli minum ke depan,” ujar Malik lalu berlalu meninggalkan Aira.
Tak lama kemudian pegawai di butik tersebut meminta Aira untuk mencoba gaun pengantin yang ia pilih tadi, ia mengenakannya di bantu dengan pegawai butik, karena baju tersebut sangat berat, membuat Aira kesulitan jika harus mengenakannya sendiri. Aira menatap tubuhnya di cermin, baju tersebut sangat cantik ia kenakan, ia memutar tubuhnya bagai seorang putri. Malik yang tiba-tiba datang, menatap takjub ke arah Aira.
“Kamu cantik!” ujar Malik, Aira yang mendengar perkataan itu tersipu menahan malu, ia menunduk tak ingin wajah merahnya terlihat oleh Malik.
Tak henti pandangan Malik menatap Aira, ia sangat kagum pada kecantikan wanita yang akan menjadi istrinya itu. Hingga Aira merasa salah tingkah karena Malik terus menerus menatapnya.
“Apa kau mau menghabiskan waktumu hanya dengan berlama-lama menatapku?” ujar Aira. Kini Malik yang terlihat sangat salah tingkah karena ketahuan menatap Aira.
“Gaun yang kau pilih sangat cantik, sekarang cobalah gaun resepsi yang aku pilih.”
Malik mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk sebuah gaun pilihannya.
Sebuah gaun Bludru Maron Gold mewah dengan mahkota di atasnya, menjadi gaun resepsi pilihan Malik. Aira mencoba gaun tersebut, tubuhnya yang ramping membuat Aira tidak kesulitan memilih ukuran baju yang cocok untuknya. Ia juga terlihat sangat cantik dengan gaun tersebut.
“Sepertinya semua gaun akan terlihat cantik kalau kamu yang pakai,” ujar Malik menggoda Aira.
Aira hanya tersipu malu mendengar ucapan Malik, sedari tadi tingkahnya membuat Aira tak henti menahan malu, dan harus menyembunyikan rona di wajahnya.
Setelah urusan fiting baju selesai, mereka berlalu meninggalkan butik tersebut.
“Kita mau ke mana?” tanya Aira saat menyadari Malik tak membawanya menuju arah pulang.
“Ke tempat makan,” jawab Malik.
“Aku tidak lapar.”
“Jangan berbohong, ibumu mengatakan dari kemarin kalau kamu belum makan.”
Aira menghela napas, pasalnya ia tak ingin berlama-lama dengan Malik, tapi ia tak punya alasan untuk menolak.
Aira dan Malik tiba di sebuah Cafe dengan nuansa hijau di sekelilingnya, udara sejuk pegunungan membuat hati sejenak merasa tenang. Cafe tersebut menyediakan dua tempat bagi pengujung yang mau menikmati makan, outdoor dan indoor. Keduanya memilih tempat di luar, sembari menikmati segarnya udara sore.
“Kamu mau makan apa?” tanya Malik, ia menyodorkan beberapa daftar menu yang ada di meja.
“Terserah,” jawab Aira singkat.
“Hufff, tak ada pilihan makanan terserah di situ.” Malik menghela napas, bingung dengan sikap Aira.
“Pesanlah, menu yang sama denganmu!”
“Hmm ... baiklah.” Malik memanggil seorang pelayan, dan memesan dua porsi ayam bakar sambal kecap, cah kangkung, lalapan, dan es jeruk. Ia melirik Aira yang sibuk dengan ponselnya, dan mengurungkan niat untuk mengajak bicara Aira, karena ia yakin pasti Aira hanya mengabaikannya. Setelah beberapa menit menunggu, seorang pelayan datang mengantarkan makanan.
“Terima kasih!” ujar Malik pada pelayan tersebut dengan ramah.
“Apakah ibu juga memberi tahumu tentang makanan favoritku?” Aira menatap heran pada Malik, saat melihat beberapa menu favoritnya ada di atas meja.
“Tidak, aku hanya memesan makanan favoritku, makanlah jika memang kau juga menyukainya!”
Aira hanya makan beberapa suap nasi, ia kehilangan nafsu makannya sejak beberapa hari ini.
“Kenapa tidak di habiskan? Kamu tidak suka?” tanya Malik.
“Aku kenyang.”
“Hanya dengan beberapa suap nasi, setelah 2 hari tidak makan sudah membuatmu kenyang? Sepertinya kapasitas perutmu sangatlah kecil. Ha-ha,” ujar Malik di sertai tawa.
Aira yang merasa kesal dengan ucapan Malik, kembali melahap makanan yang ada di depannya, hingga Aira tersedak karena terlalu rakus.
“Uhuk ...!
“Minumlah! Jangan terburu-buru,” ujar Malik sembari menyodorkan segelas es jeruk pada Aira. Tangan Aira meraih segelas es jeruk tersebut lalu meminumnya. Malik yang melihat tingkah Aira tertawa begitu saja karena merasa lucu, sedangkan Aira berkali-kali harus menanggung malu.
“Belum menjadi suami sudah sangat menyebalkan, aku tak membayangkan bagaimana hidupku ke depan.”
Aira merutuki dirinya sendiri. Hari itu Aira merasa sangat kesal, karena harus berhadapan dengan Malik, yang ternyata lebih menyebalkan dari yang ia bayangkan.
Aira segera menghabiskan seporsi ayam bakar miliknya, lalu mengajak Malik untuk segera pulang.❤️❤️❤️
![](https://img.wattpad.com/cover/278384318-288-k897092.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Hati Aira
Novela JuvenilHallo Readers, apa kabar?? Tetap jaga kesehatan ya jangan cuman rebahan, eh tapi gak-papa rebahan sambil baca cerita dari Author😁😁 Hari ini Author bawa cerita baru nih, banyak mengandung bawang😁. Ikuti terus kisahnya Aira ya , seorang gadis cant...